Zio meletakkan tubuh Vika di tempat tidurnya dengan hati-hati. Zio duduk di tepi tempat tidur seraya menyingkirkan rambut Vika menyelipkannya kebelakang telinga.
Zio memperhatikan wajah kekasihnya yang sedang terlelap. Wajah cantik Vika masih terlihat pucat, bahkan saat diperjalanan tadi Vika masih saja terisak.
Zio terkesiap saat Vika bergerak.
Vika membuka kedua matanya dan terkejut melihat Zio berada di dekatnya. Tak lama Vika menangis ketakutan.
"Vika,"
Vika berbalik membelakangi Zio sambil terisak.
"Ini aku, gak ada yang bisa ganggu kamu lagi sekarang."
"Aku takut." Lirih Vika meremas kuat kemeja Zio yang menutupi bagian dadanya.
"Ada aku. Kamu aman sekarang."
"Aku takut sama... Kamu."
Bibir Zio langsung terkatup rapat.
"Aku takut." Ucap Vika sambil terisak.
"Maaf kalo aku udah bikin kamu takut. Tapi gak mungkin aku diem aja ngeliat kamu hampir diperkosa kayak gitu, untuk yang kedua kalinya."
Isakan Vika terdengar semakin jelas.
"Orang kayak dia gak pantes dibiarin, Vika. Bahkan orang kayak dia gak pantes hidup."
"Aku takut kalo kamu marah sama aku." Ucap Vika dengan lirih.
"Enggak. Selama kita pacaran gak pernah sekalipun aku marah sama kamu kan walaupun kamu punya salah, walaupun kamu sering ngambek. Aku gak akan pernah marah sama orang yang aku sayang, aku sayang sama kamu."
Vika menghapus air matanya seraya mengigit bibir bawahnya.
"Gimana kalo kita udah nikah nanti? Aku takut kamu marah-marah sama aku."
Zio berpindah duduk ke sisi tempat tidur yang lain langsung berhadapan dengan wajah Vika karena sejak dari dirinya hanya bisa menatap punggung Vika.
"Pukul aku kalo sempet aku marahin kamu." Ucap Zio menggenggam erat tangan Vika.
Mata Vika berkaca-kaca melihat tatapan sendu Zio kepadanya.
Zio yang tengah berlutut berpindah duduk di tepi tempat tidur menuntun tubuh Vika yang masih sangat lemas untuk duduk.
"Everything will be fine, trust me." Kata Zio sambil mengusap pipi Vika.
Vika langsung memeluk Zio menenggelamkan dalam-dalam wajahnya di leher Zio.
Zio membalas pelukan Vika dengan erat mengelus punggung kekasihnya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
Vika melepaskan pelukannya dan menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang.
"Baju nya diganti dulu, ya."
Vika menatap ke bawah dimana bagian dadanya masih tertutupi oleh kemeja milik Zio.
Vika mengangguk.
"Aku ambil baju aku dulu." Zio berjalan ke arah lemarinya mengambil kemejanya yang lain karena hanya kemeja Zio saja lah yang pas untuk tubuh Vika.
Zio kembali duduk menaruh kemejanya di pangkuannya.
"Bisa ganti sendiri?" Tanya Zio.
Dengan jujur Vika menggeleng lemah.
Jangankan untuk menggerakkan tubuh, menggerakkan tangannya dan anggota tubuhnya yang lain sangat susah, tenaga Vika seperti terkuras habis, kepalanya sakit, begitu juga bekas tamparan yang masih berbekas di pipinya.
Zio menelan ludahnya.
"Aku bantu?"
Kepala Vika yang tertunduk sedikit terangkat.
Vika mengangguk.
Zio ikut mengangguk kecil kemudian lebih mendekatkan dirinya pada Vika.
Dengan gerakan begitu perlahan Zio menyingkirkan kemejanya yang menutupi d**a Vika. Zio menatap Vika saat kemejanya sudah tersingkir.
"Maaf." Kata Zio nyaris berbisik.
"It's okay." Balas Vika dengan suara yang sama seperti Zio.
Tangan Zio mulai menyentuh kancing baju Vika yang hanya tersisa tiga kancing lagi. Setelah seluruh kancingnya terbuka Zio mendekatkan tubuhnya pada tubuh Vika yang sekarang hanya mengenakan bra, tangan Zio beralih menarik bagian lengan baju Vika untuk segera melepaskannya dari tubuh kekasihnya.
Zio menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuh Vika karena ia hendak membuka seluruh kancing kemeja yang baru saja ia ambil dari lemari.
Setelah terbuka Zio langsung memakaikan kemejanya pada tubuh Vika. Selimut yang tadinya menutupi tubuh Vika sudah tersingkir.
Zio mulai mengaitkan kancing kemejanya dari paling bawah sampai ke bagian paling atas.
Zio memejamkan matanya sejenak kala jemari tangannya yang hendak mengaitkan kancing tepat di bagian d**a Vika tanpa sengaja menyentuhnya.
Setelah selesai Zio mengambil kemeja yang dipakai untuk menutupi bagian d**a Vika. Untuk bagian bawah Vika tetap memakai celana jeans nya.
Zio memperhatikan Vika, matanya tertuju ke arah pipi Vika.
"Ini kenapa?" Tanya Zio sambil mengelus pipi kiri Vika yang merah.
"Di tampar." Jawab Vika sangat lirih.
Rahang Zio mengeras, tangan kirinya yang sedang memegang kemejanya ia remas dengan kuat.
Mata Vika terpejam ketika merasakan kecupan-kecupan lembut mendarat di pipinya yang masih terasa cukup panas dan perih.
Vika melingkarkan tangannya di leher Zio kala Zio masih mengecup seluruh pipi kirinya. Jujur saja Vika menikmati karena ini adalah pertama kalinya Zio mengecup pipinya selama dua tahun mereka berpacaran. Zio hanya mengecup kepala, kening, serta punggung tangannya tanpa berani mengecup pipinya. Namun untuk kali ini Zio memberanikan diri untuk mencium pipinya yang sempat tersiksa.
"It's okay, baby. You safe with me." Bisik Zio sambil mengelus pipi Vika.
️
Zio menyunggingkan senyum ketika ia melihat Vika datang ke dapur.
"Udah ngerasa baikan?"
Vika mengangguk kecil sambil duduk di kursi yang ada di mini bar.
"Aku buatin nasi goreng untuk kamu. Mau aku suapin?"
Vika mengangguk.
Zio pun langsung mengambil sepiring nasi goreng yang ada di dekatnya ikut duduk di dekat Vika.
Vika membuka mulutnya saat Zio mulai menyuapinya. Mata Vika tanpa sengaja tertuju pada tangan Zio atau lebih tepatnya jemari Zio yang kini sudah berubah warnanya menjadi merah kebiruan.
Vika berpikir, betapa kuatnya Zio memukul Om nya hingga tangan Zio dapat seperti itu.
"Sakit?" Vika menatap tangan Zio.
Zio yang sedang menyendokkan nasi menatap tangannya.
"Enggak." Zio menggeleng.
"Tapi tangan kamu sampe kayak gitu."
"Ini gak papa." Zio berusaha meyakinkan Vika.
Vika mengunyah dengan gerakan lambat, mata nya masih tertuju ke arah tangan Zio.
"Kamu gak usah balik ke apartemen."
Vika menatap Zio.
"Aku udah nyuruh orang untuk beresin barang-barang kamu yang ada di apartemen untuk dibawa ke sini."
"Aku tidur sini?"
"Memangnya kamu mau balik ke apartemen kamu?"
Vika langsung menggeleng.
"Lagian bentar lagi kita nikah. Gak papa kamu di sini." Zio tersenyum.
Vika mengangguk kecil.
"Kenapa kamu bisa balik ke apartemen aku?" Tanya Vika karena ia penasaran bagaimana Zio bisa kembali ke apartemennya.
"Aku selalu nemenin kamu tidur, kamu tidur baru aku pulang. Kemaren enggak terus aku ngerasa gak enak ninggalin kamu sebelum kamu tidur. Aku juga sempet ketemu sama Om kamu di lobi, aku gak tau kalo ternyata dia itu Om kamu karena kamu gak pernah kasih tau aku gimana wujud dia. Waktu aku di parkiran udah masuk ke mobil aku baru sadar kalo aku pulang sebelum kamu tidur, aku mikirnya ntar kamu takut gak bisa tidur jadinya aku balik masuk ke apartemen."
Vika menundukkan kepala dan kembali teringat akan kejadian mengerikan malam tadi.
"Untung kamu dateng, coba enggak. Gak tau lagi gimana nasib aku." Kata Vika dengan lirih serta mata yang berkaca-kaca.
"Jangan di pikirin terus, dia gak akan bisa ganggu kamu lagi karena aku udah laporin dia ke polisi. Aku yakin dia bakal di tahan karena ada buktinya, CCTV apartemen kamu bisa dijadiin bukti, waktu dia maksa kamu masuk ke kamar." Kata Zio sambil mengelus lengan Vika.
Zio menaruh piring yang ia pegang di mini bar kemudian memeluk erat Vika yang mulai terisak.
"Jangan takut, ada aku." Zio mengecup lembut puncak kepala Vika.
Vika mengangguk meremas baju Zio dengan kuat.
️
"Aya, sini." Panggil Vika pada Aya yang sedang berdiri di pinggir kolam ikan koi dan koki peliharaan Zio.
Zio juga mempunyai ikan koki yang diletakkan di dalam akuarium.
"Aya mau ikan." Aya melangkah mendekati Vika yang sedang duduk di gazebo.
"Nanti Aya minta sama Abang, ya."
"Nanti aja, Abang masih ngomong sama Papi Mami. Aya di sini sama kakak." Vika menahan Aya yang hendak pergi masuk ke dalam rumah.
Nevan, Reya dan Aya datang sekitar tiga puluh menit yang lalu. Mereka sempat berbincang sebentar sampai Zio meminta Vika untuk mengajak Aya ke taman belakang.
Vika tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh mereka, yang jelas Vika tahu bahwa topik pembicaraan mereka tidak jauh-jauh dari dirinya ataupun mengenai pernikahan mereka.
"Kita kasih makan aja ya ikan nya."
Aya langsung mengangguk antusias.
Vika pun mengambil makanan ikan yang ada di dalam mangkuk lalu duduk di pinggir kolam dengan Aya yang duduk di pangkuan Vika.
"Kakinya jangan di masukin." Kata Vika saat melihat Aya hendak memasukkan jempol kakinya di air dimana ikan-ikan koi milik Zio sudah berebut mengambil makanan mereka.
"Bial kaki Aya dimakan."
Vika refleks tertawa.
"Mau kakinya dimakan?"
Aya mengangguk sambil tersenyum.
"Ntar nangis kalo kakinya dimakan."
"Enggak." Aya menggeleng melemparkan makanan ikan ke tengah kolam.
Aya menatap satu ikan koi yang tengah berusaha merebut makanan namun tidak bisa karena faktor tubuhnya yang kecil, berbeda dengan ikan koi lainnya yang memiliki tubuh besar.
Ikan koi kecil itu berenang ke arah Aya dan Vika.
"Ini punya kamu." Aya menaruh semua makanan ikan yang berada di genggaman nya didepan ikan kecil tersebut.
"Ih gak boleh! Kalian udah!" Aya menggerakkan tangannya seolah mengusir ikan lain yang sekarang sudah berebut mengambil jatah si ikan koi kecil tadi.
"Kak Vika." Aya menatap Vika sembari menunjuk ke arah kolam.
"Ikan nya pasti udah makan kok."
"Belum." Aya menggeleng menatap ikan koi kecil yang sekarang berenang di dekat mereka sedangkan ikan yang lainnya asyik makan.
"Taluh situ." Aya menunjuk ke arah wadah berbentuk persegi yang ada di dekat kolam ikan.
"Nanti Abang marah ikan nya dikeluarin."
"Enggak, Abang gak mau malah." Aya beranjak dari pangkuan Vika melangkahkan kaki untuk mengambil wadah tersebut.
Setelah diambil Aya mengisi wadah tersebut dengan air.
"Air nya kebanyakan." Vika mengurangi sedikit air yang terlalu penuh pada wadah yang Aya pegang.
"Ikan nya ambil." Ucap Aya pada Vika menunjuk ikan koi kecil yang masih berenang di dekat mereka.
"Ntar langsung di taruh lagi ya, takutnya nanti Abang marah ngeliat ikan nya dikeluarin." Vika mengambil jaring ikan yang terletak di dekat gazebo untuk mengambil ikan koi kecil.
Semenjak Vika sudah melihat Zio bagaimana Zio saat sedang marah Vika menjadi takut dan mulai bersikap hati-hati dalam melakukan apapun karena ia tidak ingin lagi melihat Zio marah di depannya.
Aya tersenyum puas saat ikan koi kecil yang malang sudah berada di dalam wadah persegi tersebut. Tangan mungil Aya langsung mengambil segenggam makanan ikan.
"Dikit-dikit aja dulu, kalo ikan nya kurang nanti ditambah lagi." Ujar Vika mengurangi takaran makanan untuk sang ikan.
Aya tertawa kala melihat ikan koi tersebut sudah mulai makan. Sedangkan Vika tersenyum melihat Aya tertawa sambil berusaha menyentuh badan sang ikan.
"Kenapa ikan nya dikeluarin?"
Vika terlonjak kaget sedangkan Aya terlihat santai dan tenang.
"Emm... Itu, ikan kecil ini gak kebagian makanan. Jadi aku pindahin ke sini biar bisa makan. Gak papa, kan?" Vika menatap takut Zio yang sedang berdiri di depannya.
Zio duduk di dekat Aya bersama dengan Vika. Mereka duduk di tepi kolam ikan.
"Ikan yang ini emang gak pernah kebagian makanan, aku juga selalu ngelakuin ini biar ikan nya bisa makan."
Vika bernapas lega refleks memegang dadanya.
Syukurlah.
"Aku tadi bahas soal pernikahan kita sama Papi Mami aku."
Vika langsung menatap Zio ketika ia sedang memperhatikan ikan koi yang tengah makan.
"Kita belum kabarin Papa kamu soal rencana kita mau nikah."
"Gak usah." Kata Vika membuat Zio mengerenyit.
"Tadi pagi abis kejadian di apartemen aku telfon Papa, gak diangkat."
"Gak mungkin kita nikah tanpa izin dari Papa kamu, kita harus minta izin."
"Papa aku aja gak perduli."
"Seenggaknya kita telfon Papa kamu."
"Gak diangkat, dia selalu kayak gitu sama aku." Ucap Vika dengan nada frustasi.
"Kamu harus ada wali di nikahan kita nanti." Balas Zio dengan lembut.
"Papi aku lagi berusaha hubungi Papa kamu mau ngasih tau soal pernikahan kita. Kamu juga berusaha hubungi ya, aku yakin Papa kamu pasti mau angkat telfon kamu." Lanjut Zio sambil menggenggam tangan Vika.
Vika mengangguk membuat Zio tersenyum.
"Ya ampun Abang, ini rumah apa kebun binatang." Nevan berdiri di depan pintu sedangkan Reya berjalan ke arah kolam ikan.
"Di dalem ada kucing, ada hamster, ikan. Di luar ada burung, ikan, ada ular lagi."
"Mana?!" Vika dan Reya kompak mengeluarkan suara.
Vika yang sedang duduk langsung berdiri diikuti dengan Zio.
"Abang melihara ular, serius?" Tanya Reya mulai diselimuti rasa takut.
"Eng..." Zio tersenyum.
Melihat Zio tersenyum mata Vika dan Reya terbelalak.
"Kenapa aku gak tau? Dimana ular nya?" Tanya Vika.
Zio menunjuk ke arah kandang yang terbuat dari kaca yang ada di dekat dinding pagar rumah belakang.
"Lho, ular nya kemana." Kata Zio karena ia tidak melihat keberadaan ular nya di dalam kandang.
"Ih, lucu." Mereka menatap Aya yang sedang mengelus-elus sesuatu berwarna hijau berukuran kecil dan panjang.
"AAAAAAA!!!" Jerit Vika dan Reya secara bersamaan karena ternyata ular Zio berada di dekat mereka.
Kedua perempuan itu refleks berpegangan tangan dan langsung masuk ke dalam rumah.