Luapan Kemarahan El

1058 Kata
Selama perjalanan baik Eliana maupun Devan tidak ada yang berbicara. Eliana diam karena selain sibuk menyetir, ia juga sedang berusaha meredam rasa kesalnya. Sedangkan diamnya Devan karena tahu Eliana sedang kesal dan tidak mau mengganggunya. Meskipun seandainya ia bicara, Eliana pasti akan menjawab dengan sopan dan ramah, bahkan dengan senyum manis. Jika Eliana bisa memaki dan mengumpat bosnya itu, dia pasti akan lakukan, tapi Eliana tidak mungkin melakukan itu pada pria yang lima tahun seperti malaikat baginya, tapi satu tahun terakhir seperti pemilik sangkar emas yang membuat ia tidak bisa ini itu tanpa izin darinya. Begitu tiba di basement apartemen, Eliana harus keluar lebih dulu membukakan pintu untuk Devan, hal yang biasa ia lakukan. Lalu setelah itu berjalan di depan Devan untuk memencet tombol lift. “Sekarang sudah hampir jam setengah sebelas malam, kamu belum istirahat sama sekali, jadi kamu tidak perlu ke unitku dan langsung istirahat saja,” perintah Devan setelah memasuki lift. Eliana yang berada tepat di depan Devan langsung membalikkan badan lalu membungkuk hormat. “Baik, Pak. Terima kasih atas kebaikan hati Bapak,” balasnya hormat. Karena merasa pekerjaannya sudah selesai, saat keluar dari lift Eliana langsung melangkah begitu saja tanpa berhenti untuk menunggu Devan keluar. Ia terus berjalan lurus menuju unit apartemennya yang berhadapan dengan unit apartemen Devan. “Karena kesal, dia sampai lupa harus terus jalan beriringan denganku,” ujar Devan saat menatap punggung Eliana. Eliana sudah sangat ingin meluapkan kemarahannya di dalam kamar. Bila perlu, ia akan memecahkan kaca meja riasnya agar terkesan dramatis dan sungguh-sungguh. Hingga tiba di depan unit dan akan membuka pintu, Eliana tetap tidak berbalik sedikit pun. Padahal biasanya ia akan menyempatkan diri untuk mengucapkan selamat malam atau kata-kata penutup lainnya. Eliana langsung masuk begitu saja menuju kamarnya, bahkan tidak menyapa Nani—ibunya yang sejak tadi menunggu bersama Dudu—kucing kesayangan mereka hanya untuk bertanya seperti apa teman kencan yang ia temui tadi. “Sudah pulang, El? Bagaimana kencannya? Apa pria itu terlihat ba—“ Nani tidak melanjutkan ucapannya saat menyadari ekspresi kesal Eliana yang tidak melirik dirinya sedikit pun. “El kenapa? Apa kencannya gagal lagi?” gumanya. Lalu, tidak lama kemudian Nani melihat Devan masuk dengan wajah datar tanpa ekspresi. “Nak Depan, ada apa deng—“ Nani tidak bisa melanjutkan ucapannya lagi saat Devan juga berjalan lurus tanpa menoleh sedikit pun. “Ada apa dengan mereka berdua?” gumanya lagi. Eliana langsung membuka pintu kamarnya dengan kencang lalu melempar handbag-nya ke sembarang arah. Kemudian mengambil bantal dengan penuh amarah dan memukul tempat tidur menggunakan bantal. “Devan menyebalkan, egois, pengacau, pengganggu, dasar perjaka tua. Apa dia ingin aku jadi perawan tua dengan mengacaukan setiap kencanku? Apa aku harus menopause dulu baru dibiarkan mencari jodoh dengan tenang? Apa enam tahun mengabdi sepenuhnya masih belum cukup?” Merasa kurang puas hanya dengan memukul, Eliana langsung naik ke tempat tidur untuk menginjak-injak bantal yang ia anggap sebagai wajah Devan. “Usiaku sudah 26 tahun. Teman-teman seusiaku sudah menikah semua, bahkan sudah ada yang memiliki anak atau mungkin cucu, sedangkan aku memiliki kekasih saja belum dan masih sibuk melayani perjaka tua sepertimu. Kamu benar-benar menyebalkan, Devan!” Eliana masih kurang puas meluapkan emosinya dengan menginjak dan melompat di atas bantal. Kemudian ia duduk untuk meninju bantal berkali-kali dengan kedua tangannya. “Aku sudah berdandan secantik mungkin dan meminjam gaun terbaik rancangan Jordy karena akan berkencan dengan seorang polisi, tapi lagi-lagi kamu membuat semuanya sia-sia dengan kehadiranmu yang tiba-tiba lalu mengajakku pulang semaumu. Kamu benar-benar perjaka tua menyebalkan!” Kemudian Eliana mengacak-acak rambutnya sendiri sambil berguling-guling di atas kasur ke kiri dan kanan, bahkan bagian bawah gaunnya tersingkap hingga memperlihatkan street pants-nya. “Huuuuh ... aku rasa ini sudah cukup!” ujar Eliana sambil menghela nafas panjang saat merasa emosinya sedikit berkurang setelah ia luapkan dengan caranya. Kemudian Eliana duduk di tepi kasur untuk ke kamar mandi, membersihkan diri lalu tidur. Namun, belum sempat ia menurunkan kaki, matanya sudah melihat seorang pria sedang menyandarkan bahunya di pintu dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana yang menunjukkan kesan santai saat menyaksikan luapan kemarahannya. “Sudah puas melampiaskan kemarahanmu?” tanya Devan. “Pa—Pak Devan? Se—sedang apa di situ?” tanya Eliana, gugup. “Semoga saja dia tidak mendengar kata-kataku.” Eliana terlalu terkejut dengan keberadaan Devan, hingga ia mengabaikan tatanan rambutnya yang tidak beraturan lagi. Bahkan melebihi kacaunya tatanan rambut Mak Lampir. “Jadi seperti ini cara pelacurku meluapkan kemarahannya?” “A—ada apa Bapak ke sini?” “Malam ini aku ingin melihat-lihat ponselmu,” jawab Devan sambil melangkah menghampiri Eliana yang seperti tidak bisa bergerak di tempat tidur. “I—iya, Pak,” jawab Eliana dengan terus menatap mata Devan yang sudah berdiri tepat di depannya. Eliana tidak fokus pada permintaan Devan dan tetap duduk menunggu reaksi Devan atas ucapannya tadi. “Cepat berikan!” pinta Devan. “Iya, Pak!” jawab Eliana masih tetap duduk. “Mana, El!” pinta Devan lagi sambil mengusap lembut bahu Eliana karena dia tetap duduk. Eliana langsung tersadar dari tatapannya begitu mendapat sentuhan dari Devan. “Ba—baik, Pak!” Kemudian Eliana mengitari tempat tidur untuk mengambil handbag-nya yang tadi ia lempar. “I—ini, Pak!” ujar Eliana sambil menyerahkan ponselnya. “Terima kasih,” ucap Devan lalu mengambil ponsel yang Eliana sodorkan. “Dan terima kasih juga sudah memperlihatkan cara marahmu,” lanjutnya lagi lalu membalikkan badannya untuk pergi. Eliana langsung memejamkan mata kuat-kuat, menahan malu sekaligus rasa tidak enak hati karena umpatan yang ia ucapkan tadi. Sebelum melewati pintu kamar, Devan menghentikan langkahnya dan kembali menghadap Eliana. “El, kamu pasti tahu berapa usiaku.” “Dua puluh sembilan tahun, Pak.” “Apa menurutmu di usia itu sudah bisa disebut pria tua?” “Be—belum, Pak.” “Menurutku juga seperti itu. Usia 29 tahun belum bisa disebut sebagai pria tua apa lagi harus dijuluki perjaka tua.” “Ma—maafkan aku, Pak. Lain kali aku akan mengontrol kata-kataku terutama dalam keadaan marah,” ucap Eliana sambil membungkuk sopan sekaligus takut. “Aku maafkan. Setelah ini tidurlah, kamu sudah sangat lelah. Jika masih ingin marah, tutup dan kunci pintunya agar tidak ada yang melihat kemarahanmu lagi.” “Terima kasih atas kemurahan hati dan sarannya, Pak,” balas Eliana. “Hmm.” Devan langsung pergi dari kamar Eliana menuju unit apartemennya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN