Sandi Hati

1562 Kata
"Kamu kenapa malah ngelamun sih?" tegur Bela saat dilihat KDR-nya malah melamun sambil mengaduk nasi goreng. Tifa yang tersadar dari suara Bela kembali memfokuskan pikiran, tangan dan matanya pada nasi goreng yang sedang diaduk. "Ngak kok. Lagi ngaduk nih," sangkalnya. "Kayaknya lagi kasmaran ya, kok dari tadi aku perhatiin senyum terus," goda Bela sambil menoel pipi Tifa yang mendadak bersemu. "Ih, apaan kayak remaja aja," elak Tifa. "Iya sih usia kita gak remaja, udah kepala dua juga. Tapi kalau kasmaran kan, nggak kenal usia?" sergah Bela. "Udah ah ni bawa masuk ke tenda," perintah Tifa guna menghindari temannya semakin ingin tahu. "Sama KDR sebelah ya?" tebak Bela yang mendadak melebarkan mata Tifa. Ditolehkan wajahnya kearah Bela. "Sebelah mana, ngaco ah. Udah bawa masuk sana kasihan di dalem kelaparan." "Beneran kan sama KDR sebelah? Iya sih aku lihat kalian sering jalan berdua. Aku setuju aja kalau akhirnya kamu bisa membuka hati buat laki-laki. Yah, pada akhirnya masa single-mu berakhir." Tifa hanya tersenyum saja mendengar temannya mengoceh. Ia memilih bungkam. ♡♡♡ Iko membuat catatan dari sobekan kertas yang dilipat dan dititipkan pada salah seorang teman Tifa. Pagi tadi seusai sarapan dan hendak menuju pos kegiatan masing-masing, Iko melihat sekilas gadis itu tengah menjemur baju di belakang tenda. Sebenarnya Iko ingin menyapa, namun keburu dipanggil temannya guna membicarakan rencana nanti malam. Jalan satu-satunya adalah mengirimi pesan dalam secarik kertas. Begitu mendengar pesan itu sampai pada Tifa, seulas senyum terbit di bibir tipisnya. "Ya ampun Tif, kalian lagi pacaran apa lagi penjelajahan sih? kirim surat pakai sandi rumput. Kayak lagi eksekusi di pos sandi aja," cibir Bela yang tiba-tiba hadir di samping Tifa dan berhasil mengintip catatan dari Iko. "Terserah dia lah, ini lebih romantis tau. Kalau begini kan ada tantangganya, ngapalin morse dulu biar paham sandi rumput." Bela merengut dengan ucapan Tifa seakan menyindir dirinya yang belum hafal morse. Kalau Tifa, memang lebih hafal karena dia berpatok pada lagu untuk mengingat Morse. Tifa melipat kembali kertas dari Iko, kemudian mengeluarkan bolpoin dari saku seragamnya. Membalas di bawah tulisan Iko. ♡♡♡ Iko baru saja selesai mandi karena udara yang panas membuatnya sering berkeringat. Hanya mengenakan kaus dalam warna putih dan celana seragam, ia berjalan menuju tenda. Sesekali menyisir rambut dengan jemari dari arah depan ke belakang, kemudain menyibak-nyibakkan sehingga cipratan air membentur udara. Langkahnya terhenti begitu melihat Tifa sedang berjongkok sambil menggosok sepatu dengan sikat gigi yang dibasahi dengan air. "Hai," sapa Iko. Seketika Tifa menoleh dan mendongakkan wajah. Tanpa berkedip ia menikmari tubuh Iko yang segar dan rambut hitamnya yang basah dengan tetesan air melewati tengkuk dan leher. Rambut Iko tidak panjang karena bagian pinggirnya dipangkas rapi menyisakan bagian tengah yang lebih panjang sekitar 2-3 centimeter. "Kenapa?" "Oh, tadi aku kegiatan lapangan. Agak kotor kena tanah berlumpur. Aku bersihkan saja daripada semakin kucel kayak yang punya," jawab Tifa tanpa mengalihkan pandangan dari sepatunya. "Biar kucel tapi tetep cantik kok." Tifa menoleh dan langsung mencubit lengan Iko hingga laki-laki itu meringis kesakitan. "Aku ada sesuatu buat kamu." Iko mengeluarkan lipatan surat dari kantong bajunya pada Tifa. "Kenapa pakai surat kalau bisa ngomong langsung begini?" heran Tifa "Biar keren," kekehnya kemudian. Iko lantas pamit, sementara Tifa membuka surat. Nzozn rmr zpf kvmgzh, pznf orszg wzm wfpfmt zpf. ■■■■ Kamu, Yang entah kenapa begitu saja melupakanku. Bagaimana kabarmu setahun, dua atau tiga tahun kita tak lagi bersemuka? Kuharap kamu baik, meski di sini aku tak baik-baik saja. Setidaknya, jika kamu membaca surat ini, keadaanmu saat ini sudah membaik dari terakhir kali kamu jatuh tepat di depanku. Kamu, yang entah kenapa begitu saja melupakanku. Kamu tahu, Tif? Bagaimana senang dan bersyukurnya aku, saat tak sengaja menemukanmu di acara itu? Padahal aku sudah putus asa tentang pertemuan yang mustahil ini. Tuhan memberi takdir yang mengejutkan rupanya. Kita, kembali bertemu. Meski aku masih bingung kenapa kamu melupakanku. Padahal aku, selalu mengingatmu. Berguraukah? Atau benar seperti itu? Ada apa Tifa? Ada apa dengan pertemuan kita dulu. Adakah yang salah dengan kisah kita dulu? Sampai-sampai kamu enggan menghadirkan sosokku dalam ingatanmu? Kamu, yang entah kenapa begitu saja melupakanku. Waktu memang berjalan begitu saja. Meninggalkan kenangan yang teronggok di masa lalu. Tapi ia, akan tetap dalam ingatanku. Karena pada kenangan itu aku melihatmu. Aku mengeja namamu. Aku bertemu denganmu. Dan aku ... menyimpan semuanya tentang kamu. Kamu, yang entah kenapa begitu saja melupakanku. Tidak mengapa jika itu maumu. Mungkin memang aku tak layak menjadi masa lalu yang tetap terkenang. Ah, padahal aku sudah merancang masa depan itu bersamamu. Hidup adakalanya tak adil. Saat aku berharap apa, Tuhan memberinya apa. Seringkali tak sejalan. Tidak. Bukan aku menyalahkan keputusan-Nya. Hanya saja ini terlalu sulit kuterima. Harapan yang membubung tinggi, terhempas begitu saja. Jika memang ini maumu, hanya satu hal yang ingin kusampaikan padamu. Berbahagialah. Ah, satu hal lagi. Meski hanya dengan untaian kata, setidaknya aku lega kamu membaca surat ini. Aku mencintaimu. Semoga lekas sembuh. Iko, (Mantan) KDR, yang selalu menunggumu di belakang tenda. ♡♡♡ Tifa meketakkan lembaran surat itu di atas selimutnya. Diambilnya amplop dan mengeluarkan isi selain selembar surat tadi. Dua lembar foto. Itu dirinya. Tifa tahu perempuan dengan baju adat tempat lahirnya itu adalah dirinya. Dan di sampingnya, ada laki-laki yang menemuinya di sekolah Deva. Meski tampilan keduanya terlihat lebih muda, tapi Tifa mengenalinya. Iko. Jadi, namanya Iko. Foto kedua. Kini berganti sosok Iko dengan baju adat betawi. Sementara dirinya memakai kaus seragam sebuah event. Tifa memicingkan mata. Diperhatikan saksama. Logo sablonan pada kausnya di foto itu, sama dengan logo yang ada pada gantungan kunci miliknya. Dengan ukiran nama Iko dan Tifa. Sama juga dengan yang ditunjukkan lekaki itu sesaat sebelum Tifa pingsan. Logo event di Jambi. Tempat keduanya bertemu di dalam foto tersebut. Jadi, mereka memang pernah bertemu. Kenapa aku tidak ingat sama sekali? Baik, aku memang pernah hilang ingatan saat kuliah. Tapi, semuanya sudah mulai normal lagi. Aku mulai mengembalikan ingatanku. Tapi tidak dengan kenangan dalam foto ini? Tidak juga pada laki-laki yang entah kenapa aku menangis pilu saat membaca suratnya? Ada apa? Adakah masa lalu yang kulewatkan? Kenapa sepasang embek di rumah, Mahar, Malik dan semua teman-temanku tidak mengatakan apapun tentang Iko? Ada kenangan apa antara aku dan dia? ♡♡♡ Bela. Hanya nama itu yang terlintas di pikiran Tifa. Pagi ini, Renita mengabarkan kalau mamanya sedang dalam perjalanan ke Jakarta. Setelah sarapan, Tifa segera menghubungi Bela. Temannya itu sejak dulu dekat dengannya. Saat ia hilang ingatan, Bela yang kebetulan satu angkatan dan satu jurusan dengan Tifa, banyak memberi catatan mata kuliah yang tertinggal. Dan hanya Bela, satu-satunya teman sekelas yang juga temannya di UKM Pramuka. Bela juga ikut dalam insiden truk yang terguling. Beruntungnya Bela tidak sampai amnesia seperti Tifa. Sudah pasti, Bela tahu soal kemah di kota Jambi itu. Pastinya, Bela tahu siapa Iko. Begitu Tifa mengetikkan pesan WA pada Bela, butuh hampir satu jam sampai balasan terkirim. Enam pesan dan lima foto dikirimkan pada Tifa dari Bela. Membaca perlahan, Tifa tersenyum. Kemudian ia terbahak. Hingga akhirnya ia menangis. Rangkaian foto yang Bela ambil dari dokumentasi di f*******:-nya pun membuat Tifa tercengang. Kedekatan Iko dengannya, ternyata tak main-main. Begitu menurut pandangan Bela. Perlahan, Tifa mencoba mengingat apapun yang ada di foto kiriman Bela. Ada dirinya yang berfoto ramai-ramai di belakang tenda bersama satu regu. Saat masak, lebih tepatnya Bela dan Tifa mendapat jatah kurve. Sebuah foto dalam barisan panjang menuju lapangan. Saat di dalam bus. Di depan papan nama kecamatan. Jangan lupakan, ada wajah Iko yang ikut terpampang. Seakan Iko adalah regu dari kampus Tifa. "Sayang, tantemu tadi beli nasi uduk buat kamu. Mau dimakan sekarang apa nanti?" Suara nenek Tifa mengabur. Tergantikan dengan suara teriak histeris. Di sana, cucunya sedang tergeletak di samping meja rias. "Tifa!" ♡♡♡ Iko menenggak es sirup rasa melon di rumah Emil. Dari semalam, Iko menginap di rumah Emil. Padahal sudah ditolak mentah-mentah, karena tuan rumah sedang ingin bermesraan. Mengingat Dika sedang sakit, dan Emil akan memanjakannya. Namun, melihat tampang mengenaskan Iko, Emil jadi tak tega. Dipersilakan perjaka galau itu menginap di rumahnya. Dengan syarat harus membantu mencuci baju. "Trus, kamu lepasin gitu aja, Ko?" Iko mengangguk lemah. Ia memilih melepaskan saja. Daripada ia hadir dan ditolak mentah-mentah dengan dalih tak mengenal. Iko bukan pengemis cinta. "Baru kali ini aku lihat kamu nggak cakep, Ko. Meski aura perjakamu bersinar, tapi tak ada aroma jantan yang kurasakan." Iko memilih tak menanggapi Emil yang berdendang poco-poco. Menggerakkan tangan anaknya agar mengikutinya. Anak laki-laki yang ia beri nama Eka (gabungan dari Emil-Dika) tertawa bahagia. "Dulu juga galau pas nggak nemu akun cewek inceranmu. Sekarang, udah ketemu juga galau. Kawin sama Deborah aja deh, Ko." Iko mengucurkan sirup ke gelasnya lagi. Menenggak untuk ketiga kalinya. Ia memang kehausan siang ini. Setelah Emil merampas hak tidurnya. Hanya untuk menuntaskan tumpukan cucian baju kotor milik Emil, Dika dan Eka. "Siapa namanya, Ko. Aku nggak pernah kamu kasih tahu. Fotonya juga nggak pernah kamu kasih lihat ke aku. Padahal ... kita kan preeen. Aku aja mulai tumbuh nenen, kasih lihat ke kamu." "Soalnya kamu ember, Mil. Kasih tahu, tapi kamu sebarin ke seantero bumi. Makanya aku simpen sendiri. Soal nenenmu, ralat. Miniset pertamamu. Kamu pamer pakai miniset karena ngerasa nenenmu udah kerasa." Emil terkekeh. Iya juga sih. "Jadi, namanya siapa?" Iko mengembus napas berat. "Namanya Tifa. Athifa. Aku saja tahu namanya. Kenapa dia tidak? Apa ingatannya digigit ikan pesut di Samarinda sana?" Emil mengerutkan kening. Ia seperti pernah mendengar nama itu. Tapi, kapan dan di mana ya?" _________________
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN