Hati siapa tak akan girang saat seseorang yang membuatmu nyaman, kini dekat. Dikelilingi pemandangan jejeran tenda yang tampak bagian belakang dan rimbunan pohon menjulang tinggi.
"Ceritakan tentangmu," pinta Tifa saat keduanya duduk di atas sebuah batang pohon yang sengaja ditumbangkan untuk tujuan pendirian tenda beberapa waktu lalu.
"Aku?" ulang Iko sambil menunjuk dirinya sendiri dengan jari. Ia mengernyit ke arah Tifa di sampingnya.
"Iyalah kamu." Iko mengerjab sekali. Ditatapnya langit cerah bertabur bintang membuat malam ini tidak ada tanda akan turun hujan.
"Apa yang pengen kamu tahu tentangku?" Iko seolah bingung harus menceritakan tentang dirinya dari bagian mana. Sejujurnya dirinya tidak begitu menarik untuk diceritakan.
"Apa saja, aku cuma ingin mengenalmu lebih dekat."
"Aku memiliki seorang kakak perempuan yang cerewet. Tapi aku sangat menyayanginya. Juga seorang sahabat perempuan yang lucu dan sangat cantik." Iko memulai ceritanya seraya menerawang ke langit sambil tersenyum merindukan perempuan-perempuan yang mengelilingi dan merecoki hidupnya.
"Enak ya punya kakak, aku anak pertama makanya nggak punya kakak," timpal Tifa yang iri.
"Aku juga dulu pengen punya adik, dan akhirnya setelah dua keponakan kembarku lahir, aku bisa merasakannya." Iko tersenyum riang mengingat dua keponakannya.
"Aku anak pertama dari dua orang adik laki-laki yang membuatku senewen dengan keusilannya. Hem, cukup berbeda denganmu, kan. Kalau dirimu dikelilingi cewek-cewek cantik, aku dikelilingi cowok-cowok kece duplikat ketampanan Papa." Tifa mengingat dua adiknya yang masih sekolah
"Cakep mana sama aku?" celetuk Iko yang seketika membuat Tifa berdehem.
"Papaku lah, kamu sih jauh," cibir Tifa mengibaskan tangannya.
"Kamu aja yang belum sadar gimana cakepnya aku. Emil aja mengakui,"
"Emil?"
"Iya."
"Dia kan sahabat kamu, udah pasti bilang yang baik aja."
"Ehm, ngomong-ngomong ... kamu lagi single apa udah doble, atau malah udah beranak pinak?" Tifa tergelak dengan susunan kata yang dipilih Iko.
Doble? beranak pinak? ya ampun, tolong enyahkan tuduhan tak beralasan itu. Memangnya Tifa terlihat sudah setua itu? "Enak aja aku udah beranak pinak, masih single, masih ting-ting, polos kayak bocah."
"Syukur deh kalau masih single, soalnya aku juga single yang kesepian. Kalau kita gabungin single kita aja gimana?" Tifa yang tadinya kesal dengan tudingan Iko bahwa dirinya dianggap sudah beranak pinak, seketika hanya bengong.
"Yah, kok bengong sih Tif." Iko menepuk-nepuk pundak Tifa yang masih diam sambil membuka mulutnya menatap Iko tak berkedip. Merasakan tepukan di pundaknya, seketika Tifa sadar dan mengerjapkan matanya.
"Eh, maksudnya apa ya, Ko, kok digabung-gabungin?" Ternyata istilah yang digunakannya tidak dimengerti Tifa.
"Masa nggak paham sih, Tif." Tifa menggeleng pelan.
"Gini deh," Iko mengacungkan jari telunjuk kanannya dan menekuk empat jari lainnya, "kamu sendiri, aku juga sendiri." Kini jari telunjuk tangan kiri Iko mengacung, kemudian kedua telunjuk saling menempel.
"Aku sendiri, kamu juga sendiri. Biar nggak sama-sama nestapa kita-" kedua telunjuk yang menempel tadi ditekuk ke dalam oleh Iko hingga membentuk tanda ♡ yang tidak jelas.
"Udah, ngerti?" tanya Iko menoleh pada Tifa yang memperhatikan gerakan tangannya saksama.
Ada semburat malu-malu dari wajah Tifa begitu Iko memperhatikan gadis di sebelahnya.
"Lama, bilang iya susah amat." Iko yang tak sabar sedikit memaksa.
"Kamu mau bilang kita jadi pasangan kekasih aja juga susah amat pakai kode begini, aku kan bingung juga," kesal Tifa.
"Mau nggak?" tanya Iko sekali lagi.
"Ehm, gimana ya?" pikir Tifa sedikit mengulur waktu. Hingga kemudian ia mengangguk. Seperti inikah rasanya cinta pertama? Masih canggung, namun begiu mendebarkan. Baik Iko maupun Tifa sama-sama kikuk sendiri jadinya.
■■■■
Mama Tifa sudah tiba di Jakarta. Bersama suaminya tentu saja. "Kamu pusing lagi, Tif?" Tifa mengangguk. Rere melirik Fahri, adik iparnya berdiri mendekat.
"Tapi tadi. Sekarang udah enggak. Jangan khawatir begitu, Ma. Aku baik-baik aja kok." Rere mengusap kepala anaknya. Ia sudah terbiasa melihat Tifa mengeluh pusing sejak insiden itu. Tapi tidak dengan pingsan berkali-kali karena rasa pusing di kepalanya.
"Apa ada sesuatu yang kamu pikirkan?" Fahri mencoba mencari tahu. Amnesia Tifa bisa saja pemicunya. Tifa mengangguk ragu. Matanya memejam sesaat.
"Ada. Sedikit, Om. Tapi sudah tidak lagi." Bohong. Sebenarnya Tita penasaran akut dengan lelaki bernama Iko. Yang tiba-tiba hadir untuk membawanya menguak masa lalu. Seakan ada hal penting yang harus dibongkar.
Fahri mengusap dagunya yang licin. "Ehm, baiklah kalau tidak ada masalah." Tifa berusaha tersenyum. Fahri menoleh pada Rere. "Ajak dia jalan-jalan. Biar pikirannya lebih segar." Rere mengangguk.
♡♡♡
"Ini di mana, Ma?" Tifa kebingungan saat mobil milik Fahri, omnya yang dipinjam sang Mama berhenti di depan sebuah rumah. Anehnya, kedua orangtua tersebut sambil menangis haru. Pasangan yang terjebak nostalgia itu malah menangis sendu dengan tisu dalam genggaman masing-masing. Mengabaikan pertanyaan Tifa yang sudah lima kali tanpa jawaban.
Tifa lelah. Drama di kursi depan lama-lama membuatnya pusing, melebihi saat ia mengingat pemilik nama Iko. Matanya dipejamkan saja sampai drama di depannya berhenti.
"Tif, tadi kamu tanya apa. Papa kurang jelas dengarnya." Abi menoleh pada anaknya di jok belakang.
Mendengkus kasar, Tifa menjawab, "Nggak jadi. Lanjutin aja drama kolosalnya. Aku mau pura-pura nggak denger."
Selesai dengan acara nostalgia di rumah lama Rere dan kontrakan Abi zaman masih perjaka dulu, mobil pinjaman itu meluncur ke rumah sahabat Abi. Konon, Mama dan Papa Tifa dulu terjebak cinta tetangga. Saat menjadi mahasiswa dulu, papanua mengontrak di samping rumah orangtuan Rere. Kisah cinta itu pun sempat terpenggal karena Abi harus kembali ke kampung halamannya di Samarinda.
"Kita di mana lagi ini, Pa?" Tifa yang baru membuka mata dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, nampak bingung. Sebuah rumah megah dengan gerbang yang menjulang tinggi tak pernah ia ingat pernah didatangi.
"Ini rumah temen Papa. Dulu anaknya pernah nginep di rumah kita." Abi mencoba mengingatkan. ’Dulu’ dalam bahasa Abi, sebenarnya sudah lebih dari setahun. Tifa juga lupa-lupa ingat. Memang sih, dulu ada tamu dari Jakarta yang numpang di rumahnya. Tapi, Mahar yang lebih banyak menjamu keakraban dengan mereka.
Mengikuti langkah Abi, Tifa membenarkan ikatan rambut. Membiarkan poni miringnya diterpa angin. Abi masuk lebih dulu beriringan dengan Rere. Tifa sendiri berjalan di belakang.
"Eh, udah dateng. Mas, ada Abi nih." Seorang wanita yang tengah menggendong anak perempuan gembil menyambut kedatangan keluargaTifa.
"Masuk, sini. Maklum, Bi lagi repot sama si kembar." Ara, nama wanita itu mempersilakan masuk. Sedikit kerepotan karena harus mengikuti tingkah cucu kembarnya.
"Ini anakmu, Bi? Siapa namanya, kok lupa." Tifa maju memperkenalkan diri. "Udah besar ya, Bi."
"Rey mana? Kok anak-anaknya ditinggal sama kalian?" Ara memegangi buku gambar yang sedang dicoret-coreti cucu perempuannya.
"Di sebelah. Menantuku rumahnya di sebelah. Kalau jodoh emang nggak ke mana, kan. Sama kayak kalian." Ada nada sindiran yang membuat Rere tersipu malu. Masa lalu ia bertemu suaminya.
"Kalian kapan punya ginian? Tifa dah gede juga. Nggak pengen nih, kayak kita gini?" Ara melirik pada Tifa yang meringis pilu. Ya ampun, kenapa selalu berakhir dengan situasi seperti ini.
Tak tahan dengan percakapan yang tidak dimengerti, Tifa pun pamit keluar. Melihat tanaman dan bocah kecil yang berlarian membuat Tifa tersenyum. Seorang perempuan datang memasuki pintu gerbang. Di belakang perempuan itu ada laki-laki berkacamata. Sedikit menyipit, Tifa seperti mengingat pasangan itu. Sebentar, siapa ya mereka?
"Abang sih, nggak jadi ke kolam renang pagi-pagi, deh. Kenapa ban motornya pakai bocor segala sih."
"Keberatan muatan mungkin, Sayang."
"Abang bilang apa? Jadi, aku berat? Ini namanya seksi bin muntuk."
Melewati teras tempat Tifa duduk, keduanya berhenti. Ketiga pasang mata itu saling bersitatap. Seoalah mengingat siapa, kapan dan di mana mereka pernah ada dalam situasi seperti ini.
"Mas Dika?"
"Tifa?" "Athifa?"
Jabat tangan dan pelukan hangat pun terjadi. Dulu, saat Eka belum lahir, Emil pernah ikut Dika ke kota tempat tinggal Tifa. Saat itu ada kerjasama anatara orangtua Emil dan Tifa. Untuk membantu, Dika pun diajak. Emil, sang istri yang sedang hamil tak ketinggalan pula.
"Ya ampun, lama banget kita nggak ketemu. Kamu apa kabar?" Suara Emil begitu riang. Melupakan kekesalannya akan insiden ban motor suaminya yang bocor. Padahal sudah berencana pergi berenang bertiga. Datang pagi, agar tidak ramai. Maklum, lagi musim liburan. Dika yang melihat istrinya bercakap-cakap, segera pamit masuk ke rumah. Lebih tepatnya ke kamar kakak Emil untuk mengambil kunci. Ia hendak meminjam mobil milik iparnya. Mumpung yang bersangkutan tidak pergi ke mana-mana.
"Aku baik. Kok bisa sih kita ketemu di sini. Aku lupa-lupa inget pas Papa bilang anak temennya pernah nginep di tempat kami. Ternyata kamu." Tifa senang mengobrol dengan perempuan di depannya. Obrolan keduanya juga seru. Tifa pendengar yang baik bagi Tifa. Dan Emil, hiburan paling segar saat mengobrol bersama.
"Dari kapan datengnya? Kok nggak bilang sih. Nenek kamu bukannya di sini juga, ya? Berarti ke sini dalam rangka mudik liburan nih?" Tifa diberondong pertanyaan oleh Emil. Belum sempat ia menjawab, sebuah teriakan dari pintu gerbang membuat dua perempuan itu menoleh. Yang satu menatap jengkel, satunya langung menganga lebar.
"Mil, anakmu minta nenen nih. Aku mau pulang!"
Tidak mungkin.
Tifa menutup mulutnya lekas. Laki-laki yang mengiriminya surat dan memaksa kepalanya bekerja keras mengeruk ingatan masa lalu yang hilang, berdiri tak jauh darinya. Sambil menggendong seorang anak di depan dadanya.
"It-itu siapa?" Tifa agak ragu menanyakan. Tapi ia penasaran. Benarkan itu orang yang sama dalam pikirannya beberapa hari ini?
Tanpa menoleh Emil menjawab, "Itu ipar sekaligus sahabatku. Namanya Iko. Aku kenalin yuk!" Emil menoleh pada Tifa yang memandang Iko lekat. "Dia jomlo karatan. Siapa tahu cocok sama kamu. Kalau kamu nggak keberatan sih. Takut udah ada yang punya. Mau nggak?"
Tak tahu kenapa Tifa malah setuju. "Boleh. Sepertinya kita akan cocok."
Menarik tangan Tifa, Emil berjalan ke arah Iko. Laki-laki itu mematung di tempatnya begitu tahu siapa yang ada di depannya. Tadi ia tak begitu fokus melihat siapa yang duduk bersama Emil. Gerakan Eka yang meronta dan tangisnya yang memekakkan telinga, mengalihkan perhatian Iko secepat rasa penasarannya.
"Ko, nih kenalin temenku. Anak temennya Mama. Namanya-"
"Athifa. Namanya Tifa, kan? Aku Iko. Senang berkenalan kembali." Emil hanya menggaruk hidungnya bingung. Iko bereaksi agresif saat ia kenalkan dengan perempuan. Dan, bagaimana bisa Iko tahu nama temennya itu? Emil pikir, Iko mungkin sudah kerasukan Mak Lorenk.
"Hai, Iko. Senang akhirnya kita bertemu kembali."
________________Next__________