Chapter 11

2253 Kata
"Kalo gitu ayo kita nikah." Vika terdiam bahkan syok. "Eng..." Vika menarik tangannya yang digenggam oleh Zio. "Apaan sih kamu, ngaco." Vika beranjak dari tempat tidur untuk mengambil guling yang jatuh di lantai. Setelah itu Vika kembali berbaring dengan posisi terlentang meremas ujung selimut yang menutupi dadanya. "Emang nikah itu segampang kamu ngomong ayo kita nikah?" Vika menoleh. "Aku udah mikirin semuanya." Vika menghela napas. "Kita masih kuliah Zio. Ya kalo sekedar nikah mungkin bisa, tapi gimana kalo nanti... Aku hamil?" "Kita bisa tunda itu sampe kamu selesai kuliah. Kamu fokus selesain kuliah kamu, aku juga fokus kerja." "Kenapa kamu jadi pengen nikahin aku?" "Karena aku pengen nafkahi kamu. Kita bukan anak baru gede Vika. Banyak kok di kampus yang statusnya udah suami istri, bahkan ada yang hamil kan? Itu gak jadi masalah yang besar di kampus, semuanya maklum." Vika diam mulai mencerna dan memikirkan setiap ucapan Zio. "Gimana kamu mau nafkahi aku sedangkan kamu belum kerja." Zio kembali menjauhkan guling yang ada diantara mereka dan lebih mendekatkan dirinya pada Vika. "Aku udah nabung dari aku masih kecil, dari aku masih umur lima tahun sampe sekarang. Tabungan aku cukup untuk biayai hidup kita sampe bertahun-tahun, bahkan tabungan aku cukup untuk biayai kuliah kamu sampe kamu wisuda nanti. Lagian selesai kuliah aku langsung kerja kok, kamu gak perlu khawatir. Aku udah mikirin semuanya Vika, gak mungkin aku asal ngajak kamu nikah tanpa mikirin kelangsungan hidup kita setelah nikah nanti." "Ada Papa aku kok yang bisa biayai kuliah aku." Zio menghela napas pelan. "Papa kamu gak akan bisa biayai kuliah kamu. Papa kamu nolak bantuan dari Papi aku. Alhasil perusahaannya mati, bangkrut." Vika langsung menoleh dengan ekspresi penuh keterkejutan. "Kamu berpikir untuk berhenti kuliah? Jangan. Masih ada aku yang bisa bantu kamu, kalo kamu gak mau aku bantu karena status kita pacaran. Apa salahnya ubah status pacaran kita jadi status suami istri?" Mata Vika mulai berkaca-kaca hanya karena ucapan Zio juga nasib Ayahnya yang malang, sama seperti nasib dirinya sendiri. "Gimana sama Nia? Nia gak suka sama aku." "Liat aku." Zio menarik lembut dagu Vika meminta Vika untuk menatapnya. Kini keduanya saling berhadapan. Zio menggenggam erat tangan Vika. "Nia gak berhak ngelarang kita untuk nikah." "Nia adik kamu, Zio." "Bukan adik kandung, Vika." Vika yang sedang menatap tangannya dan tangan Zio beralih menatap Zio. "Ceritanya panjang, lain waktu aku ceritain ke kamu." Tangan Zio bergerak mengusap pipi Vika. "Aku bakal temuin kamu sama Papa aku." Vika mengerenyit. "Papi kamu?" Zio menggeleng. "Papa, Papa aku. Orang tua kandung aku." ️ Vika menggenggam erat tangan Zio dimana mereka baru saja keluar dari bandara dan sekarang sedang dalam perjalanan menuju rumah orang tua Zio. "Kamu serius?" Zio langsung mengangguk. "Kamu jangan takut." "Tapi..." Vika terdiam tidak melanjutkan ucapannya saat punggung tangannya dicium. "Ada aku." Vika meraih tangan Zio dan memeluknya. Jantung Vika berdebar kencang saat mobil masuk ke dalam pekarangan rumah yang luas. "Ayo." Zio menggenggam tangan Vika membawa Vika masuk ke dalam rumahnya. "Abaaangg!!!" Zio terpaksa melepaskan genggaman tangannya ketika melihat adiknya yang berumur tiga tahun berlari ke arahnya. "Aya kangen Abang." Zio tertawa lalu mencium adiknya. "Lho Abang sama Vika dateng kok gak bilang-bilang." Reya datang dan cukup terkejut melihat Zio dan Vika datang secara tiba-tiba. "Dateng mendadak, Mi. Papi ada?" Tanya Zio sambil duduk di ruang tamu. "Masih di kantor, tapi bentar lagi pulang kok." "Vika duduk." Ujar Reya pada Vika. "Iya Tante." Vika tersenyum lalu duduk di sebelah Zio yang sedang memangku Aya. "Fazra sama Nia kemana?" "Fazra latihan basket, Nia lagi di rumah temennya. Abang sama Vika udah makan?" "Udah Tante." Jawab Vika. Reya mengangguk, "Tante mau ke atas bentar ya, nanti ke sini lagi kok." Vika tersenyum. Vika yang sedang memperhatikan Reya terkejut saat Aya tiba-tiba saja memeluknya. "Aya kangen kakak too." Ucap Aya memeluk erat leher Vika. Vika tersenyum seraya mengelus-elus tangan Aya. "Ass..." Nia yang baru masuk ke dalam rumah langsung berhenti saat melihat Zio dan juga Vika. "Nia abis dari mana?" Tanya Zio sekedar basa-basi. "Rumah temen." Jawab Nia sekenanya. Saat melihat Vika rasa senang Nia mendadak hilang. "Aku mau ngomong sama Nia bentar." Pamit Zio sembari beranjak. Vika mengangguk kecil. "Nia bisa ikut Abang?" Nia menatap Vika dengan sinis lalu menatap Abangnya. "Bisa." Zio tersenyum kemudian mereka bersama-sama jalan menuju ke lantai atas. "Kak Vika." Vika tersenyum. "Ayo main balbie, Papi beliin Aya balbie lho." Aya melepaskan pelukannya dan berlari kecil ke arah ruang keluarga. Tak lama Aya sudah kembali sambil membawa kotak berukuran besar. "Ini punya Aya." Aya menunjukkan Barbie dengan pakaian berwarna pink lalu Aya memberikan Barbie yang lain pada Vika. Vika bukan fokus pada Barbie yang ada di tangannya ataupun di tangan Aya. Vika fokus memperhatikan Aya yang sedang berbicara pada Barbie nya. Melihat Aya seperti itu Vika langsung berpikir mengenai anaknya suatu saat nanti. Vika menggeleng karena ia sadar jika dirinya sudah berpikir terlalu jauh. Nikah saja belum bagaimana mungkin sudah memikirkan soal anak, apalagi anaknya bersama dengan Zio. ️ "Vika udah gak punya siapa-siapa lagi, dia cuma punya Abang. Mama nya udah meninggal, Papa nya pergi ninggalin dia karena perempuan lain. Abang barusan udah kasih tau Nia kan kalo Vika itu hampir di perkosa sama Om nya sendiri. Ditambah lagi kadang kelakuan Nia ke Vika." Zio memelankan kalimat terakhirnya, tidak ingin jika Nia merasa tersinggung. Nia terdiam menatap kosong ke arah jendela kamarnya. "Kalo masalah nya emang karena Nia pernah liat Vika di club, kan Vika lagi nungguin Om nya. Abang udah cerita semuanya ke Nia. Nia anak baik, Abang yakin Nia anak baik. Kalo anak baik pasti ngerti sikap apa yang harus ditunjukkan setelah ini. Abang harap Nia gak akan ganggu Vika lagi, Abang juga gak maksa Nia untuk minta maaf sama Vika. Tapi tolong, jangan tunjukkin sikap gak suka nya Nia ke Vika, kasihan dia udah terlalu banyak masalah." Zio berusaha berbicara sebaik dan selembut mungkin kepada Nia. "Maksud Abang ceritain semuanya ke Nia apa?" Nia menoleh sekilas. "Abang mau nikah sama Vika." Zio tidak mendapatkan reaksi apapun dari Nia selain diam. "Jadi, Abang sekalian mau minta izin sama Nia kalo Abang mau nikah." Zio sedikit memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Nia yang tertutupi oleh rambutnya yang tergerai. "Nia nangis?" Tanya Zio setelah samar-samar ia mendengar suara isak tangis. "Hiks... Hiks..." Mata Zio membulat dan ia langsung memeluk Nia. "Kalo Abang nikah ntar Abang lupa sama Nia! Abang gak mau main sama Nia! Gak mau anterin Nia! Jarang pulang ke sini! Pasti sibuk sama istrinya apalagi kalo udah punya anak nanti!" Ucap Nia sambil terisak. Mendengar ucapan Nia entah mengapa Zio merasa lega karena ia sama sekali tidak mendengar adiknya itu mengucapkan kalimat tidak setuju ataupun tidak mengizinkannya. "Abang gak akan lupa sama Nia, rumah Abang di sini pasti Abang sering pulang. Indonesia Singapura kan gak terlalu jauh pasti Abang sering pulang walaupun Abang udah nikah. Nia boleh marah sama Abang kalo Abang sampe lupa sama Nia." Nia masih menangis di dalam pelukan Zio, sesekali ia menghapus air matanya. Nia tidak lagi mengucapkan apapun. "Jadi, Nia ngizinin Abang nikah sama Vika?" Tanya Zio dengan suara yang lembut. Nia kembali menghapus air matanya sebelum kepalanya mengangguk. Zio tersenyum bahkan tertawa melihat Nia mengangguk. "Abang sayang Nia." Zio mengeratkan pelukannya lalu mencium puncak kepala Nia. ️ Zio melirik Vika yang sedang menundukkan kepala lalu ia menatap Ayahnya yang sedang minum kopi. Zio menunggu Nevan menelan kopinya lalu ia mulai berbicara. "Abang mau nikah." "Uhuk! Uhuk!!!" Nevan terbatuk-batuk sampai memukul d**a nya. Berbeda dengan Reya yang tadinya sedang bermain bersama Aya langsung terdiam seperti patung. Sekarang mereka semua sudah berkumpul di ruang keluarga. Ayah, ibu serta adik-adiknya berkumpul menjadi satu. Fazra yang tadinya mengantuk sampai mata nya berkali-kali terbuka dan tertutup menahan kantuk seketika ia merasa kantuknya hilang begitu saja, kedua matanya terbuka dengan lebar. Jika Nia hanya diam saja, karena Nia lah orang yang pertama kali mengetahui bahwa Zio dan Vika akan menikah. "Abang serius?" Tanya Nevan tidak percaya. Zio mengangguk. "Ya ampun, Abang. Kayaknya baru kemaren Abang manggil Papi mas." Kata Nevan. Zio terkekeh. "Lah serius?" Tanya Fazra sambil terbahak. Suasana yang tadinya dingin mencekam sudah mulai menghangat. "Beneran kalian mau nikah, Vika?" Reya bertanya pada Vika. Vika melirik Nia sebelum ia mengangguk. "Iya Tante." "Abang," panggil Nevan. "Abang nikahin Vika bukan karena Vika..." Nevan sengaja menggantung kalimatnya dan ia tahu jika Zio mengerti maksudnya dari ucapannya. "Abang nikahin Vika karena Abang ngerasa kalo Abang mampu nafkahi Vika. Gak ada hal-hal lain, apalagi karena... Vika hamil duluan." Nevan dan Reya sama-sama menghela napas. "Fazra sama Nia bisa ke kamar?" "Oke." Fazra beranjak dari duduknya dan diikuti oleh Nia. Sekarang hanya ada Zio dan Vika serta Nevan dan Reya. Ditambah satu anak kecil yang pastinya belum mengerti apa-apa selain main. "Abis ini Abang mau ajak Vika ketemu sama Papa. Mau minta izin juga." Zio melirik Nevan yang diam, ekspresi Nevan pun sudah berubah sekarang. Reya menatap Nevan sejenak lalu menatap Zio. "Iya gak papa, ajak aja Vika ketemu sama Papa Abang. Kenalin Vika ke Papa Abang." Kata Reya dan langsung dibalas anggukan oleh Zio. ️ Vika menggenggam erat tangan Zio saat ia mendengar suara derap kaki yang berasal dari arah belakang mereka. "Udah nunggu lama?" Vika mengangkat kepalanya secara perlahan menatap pria yang sepertinya memiliki umur setara dengan Nevan, hanya saja Nevan terlihat sedikit lebih muda dari pria yang sudah duduk di depan mereka. "Belum, Pah." Balas Zio. Zio menatap Vika saat Ayahnya---Julian tengah memperhatikan kekasihnya. "Ini Vika, pacar Zio. Maaf baru sekarang Zio kenalin ke Papa." Kata Zio memperkenalkan Vika pada Julian. Julian mengangguk. "Gak papa." Vika sedikit beranjak dari duduknya untuk memperkenalkan diri pada Julian. "Vika, Om." Kata Vika seraya mencium punggung tangan Julian. Julian mengangguk diselingi dengan seulas senyum. "Mama ada, Pah?" Zio memperhatikan sekitarnya untuk mencari istri Papa nya yang bisa dikatakan sebagai ibu tiri Zio. "Baru aja keluar, ada yang mau diomongin?" Zio mengangguk. Zio mengambil kedua tangan Vika menggenggamnya dengan erat. "Zio sama Vika udah pacaran dua tahun. Zio rasa waktu itu udah cukup untuk Zio sama Vika lanjut ke jenjang lebih serius, nikah." Tidak banyak ekspresi wajah Julian yang berubah, hanya saja bisa dilihat jika Julian cukup terkejut. "Zio sama Vika mau minta izin sama Papa." Lanjut Zio sambil menatap Vika. Vika tersenyum saat dirinya ditatap oleh Julian. "Kalo kamu ngerasa mampu, terutama mampu untuk hidupin kebutuhan istri dan anak kamu nanti silahkan, Papa gak ngelarang. Semoga keputusan dan pilihan kalian memang yang terbaik untuk kalian berdua." Zio tersenyum lalu mengangguk, begitu juga dengan Vika. Rasanya benar-benar lega saat semuanya sudah memberi restu untuk mereka berdua. ️ "Kenapa kamu gak cerita kalo ternyata kamu itu bukan anak kandung Papi Mami kamu?" "Belum waktunya aja aku cerita ke kamu." Balas Zio sambil mengelap sudut bibir Vika yang terkena es krim dengan jempolnya. "Kapan kamu tau kalo kamu punya Ayah kandung?" "Waktu SMP kelas satu." "Kamu marah pas udah tau?" Zio menghela napas menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi taman menatap lurus ke arah danau. "Gak tau juga sih gimana rasanya, campur-campur. Mau marah kayaknya aku kurang ajar banget, yang besarin aku tuh mereka. Mama aku udah meninggal." Vika ingin bertanya lebih banyak namun sepertinya tidak untuk sekarang karena ia bisa melihat raut kesedihan di wajah Zio. "Mama aku nikah sama Papi aku, ya hubungan aku sama Papi aku sekarang emang Ayah anak, tapi Ayah anak tiri. Sekarang juga Papa aku udah nikah sama perempuan lain." Zio menatap Vika. "Kamu mau liat Mama aku? Aku punya fotonya." Vika langsung mengangguk karena sesungguhnya ia sangat penasaran. Zio sama sekali tidak mempunyai kemiripan dengan Julian. Mungkin saja Zio mirip dengan Ibunya. Zio mengeluarkan dompetnya dari kantong celana dan memberikan selembar foto berukuran kecil pada Vika. "Cantik." Kata itulah yang pertama kali keluar dari mulut Vika saat melihat wajah ibu kandung Zio. "Kamu mirip Mama kamu." Zio tersenyum. "Kata Papi aku juga sifat aku mirip sama Mama aku." "Berarti Mama kamu orangnya baik, lembut, penyabar, iya?" Zio mengangguk, "dari cerita Papi aku kayak gitu." "Emm... Tapi sekarang Mama kamu udah meninggal ya." Zio mengangguk dengan kepala yang tertunduk. Vika menyentuh bahu Zio dan mengusapnya. "Kita sama-sama udah gak punya Mama." "Papa kita juga sama-sama gak bener." Zio terkekeh pahit. Zio menghela napas melingkarkan tangannya di bahu Vika dan merengkuhnya. "Kita belum nentuin kapan kita nikah." Vika tersipu malu karena ia masih tidak menyangka bahwa dirinya dan Zio benar-benar akan menikah. "Nanti aja nentuin tanggal pernikahan kita." "Kenapa?" Tanya Vika. "Aku belum lamar kamu, abis aku lamar kamu kita langsung nentuin tanggal pernikahan kita." Zio menjatuhkan kepalanya di atas kepala Vika memandang lurus ke depan dimana matahari mulai terbenam. Cup. Zio kaget dan langsung menatap Vika. Vika tersenyum menutupi mulutnya dengan punggung tangannya sendiri. "Udah berani ya cium aku?" Vika tertawa. "Kan cuma pipi." "Tapi tetep aja udah mulai berani." Vika tertawa lepas saat tangan Zio menggelitiki pinggangnya. "Zio udah! Ih geli!" Kata Vika berusaha menjauhkan tangan Zio dari pinggangnya. "Masih aku gelitiki lho, belum aku apa-apain." Vika berhenti tertawa bahkan ia melupakan Zio yang sedang menggelitikinya. "Mikir apa hayoo?" Vika kembali tertawa dan kembali berusaha untuk menjauhkan tangan Zio. "Udah ah, geliii!" Zio tertawa menarik tubuh Vika merapat ke tubuhnya. Vika duduk dengan menaikkan kedua kakinya di kursi yang mereka duduki lalu menyandarkan kepalanya di d**a Zio. "Beautiful scenery." Ucap Zio menunduk menatap Vika. Vika mendongak dan mengangguk. "Beautiful, like you." Ucap Zio lagi menciumi puncak kepala Vika. Vika tersenyum memandang ke arah danau yang mulai bercampur dengan warna jingga dari matahari seraya mengelus tangan Zio yang melingkar di perutnya. Vika berhenti mengelus tangan Zio ketika ia mulai memikirkan sesuatu. "Zio," Vika menjauhkan tangan Zio lalu ia berbalik menatap Zio. "Kenapa?" CHUP!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN