Vika menatap jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam dan Zio belum juga pulang. Vika terpaksa memakai kembali kemeja Zio setelah ia mandi karena ia lupa mencuci bajunya yang semalam ia pakai saat ke rumah Zio.
Vika menatap ke arah pintu yang baru saja terbuka.
"Maaf aku baru pulang, kamu mau pulang sekarang atau besok? Besok aja ya." Zio mendekati Vika yang sedang duduk di ruang tamu sambil Zio membawa sesuatu.
Vika tidak menjawab.
"Kamu kenapa?" Zio duduk di sebelah Vika.
Vika memberikan bingkai foto yang ia simpan di sudut sofa.
Zio menatap bingkai foto tersebut lalu menatap Vika.
Zio berdehem.
"Jelasin."
"Ini..." Zio menatap foto dirinya bersama dengan Maura.
"Ini udah lama. Waktu aku sama Maura kelas tiga SMA."
"Kalian pacaran dulu?"
Zio diam.
Vika menoleh karena Zio tidak menjawab pertanyaannya.
Zio mengangguk.
Vika membuang wajahnya dengan perasaan kesal yang teramat sangat.
"Tapi sekarang aku gak punya hubungan apa-apa lagi sama Maura, sekarang aku sama Maura cuma temenan."
Vika menjauhkan tangannya yang hendak dipegang.
"Jangan-jangan kalian sengaja masuk terus ngambil fakultas yang sama?"
"Aku emang mau ngambil fakultas bisnis Vika."
"Maura?" Mata Vika sudah merah.
Mengetahui jika Zio dan Maura sempat memiliki hubungan ditambah lagi Maura yang tengah berusaha mendekati Zio membuat Vika takut akan satu hal, Zio meninggalkannya.
"Maura cuma masa lalu aku."
"Kamu bilang gak punya mantan! Apa kamu sengaja bilang kayak gitu karena ternyata mantan kamu itu Maura? Cewek yang lagi berusaha deketin kamu. Maura pernah jadi pacar kamu, sekarang Maura berusaha deketin kamu ditambah lagi kalian magang satu kantor. Gak ada kata gak mungkin untuk kalian balik deket karena dulu kalian pernah sama, pernah saling sayang."
"Aku bisa jamin kalo aku sama Maura gak akan balikan, aku udah punya kamu."
"Tapi kenapa kamu harus bohong?"
"Karena aku gak mau kamu tau kalo orang yang lagi deketin aku itu Maura, mantan aku sendiri."
Zio menarik Vika ke dalam pelukannya.
"Kenapa foto kalian masih kamu simpen?" Tanya Vika dengan lirih.
"Aku bener-bener gak tau kalo foto itu masih ada. Aku putus sama Maura awal masuk kuliah, beberapa foto yang ada di rumah orang tua aku aku bawa ke sini. Abis putus semua foto nya udah aku buang, aku bener-bener gak tau kalo foto itu ternyata masih ada di rumah aku, beneran." Kata Zio dengan penuh kejujuran.
"Kenapa kalian putus?"
"Maura ninggalin aku karena laki-laki lain."
Mendengar jawaban Zio Vika merutuki kebodohan Maura yang sudah menyia-nyiakan laki-laki sebaik dan sesempurna Zio.
Vika melingkarkan tangannya di leher Zio.
"Aku takut kamu pergi ninggalin aku, aku udah gak punya siapa-siapa lagi selain kamu." Kata Vika dengan nada bergetar.
Zio mengangguk, "I know."
Zio mengambil tangan kanan Vika yang ada di lehernya dan membawanya ke dekat bibir lalu dikecupnya dengan mesra punggung tangan Vika.
"Aku udah bilang kan sama kamu, aku gak akan ninggalin kamu, aku bakal terus ada untuk kamu."
"Kamu sama Maura gak ada hubungan lagi kan?"
"Gak ada, Vika." Kedua tangan Zio yang berada di punggung Vika beralih melingkar di pinggang Vika.
"Kamu gak punya rasa apa-apa lagi kan ke Maura?"
"Sama sekali gak ada. Semua rasa suka, sayang, bahkan rasa cinta aku udah untuk kamu semua."
Vika mendongak untuk menatap Zio.
Zio tersenyum.
Vika kembali menyandarkan pipinya di d**a Zio dengan senyum yang tersungging.
"Jangan bohong."
Zio terkekeh, "gak bohong kok, kenyataan."
Zio tersenyum saat merasakan pelukan Vika mengerat.
"Kamu gak marah kan sama aku?" Tanya Zio.
"Asal kamu gak bohong."
Zio langsung menggeleng, "aku gak bohong."
Vika mengangguk.
Zio tersenyum lega.
"Aku beliin kamu baju."
Vika langsung menatap Zio.
Dengan posisi masih berpelukan, tangan kanan kiri Zio mengambil sebuah paper bag berukuran besar.
"Ini baju kamu, aku lama karena tadi beli makanan sama beli baju kamu. Yang paling bikin lama itu beli baju kamu karena aku takut ukurannya gak pas. Aku harap baju yang aku pilih ini ukurannya pas buat kamu."
Vika menatap paper bag yang zio dekatkan ke wajahnya dengan pipi Vika masih menempel di d**a Zio.
"Kan aku udah bilang jangan beliin kebutuhan pribadi aku pake duit kamu."
"Sekali-sekali, Vikachu."
"Tapi menurut aku berlebihan Zio."
Zio menggeleng.
"Kamu udah mandi?
Vika mengangguk menatap paper bag yang sudah berada di pangkuannya.
"Kita makan dulu yuk. Oh iya, katanya jam sembilan nanti listrik nya mati lagi." Kata Zio sambil beranjak berdiri.
"Kok di sini jadi sering mati listrik? Tiga tahun aku di sini baru kali ini lho listrik nya mati."
"Aku denger-denger sebagian pasokan dari dua unit pembangkit listrik hilang gitu, jadi ntar mau dibenerin."
Zio mengulurkan tangannya pada Vika.
"Ayo kita makan."
Vika menaruh paper bag nya di sofa dan menerima uluran tangan Zio.
"Aku tidurnya gimana?"
"Di kamar aku. Kemaren gak jadi di kamar aku karena pas kita sampe di rumah listriknya udah nyala, malem ini tidurnya di kamar aku." Kata Zio seraya mengusap kepala Vika dan mereka bersama-sama jalan menuju meja makan.
️
Vika yang sedang duduk di tempat tidur sudah berganti pakaian dengan piyama berlengan serta celana yang panjang tengah memperhatikan Zio dimana Zio sedang menyusun bantal nya di sofa.
"Kamu kenapa ngeliatin aku, apa karena aku seksi?"
Vika tertawa kecil.
"Kamu beneran mau tidur di sofa?"
Zio mengangguk.
"Di situ gelap."
"Aku gak takut gelap." Kata Zio.
Vika menatap lampu tidur yang menggunakan baterai berada di nakas. Sayangnya lampu itu hanya ada satu.
"Kamu jangan di situ." Ucap Vika karena sejujurnya ia takut melihat Zio berada di sofa yang ada di sudut kamar.
"Terus aku dimana?"
Vika menatap sisi tempat tidur yang kosong.
"Emm... Di sini." Vika menggeser tubuhnya.
"Aku tidur sama kamu?"
Vika mengangguk tidak yakin.
Zio mendekati Vika tanpa membawa bantal dan selimutnya.
"Kan kamu gak akan ngapain-ngapain aku kan?"
Zio langsung menggeleng.
"Lagian ini juga tempat tidur kamu. Aku gak enak ngeliat kamu tidur di tempat gelap kayak gitu." Vika menaruh guling ditengah-tengah tempat tidur. "Gak ada yang boleh lewatin guling nya."
Zio tertawa mendengar ucapan Vika serta guling yang ada di tengah-tengah.
"Kalo kamu keberatan gak papa, aku tidurnya di sofa aja."
"Gak papa, di sini." Vika menepuk-nepuk sisi tempat tidur bagian kanannya.
Vika mulai berbaring saat melihat Zio mendekatinya sambil membawa bantal dan selimut.
Vika menarik selimut sampai ke dadanya dan diam-diam Vika menyentuh dadanya dengan tangan.
Jantung Vika berdebar kencang saat Zio sudah berbaring di sebelahnya.
Terjadi keheningan diantara mereka setelah itu.
Vika sendiri bingung mengapa Zio diam karena biasanya Zio lah yang paling banyak berbicara.
"Kamu gak bisa tidur ya karena guling nya dipake untuk jadi pembatas?"
Zio menoleh menatap guling miliknya yang memang dijadikan pembatas diantara mereka. Tadi memang memakai guling Vika namun Zio menukarnya dengan miliknya agar tidur Vika lebih nyaman. Lampu tidur yang ada di nakas bagian kanan pun Zio pindahkan ke bagian kiri dekat dengan Vika.
"Bisa kok."
"Tapi kamu pernah bilang sama aku kalo kamu gak bisa tidur kalo gak meluk sesuatu."
Zio tersenyum.
"Aku bisa peluk guling ini," Zio menyentuh guling nya. "Kan asal jangan aku ngelewatin guling nya."
Vika ikut tersenyum.
Kembali terjadi keheningan sebelum akhirnya Vika kembali membuka suara.
"Zio,"
"Hmm."
"Aku mau nanya."
Zio kembali menoleh.
Vika berbaring menyamping menghadap Zio agar lebih leluasa menatap wajah kekasihnya.
"Apa kamu yang bayarin uang kuliah aku?"
Zio diam sejenak lalu menggeleng.
"Bener bukan kamu?"
"Bukan."
"Kamu bohong kan."
Zio diam mengalihkan tatapannya.
"Zio..." Vika memegang tangan Zio dan menggoyangkannya.
Zio mengangguk, "iya aku yang bayar."
Vika langsung menjauhkan tangannya dari tangan Zio.
"Aku udah bilang..."
"Tapi aku sendiri yang mau Vika. Kamu boleh gak suka kalo aku ngeluarin uang untuk kepentingan atau keperluan pribadi kamu, tapi aku sendiri yang mau."
"Aku gak suka!" Kata Vika berbaring terlentang meremas ujung selimut yang menutupi dadanya.
"Aku bukannya gak berterimakasih, Zio. Tapi... Tapi kamu udah terlalu baik sama aku, kamu gak perlu beliin ini itu apalagi sampe bayar uang kuliah aku, aku gak butuh itu. Yang aku butuh cuma kamu selalu ada di dekat aku, cuma itu."
"Aku gak mau ngeliat kamu sedih, aku gak mau kamu banyak pikiran. Selama kita pacaran kamu gak pernah minta apa-apa sama aku."
"Kamu pacar aku bukan suami aku, aku gak berhak minta apa-apa ke kamu selama kamu masih jadi pacar aku."
Zio menjauhkan guling yang menjadi penghalang bagi mereka mengarahkan tubuh Vika untuk menghadap ke arahnya.
Zio menggenggam erat kedua tangan Vika dan menempelkannya di dadanya.
"Kalo gitu ayo kita nikah."