"Kamu mau kemana?" Vika memperhatikan penampilan Zio dimana Zio tengah memakai kemeja putih serta celana bahan dan sepatu yang begitu mengkilap.
"Aku udah mulai magang."
Vika terdiam.
Zio tersenyum menyentuh kedua pundak Vika.
"Aku magang nya masih di sini kok, di perusahaan itu." Zio menunjuk ke arah belakang Vika.
Vika menoleh menatap sebuah gedung tinggi pencakar langit.
"Cuma sepuluh menit dari sini, aku juga masih bisa anter jemput kamu. Kamu juga bisa ke sana kalo kamu mau." Ucap Zio dengan lembut.
Vika menatap Zio.
"Berapa lama?"
"Tiga bulan."
"Berarti bentar lagi kamu wisuda?"
Zio mengangguk kecil.
"Aku gak akan kemana-mana, aku bakal ada di deket kamu terus. Jangan takut."
Vika terenyuh mendengar kalimat tulus Zio.
Zio tersenyum saat ia melihat bibir pink kekasihnya tengah menyunggingkan senyum.
️️
Langkah Vika terhenti secara tiba-tiba ketika ia melihat seorang perempuan berkacamata datang dari arah berlawanan. Ingin berbalik pergi namun dirinya sudah tertangkap basah.
Vika menelan ludahnya dengan tangan yang mulai dingin saat perempuan yang berusaha ia hindari mulai mendekat ke arahnya.
Semakin dekat hingga jantung Vika sudah berdebar-debar.
Vika menatap kosong ke arah tanaman yang ada di dekatnya ketika perempuan tersebut menyunggingkan senyum saat melewatinya.
"Masa dia gak ada bahas uang kuliah gue." Gumam Vika.
Merasa tidak ada yang beres Vika pun berlari mengejarnya.
"Miss!"
Vika mempercepat langkahnya ketika orang yang ia panggil berbalik ke arahnya.
"Can I ask something?"
"Of course."
Vika tersenyum kecil, sebelum ia bertanya mata Vika melirik ke sekitarnya.
"Why don't you discuss my tuition again?" Tanya Vika dengan pelan.
"Because your tuition has been paid, what should I discuss again?"
Vika tampak terkejut.
"But I'm..."
"I have to go, see you."
Vika terdiam di tempat dan berusaha mencerna perkataan yang baru saja ia dengar.
Uang kuliahnya sudah dibayar?
Siapa yang membayarnya?
Seingat Vika uang kuliahnya baru dibayar sedikit sekali oleh uang hasil jual make-up miliknya.
️
"Masih sakit?"
"Banget."
Vika meremas tali tas nya melihat Zio tengah mengurut kaki yang Vika ketahui bernama Maura.
Maura merupakan teman satu kelas Zio dan berasal dari negara yang sama seperti mereka, Indonesia. Jujur Vika tidak menyukai Maura semenjak Maura berusaha mendekati Zio diawal-awal mereka pacaran.
Remasan Vika semakin kuat kala matanya dan mata Maura saling bertemu. Tanpa rasa bersalah ataupun tidak enak Maura malah memegang bahu kekasihnya.
Dulu ketika Zio dekat dengan perempuan lain Vika langsung bertindak dengan cara memanggil Zio dari kejauhan. Kelakuan Vika yang seperti itulah yang membuat dirinya tidak begitu disukai oleh teman-temannya ataupun teman Zio. Tapi sekarang Vika sadar, jika ia terus bersikap seperti dulu itu sama saja ia sudah mempermalukan Zio, bahkan mempermalukan dirinya sendiri.
"Zio..." Gumam Vika dengan mata yang tidak pernah lepas dari Zio dan Maura.
Vika memperhatikan sekitarnya yang sudah tidak ada siapa-siapa lagi selain Zio, Maura dan dirinya yang belum diketahui oleh Zio akan kehadirannya di tempat itu.
Zio membantu Maura yang tengah duduk di kursi khusus untuk karyawan membawa gadis itu keluar dari kantor karena hari sudah mulai gelap.
Zio terpaku ketika ia melihat Vika berdiri di depannya dengan jarak kurang lebih tiha meter dari tempat Zio berdiri.
"Kaki aku sakit banget."
Zio menatap Maura dan mengangguk.
"Jalannya pelan-pelan ya."
Maura mengangguk.
Vika memperhatikan tangan Maura yang melingkar di pinggang Zio, memegang dan meremas kuat kemeja Zio.
"Why are there still people here." Seorang satpam tiba-tiba datang.
"Is she sick?" Satpam tersebut mendekati Zio dan Maura.
Zio mengangguk.
"Her leg are sprained, can you take her to the nearest clinic, please."
"Okay." Balas satpam tersebut seraya membopong Maura.
Maura menunjukkan ekspresi kesal nya saat ia dibawa pergi oleh satpam tersebut dan tinggal Zio bersama Vika sekarang.
"Kamu gak bilang mau ke sini."
"Biar kamu bisa berduaan sama dia." Balas Vika tanpa menatap Zio.
"Tadi kaki Maura keseleo."
Walaupun merasa kesal dengan Zio Vika tidak menolak saat dirinya dibawa untuk duduk di kursi sedangkan Zio duduk di tepi meja.
"Itu meja kerja aku." Zio menunjuk ke arah sebuah meja yang berada tepat di sebelah meja yang di duduki oleh zio.
"Deketan sama meja Maura."
"Tapi kan ada ini nya." Zio menyentuh sebuah sekat yang menjadi pembatas antara mejanya dan meja Maura.
"Kamu marah?" Tanya Zio sambil menyelipkan rambut Vika.
"Dikit."
Zio terkekeh.
"Aku kan tadi cuma nolong Maura aja."
"Coba kalo gak ada satpam tadi mungkin kamu udah bawa Maura sampe ke klinik, kamu cuekin aku."
"Mana mungkin aku cuekin pacar sendiri."
Vika diam tidak membalas ucapan Zio.
"Maura suka sama kamu." Kata Vika dengan pelan.
"Aku tau."
"Kalian bakal sama-sama di sini selama tiga bulan, gimana kalo kalian jadi deket?"
"Deket sebagai temen kan gak masalah."
"Iya awalnya temen, lama-lama? Demen!"
Zio kembali terkekeh.
"Maura bukan tipe aku."
"Kenapa bukan? Maura kan lebih cantik dari aku."
"Itu kata kamu. Kalo kata aku kamu yang lebih cantik dari Maura."
Vika yang semula memperhatikan ke arah jendela beralih menatap Zio yang sedang tersenyum.
Vika melipat kedua tangannya di atas paha Zio dan menjatuhkan kepalanya diantara lipatan tangannya dengan senyum yang mengembang secara sembunyi-sembunyi.
"Kamu udah makan?" Tanya Zio sambil memainkan rambut Vika.
Vika menggeleng.
Bagaimana ia mau makan sedangkan uang saja ia tidak punya, semua uangnya sudah habis untuk membayar cicilan uang kuliahnya dimana ia mendapatkan kabar bahwa semua uang kuliahnya sudah dibayar oleh seseorang yang Vika tidak ketahui siapa dia.
"Aku juga belum, kita makan yuk." Ajak Zio dan langsung dibalas anggukan.
Vika berdiri dengan kedua tangan berada di pundak Zio dimana Zio masih duduk.
"Emm... Aku boleh tidur di rumah kamu, lagi?"
Vika menundukkan kepalanya ketika alis Zio terangkat.
"Aku takut, kemaren aku mimpi kalo Om aku dateng. Di mimpi aku dia mau ngapain-ngapain aku lagi, aku gak bisa tidur semaleman. Iya sih cuma mimpi, tapi aku takut banget."
Vika mengangkat kepalanya secara perlahan ketika merasakan tangan Zio mulai menyentuh pinggangnya.
"Boleh." Balas Zio karena sesungguhnya ia dapat melihat dengan jelas raut wajah takut dan khawatir yang terpancar dari wajah cantik kekasihnya.
Vika tersenyum.
"Makasih. Aku nginep di rumah kamu cuma sehari doang kok."
Zio tersenyum menjauh dari meja yang ia duduki.
"Ada saatnya kamu bakal terus tidur di rumah aku." Bisik Zio sebelum tangannya menarik lembut tangan Vika.
Vika tersenyum menggigit bibir bawahnya memperhatikan punggung lebar Zio.
Senyum Vika menghilang dan genggaman tangannya semakin kuat ketika tiba-tiba saja lampu padam.
"Zio..." Vika merapat ke tubuh Zio memeluk erat lengan Zio.
Zio merogoh-rogoh kantongnya untuk mencari ponsel dan menghidupkan senter. Namun sayang ponsel Zio mati.
"Kamu bawa handphone?" Tanya Zio.
"Handphone aku ketinggalan. Makanya gak kasih tau kamu kalo aku mau ke sini."
Zio menghela napas pelan dan memasukkan ponselnya ke kantong celana.
"Jangan kemana-mana ya, aku mau cari senter."
Vika menggeleng, "ikut."
Zio mengangguk kecil membawa Vika sambil mencari-cari senter.
Tak lama kemudian Zio dapat menemukan sebuah senter dari meja salah seorang karyawan.
Vika menghela napas lega karena mereka sudah menemukan senter sehingga mereka bisa keluar secepatnya.
"Kira-kira di rumah kamu listrik nya mati juga?"
Zio menoleh, "kamu takut kalo listrik nya lagi mati gini?"
Vika mengangguk.
"Gak tau mati atau enggak di rumah aku. Kalo mati ntar kamu tidurnya sama aku."
Vika langsung menatap Zio.
"Aku tidur di sofa." Lanjut Zio sebelum Vika berpikir semakin jauh.
Vika mengalihkan tatapannya seraya memeluk erat lengan Zio.