Jajaran penjual di stand semakin ramai didatangi oleh pengunjung yang rata-rata peserta kemah. Iko dan Tifa berjalan berdampingan sambil melihat-lihat stand mana yang menarik hati.
"Ko, mau foto adat nggak?" tanya Tifa sambil menunjuk ke sebuah tenda milik Dinas Budaya.
"Oke, ayo!" Sepertinya Iko yang lebih bersemangat. Keduanya sampai dan segera mengantri untuk mengenakan baju adat Jambi berwarna merah. Dibantu oleh seorang Bapak, Tifa memasangkan mahkota di kepalanya. Sedikit terasa berat namun tidak seberat saat acara pengantin yang biasanya mengenakan baju semacam itu. Iko tampak sudah selesai dengan baju adatnya. Terlihat gagah di mata Tifa.
Keduanya pun berfoto layaknya pengantin dengan baju adat lengkap dengan pelaminan. Selesai berfoto berdua giliran masing-masing bergaya sesuka hati hingga keduanya terbahak dengan pose masing-masing.
"Yang di kepala tadi berat?" tanya Iko setelah keduanya selesai dan sekarang berjalan ke arah stand penjual makanan.
"Nggak juga, katanya lebih berat yang buat pengantin beneran. Lagian bunga yang menjuntai tadi juga bunga plastik," jelas Tifa.
"Memang kita belum mirip pengantin beneran ya?" celetuk Iko yang seketika menghentikan langkah Tifa.
"Ehm, belum. Eh makan bakso yuk Ko!" Tifa berusaha meredakan debaran jantungnya yang tiba-tiba sedahsyat tabuhan genderang.
"Kamu tadi belum makan?" tanya Iko. Tifa mengangguk. "Udah sih, tapi lapar lagi," alasan Tifa.
"Masih penuh kursinya, ayo ke sana dulu. Kita bikin gantungan kunci nama kita," ajak Iko yang langsung menyeret Tifa sembari menggenggam tangannya. Tifa hanya pasrah saat Iko menggandeng tangannya. Tifa bersumpah ia akan menyediakan lem anti lepas pada telapak tangannya agar genggaman Iko tak pernah lepas.
"Kamu suka yang mana?" tanya Iko seraya matanya menelusuri aneka macam gantungan kunci bertuliskan logo kegiatan perkemahan saat ini.
"Yang ini bagus nggak?" Tifa menyodorkan sebuah gantungan kunci bermotif batik. Iko mengangguk kemudian mencari yang sama dengan pilihan Tifa.
"Bikin nama kita di belakangnya sini, biar kamu inget aku terus." Iko segera menuliskan nama mereka berdua pada kertas dan menyerahkan pada penjualnya agar segera diukir. Tifa diam-diam tersenyum dengan kalimat Iko barusan.
Biar kamu inget aku terus.
"Nah, udah selesai. Aku satu kamu satu, jadi kita sama-sama punya. Dan satu lagi, ini buat kamu." Iko menyerahkan dompet anyaman tali kur berwarna putih tulang bercampur biru pada Tifa.
"Buat kamu, maaf bukan barang mewah." Tifa yang menerima dompet tersebut tak bisa mengucapkan apa-apa. Pikiran dan hatinya terlalu berbunga sampai-sampai saat Iko menggandeng tangannya lagi untuk pulang setelah membayar dua buah gantungan kunci dan dompet milik Tifa, dirinya masih melamun.
"Ko."
"Hem."
"Makasih ya." Iko mengangguk, tersenyum ke arah Tifa kemudian mengusap kepalanya lembut. Seperti biasa.
"Sama-sama."
"Ko."
"Hem."
"Aku bikinin kopi, mau?" tawar Tifa.
"Boleh, bikin segelas berdua ya, nanti kita habiskan di belakang tenda." Tifa mengangguk seraya tersenyum. Keduanya berjalan lagi melewati tenda-tenda yang berjejer rapi di sepanjang jalan setapak.
■■■■
"Gimana? Masih pusing?" Fahri memeriksa keadaan keponakannya dengan saksama. Bertanya apa yang dirasakan Tifa setelah beberapa detik lalu ia sadar. Di kursi, tampak neneknya tengah menatap khawatir sekaligus lega.
Tifa menggeleng lemah. Diamati keadaan sekeliling. Ruangan yang hampir sama, juga bau yang tak pernah ia lupakan. Aroma rumah sakit. Tifa tak suka. Karena, akan selalu mengingatkannya pada masa suramnya. Masa ia menjadi orang bodoh yang tak ingat apa-apa. Masa di mana keluarganya merasa kasihan, khawatir dan ketakutan akan kondisinya.
"Tante, aku kenapa?" Renita, yang berdiri di samping suaminya mengulas senyum. "Tadi kamu pingsan. Panitia di sekolah Deva membawamu ke sini. Kebetulan, Mas Fahri bekerja di sini juga."
Tifa meraba ingatannya. Ia pingsan. Benar saja. Dan itu ... saat seorang laki-laki meminta ia mengingat sosoknya. Memaksa kepalanya bekerja keras hingga denyutan keras menghantam. Menyebabkan ia pusing. Sayangnya, ia tak ingat apa-apa. Tunggu sebentar. Buat apa Tifa memaksakan diri mengingat lelaki dan gelang yang sama dengannya? Kenapa otaknya langsung merespon, ingin mencari kebenaran dari tatapan lelaki bernama Iko bahwa, mereka pernah saling mengenal? Bisa saja lelaki itu hanya bergurau. Mencari kesempatan dalam kesempitan ingatannya.
"Sementara waktu, kamu istirahat di sini saja. Mamamu sudah aku kabari juga." Tifa tak merespon. Lamunan tentang laki-laki tadi masih tersangkut dalam pikirannya.
♡♡♡
Iko mengecek kembali nama peserta pada sertifikat lomba. Nantinya, akan dibagikan kepada peserta sepuluh besar. Bersamaan dengan bingkisan atau hadiah hiburan. Esok, akan diadakan babak final. Untuk mencari juara satu hingga tiga. Selesai mengecek, Iko segera merapikan tumpukan sertifikat dan memasukkannya ke dalam map merah.
"Pak, saya pulang dulu." Seorang guru yang sebaya dengan Iko, mengangguk. Edi namanya. Sama-sama guru ektrakurikuler di SMP tersebut. Jika Iko pembina pramuka, maka Edi adalah pembina ekskul drum band.
Sudah hampir sore. Iko segera membereskan tasnya. Anak-anak panitian masih terlihat sibuk mempersiapkan acara puncak dari lomba. Mengabaikan mereka semua, Iko bergegas menuju parkiran. Sejak tadi pikirannya tidak fokus pada pekerjaan. Hanya ada Tifa. Bagaimana keadaan gadis itu sekarang? Apa yang membuatnya sampai pingsan seperti itu? Apa yang terjadi pada gadis itu, sampai-sampai tak mengingat dirinya?
Motor Iko melaju ke arah rumah sakit, di mana Tifa sedang dirawat. Tempat orangtua Deva, murid Iko bekerja di sana. Laju motornya membelah jalanan yang macet. Tidak susah mencari kamar Tifa dirawat. Karena ia juga yang membawa Tifa ke rumah sakit tersebut, bersama tim medis sekolah. Beruntungnya ayah Deva adalah keluarga Tifa. Iko juga baru mengetahuinya saat datang ke rumah sakit tadi. Iko bersyukur, setidaknya ia memiliki keluarga di kota ini. Mengingat Tifa datang dari luar kota.
"Iko?" Baru saja akan melangkah menuju lift, suara Emil menghentikan langkahnya. Emil sedikit berlari ke arah Iko berdiri. Di belakang, ada Dika yang berjalan santai sambil menggendong anak semata wayangnya.
"Kamu sakit?" Iko menggeleng. "Lah, ngapain ke sini? Mau piknik?" Iko mendengus jengkel. Ia pun balik bertanya, "Kamu sendiri ngapain? Kalau sakit, kayaknya nggak mungkin. Mana ada orang sakit bisa cengengesan begini."
"Abang yang sakit, Ko. Lihat, wajahnya pucet, kan?" tunjuk Emil pada suaminya. "Hanya kecapekan saja. Tidak usah berlebihan, Yang," sahut Dika membenarkan.
"Ya, sekalian periksa perutku, Ko. Siapa tahu benihnya Abang tumbuh. Ternyata, masuk angin aja." Emil bergelayut mesra pada Dika. Membuat Iko ingin melata saja. Sudah jomlo, disuguhi adegan seperti ini pula. Menyebalkan.
"Kamu sendiri, ngapain ke sini?" Ah iya, Iko jadi lupa tujuannya datang ke sini.
"Jenguk temen lagi dirawat."
"Temen? Temen yang mana? Aku kenal, nggak?" Emil sedikit penasaran. Iko jadi gelapan sendiri. Kalau Emil sampai tahu ia menjenguk teman perempuan, bisa-bisa Iko akan mendapat kata ’ciye’ puluhan kali dalam satu jam.
"Teman di sekolah. Sudahlah, kamu pulang saja. Kasihan Mas Dika lagi sakit." Emil menoleh pada suaminya tersayang, terunyu dan teraduhai tengah duduk memangku anak mereka. Tatapannya sayu. Jelas kalau tubuhnya sedang tidak baik. Emil mengangguk. "Ya udah. Kita duluan.
Selepas Emil dan buntutnya pergi, Iko melanjutkan langkahnya. Sebelum sampai ke kamar Tifa, Iko ingat jika ia tidak membawa apa-apa saat datang. Tidak enak juga kalau datang tanpa membawa apa-apa. Langkah Iko pun berbalik. Ia akan membeli buah di kios dekat rumah sakit.
♡♡♡
"Iya, tadi sudah aku antar ke bandara kok. Kamu tenang aja, mereka pasti selamat." Renita mengusap kepala Tifa yang tiduran. Ia sudah berada di rumah omanya. Sore menjelang magrib tadi, ia dibawa pulang. Menurut Fahri, kondisi keponakannya tidak parah. Ia hanya merasa tertekan karena harus melewati masa mengingat tentang masa lalu.
"Aku tidak enak sama mereka." Renita menepuk punggung tangan Tifa. "Buat apa? Mereka sudah berusaha keras. Kalau belum lolos, bukan salah mereka apalagi kamu, Tif."
Rombongan Tifa sudah pulang lebih dulu karena tidak lolos babak final esok hari. Kepulangan mereka, tidak bisa bersama Tifa. Rere meminta anaknya agar beristirahat di rumah Oma. Jika sudah lebih baik, Rere dan Abi akan menjemput. Begitu pesan sepasang embek pada seluruh anggota keluarga di Jakarta.
"Kamu istirahat dulu, Tif. Kalau perlu apa-apa, panggil Deva di kamar sebelah. Dia akan jagain kamu." Tifa mengangguk. Renita pamit keluar. Tinggalah Tifa di dalam kamar tamu. Matanya tak juga memejam. Ia masih memikirkan lelaki itu. Ada masa lalu apa diantara mereka? Mengapa mereka memiliki gelang dan bandul yang sama persis. Dengan ukiran nama yang sama pula. Tidak mungkin itu rekayasa. Pasti ada sesuatu. Pasti ada masa lalu yang belum sepenuhnya ia ketahui. Maka dari itu, Tifa harus mengetahuinya.
Yang pertama ia lakukan, bertanya pada Deva. Kamar Deva tepat di samping kamarnya. Jika laki-laki itu menjadi panitia dalam kegiatan lomba, berarti ia adalah bagian dari sekolah Deva. Entah guru, atau mungkin tukang kebun. Baik. Tifa akan melakukannya.
Niat hati ingin turun dari ranjang dan pergi ke kamar Deva, anak remaja itu sudah mengetuk pintu dan meminta izin masuk. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Tifa mempersilakan Deva masuk dan duduk di kursi dekat ranjangnya. Ia tak begitu akrab dengan sepupunya ini. Tentu saja karena ia jarang berkunjung ke jakarta. Juga, karena ia tak begitu mengingat bagaimana dulu berinteraksi dengan Deva saat SD. Tifa sudah lupa.
"Ya, Deva. Ada apa?" Tifa bingung ketika melihat Deva hanya berdiri memandanginya. Remaja yang baru mendapatkan mimpi basah setahun lalu itu menggigiti bibir bawahnya.
"Tidak. Ehm, maksudku ... bagaimana keadaan Kak Tifa? Aku terkejut saat Kakak pingsan di sekolahku tadi." Deva sendiri yang jarang bertemu Tifa, sedikit terlihat canggung. Padahal mereka saudara.
Tifa mengulas senyum. "Aku baik, Dev. Maaf, sudah membuat kekacauan di sekolahmu. Apalagi saat acara penting seperti ini. Duduk saja," pinta Tifa. Sedikit ragu, Deva menarik kursi dan duduk. Menjaga jarak dari ranjang Tifa.
"Pasti panitia pada panik, ya?" Ada kekehan Tifa, berusaha menyamarkan rasa canggungnya dengan Deva. Jarak usia mereka memang agak jauh. Tentu saja. Karena saat mamanya menikah, mama Deva masih Sekolah Dasar.
Kaki Deva diketuk-ketukkan ke lantai. "Iya. Apalagi lomba sebentar lagi mulai. Tapi, Pak Iko terlihat yang paling panik. Temen-temen tim medis sampai dibentak."
Iko.
Ya. Tifa harus menanyakan siapa sebenarnya laki-laki itu. Mengapa ia yang begitu panik, menurut pandangan Deva?
Mengusap gusar ujung selimut. "Dev, Pak Iko itu ... gurumu ya?" Dahi Deva mengerut. Kemudian mengangguk. "Iya. Tapi guru lepas. Bukan guru yang mengajar di kelas. Pak Iko pembina pramuka kami. Kalau sehari-hari, beliau mengajar di SMA. Memangnya Kak Tifa kenal ya?"
"Eh?" Tifa jadi gelagapan sendiri disodori pertanyaan menelisik dari Deva. Buru-buru Tifa menggeleng. "Enggak. Baru ketemu tadi pas ambil nomor."
Deva menangkap ada yang tersembunyi. Diambilnya amplop dari saku celana selututnya. "Tadi, Pak Iko datang ke rumah sakit tapi, Kakak sudah pulang. Beliau nitip surat ini sama buah. Tuh," tunjuk Deva ke atas meja, "dari Pak Iko."
Tifa baru sadar kalau ada parcel buah di meja. Sejak tadi ia hanya melamun saja, tak begitu memperhatikan sekeliling. Diterimanya amplop putih. "Ini, dari gurumu itu? Isinya apa?" Deva mengangkat bahu, tak paham juga.
"Tidak tahu. Sepertinya dia kenal Kak Tifa. Tapi, Kakak lupa. Mungkin teman Kakak sekolah atau kuliah, mungkin. Pak Iko paniknya nggak wajar. Biasanya kalau kita yang pingsan saat latihan, langsung ditangani sendiri tanpa banyak bicara. Tidak untuk tadi. Semua orang kena marahnya."
Tifa tak tahu harus bereaksi terharu, takjub atau pilu. Seakan ia pingsan karena sakit parah saja. "Aku ke kamar dulu, Kak. Cepet sembuh." Deva menutup pintu. Kemudian, Tifa perlahan membuka isi amplop dalam genggamannya.
_______________Next__________