Tifa mendapat tugas kurve pagi ini bersama dua orang temannya yang juga mendapat tugas sama berdasar pembagian tugas, menurut nomor urut yang ditentukan dari panitia.
Tugas kurve pagi ini sudah pasti memasak sarapan untuk semua anggota. Subuh tadi Rega, teman dari kelompok putra sudah mengambil air. Tifa hampir selesai memasak nasi kemudian ia membantu Bela memotong bawang merah untuk racikan sambal.
"Ada penjual sayur keliling nggk di sini?" tanya Bela yang mulai memasukkan adonan telur yang dikocok bersama tepung agar lebih banyak ke dalam penggorengan.
"Nggak tahu juga. Tapi bilang tetangga sebelah memang ada penjual yang masuk area perkemahan setiap pagi," jawab Tifa teringat tetangga tendanya yang berasal dari Flores dilihatnya kemarin berbelanja sayur mayur.
"Garamnya habis, semalam dihabiskan Rega," keluh Bela. "Sialan! Memangnya dia lagi darah rendah sampai garam sekarung dihabisin?" sahut Tifa yang membuat Bela tergelak.
"Buat naburin sekitar tenda." Tifa terkekeh. Meskipun ia tahu fungsi garam selain untuk bumbu dapur juga untuk menangkal ular yang bisa saja masuk ke dalam tenda saat malam tiba.
"Ya sudah aku beli dulu. Nasinya seperempat jam lagi matang," pesan Tifa pada Bela kemudian ia berjalan keluar.
Sepanjang jalan ia menengok kanan dan kiri melihat di mana ia bisa menemukan penjual sayur. Meskipun tetangga tendanya sudah memberi tahu tempatnya, namun karena penjual tersebut berkeliling menggunakan motor sudah tentu tidak akan berdiam di satu tempat dengan durasi waktu yang lama.
Kakinya melangkah ringan sambil menyapa beberapa pebghuni tenda yang sekiranya dikenal. Hingga ia menangkap sosok laki-laki yang menolongnya semalam, tengah berjalan memanggul galon ke arah Tifa.
"Mau ke mana?" sapa Iko.
"Cari penjual sayur, kami kehabisan garam." Tifa heran kenapa ia menjawab sapaan lelaki di hadapannya dengan riang.
"Oh, tadi aku lihat ada di dekat tenda depan," tunjuk Iko karena galonnya sudah ia turunkan. "Aku punya garam alami kalau kamu mau, daripada jalan ke sana."
Tifa mengernyit bingung. " Ni, keringatku deras banget netes-netes. Rasanya asin, kalau mau ambil aja." Tifa langsung memukul pundak Iko yang tergelak dengan gurauannya.
"His... dasar!" Tifa ikut tertawa begitu mendengar gurauan Iko.
"Ya udah buruan beli, aku udah ditunggu," pamit Iko yang kembali mengangkat galon airnya karena melihat teman perempuanya sudah melambaikan tangan agar segera datang.
Keduanya pun menjauh ke arah tujuan masing-masing. Setidaknya pagi ini mereka tidak terlibat pertengkaran.
♡♡♡
Iko menikmati sarapan paginya berupa nasi uduk dan sambal goreng tahu tempe di tenda putri. Satu temannya yang sama-sama mendapat tugas kurve sudah makan dan sekarang menjaga tenda putra. Sementara itu, teman perempuan yang kurve bersamanya sedang mencuci piring. Jadi, dia menikmati sarapannya sendirian karena anggota lainnya sudah berangkat ke tempat kegiatan masing-masing.
Ponselnya berbunyi.
"Hallo, Sayang," sapanya dengan tersenyum riang. Tanpa disadari Tifa yang berdiri tak jauh dari tempat Iko, mematung begitu mendengar laki-laki yang duduk bersila dengan piring di depannya tengah bercakap mesra dengan seseorang yang entah siapa. Karena yang Tifa dengar laki-laki itu memanggil ’sayang’ dengan wajah berbinar.
Tifa mundur dan segera meletakkan ember yang dipinjam Bela tadi subuh, kemudian ia setengah berlari masuk ke tendanya sendiri. Entah kenapa ada rasa jengah mendengar kata ’sayang’ dari bibir laki-laki tadi.Dikeluarkan ponselnya dan mengetikkan sebuah pesan pada seseorang.
Mr. Mahar, merindukanku? telepon aku nanti malam jam 9.
■■■■■
Tifa mengurai senyumnya setelah menyelesaikan regristasi ulang. Ia melepaskan diri dari jerat antrian. Langkahnya berbelok menuju dua anak yang sedang duduk di bangku panjang depan sebuah kelas.
"Tifa?" Suara seseorang membuat Tifa berhenti. Dilihatnya wajah seseorang yang berhadapan dengannya. Seorang laki-laki, yang Tifa sendiri bingung. Mengapa namanya diucapkan tanpa ragu oleh orang asing tersebut? Dahi Tifa mengerut. Diperhatikan kertas yang menggantung di d**a. Nampak besar tulisan PANITIA di sana.
"Ya. Saya Tifa." Tifa berpikir, mungkin panitia tersebut ada perlu soal lomba ini dengannya.
"Tifa? Kamu Tifa, kan? Dari Samarinda?" Wajah Iko nampak semringah, sayangnya berbanding terbalik dengan gadis di hadapannya. Tifa mengangguk agak ragu. Ia bingung juga, kenapa laki-laki di hadapannya ini terlihat memejamkan mata dengan mulut merapal syukur.
"Iya. Maaf, ada apa Anda mencari saya?"
Iko ikut mengerutkan kening. Ia sudah menanyakan bahwa gadis di hadapannya ini benar, bernama Tifa. Kenapa reaksinya malah kebingungan? "Tifa, ini aku. Iko. Kamu lupa sama aku, Tif?" Tifa menepis tangan Iko yang berlabuh di pundaknya. Merasa awas akan bahaya orang asing. Menyadari itu, Iko segera mengangkat kedua tangannya. Ia terlalu bersemangat tadi.
"Maaf, Bapak siapa? Saya ... tidak kenal." Jantung Iko diremas begitu saja. Gadis di hadapannya ini mengaku tak kenal dengan dirinya? Begitu tak berartikah pertemuan mereka beberapa tahun lalu? Oke, mungkin Tifa butuh diingatkan lagi.
"Tifa, kamu lupa sama aku? Kita dulu pernah kenal di Jambi. Acara kemah nasional." Tifa mencoba mengingat. Tapi, ia merasa tak pernah bertandang ke Jambi.
"Maaf, saya tidak pernah ke Jambi sebelumnya. Mungkin Bapak salah orang. Saya permisi dulu," pamit Tita segera melarikan diri dari lelaki yang sok kenal dengannya. Bisa-bisanya ia mendapat modus receh dari lelaki aneh dan ngotot itu.
Tifa sedikit berlari tanpa menoleh ke belakang. Dihampirinya kedua murid yang duduk sambil membaca buku. Sementara Iko, lelaki itu hanya bengong mendapati kenyataaan yang baru saja dihadapi. Penolakan Tifa akan dirinya. Benar-benar tidak bisa dibiarkan.
"Pak, ditunggu Bu Emi di ruangan." Sialnya, niatan Iko menghampiri Tifa musnah. Seorang siswa menyampaikan pesan Bu Emi, selaku ketua seksi acara. Melirik sekilas jam tangan, barulah Iko melangkah terburu. Sebentar lagi final akan mulai.
♡♡♡
Babak pertama, sekolah Tifa berhasil lolos. Itu artinya, ia dan ketiga anak didiknya harus berjuang kembali dalam sepuluh besar. Tidak sia-sia jika selama beberapa bulan ia ikut andil dalam bimbingan. Meski bukan dirinya semata. Ada beberapa guru yang ditunjuk sebagai tim pembimbing, setelah sekolah Tifa dinyatakan lolos tingkat kabupaten. Hingga lolos tingkat provinsi dan sampai di babak ini.
"Masih ada waktu, Bu. Kita kembali ke hotel atau bagaimana?" Tifa nampak berpikir. Jarak lokasi dan hotel tempat para peserta menginap, tidak jauh. Babak selanjutnya masih nanti siang menjelang sore. Beberapa tim yang gugur, akan pulang hari ini. Jika lolos ke lima besar, kemungkinan pulang harus diundur esok hari. Karena babak final diadakan esok hari.
"Kembali ke hotel saja, Bun. Masih ada tiga jam lebih. Bisa ishoma juga di hotel." Orang tua murid yang tadi bertanya, mengangguk setuju.
Begitu sampai di hotel, anak-anak bergantian menggunakan kamar mandi. Bunda, sebutan Tifa pada wali murid yang ikut mendampingi anaknya, tengah menunaikan salat dhuhur. Tifa segera berlari keluar, begitu ponselnya bergetar. Sebuah panggilan yang seketika meruntuhkan rasa lelahnya. Dari Malik, tentu saja.
"Aku kangen, nih. Di sini sepi, nggak ada kamu. Anak-anak juga nanyain kapan kamu pulang." Belum juga Tifa mengucap sepatah kata, Malik di seberang sana sudah berpatah-patah kata. Tifa hanya menggeleng maklum.
"Sama, dong. Aku juga kangen nih." Tifa memainkan jarinya di helaian rambut. Mendengar suara Malik yang bersorak riang, membuatnya terkikik geli. "Sama anak-anankmu. Kalau sama kamu ... enggak tuh."
"Oh. Begitu? Ya udah, sini kembaliin ongkos transport." Suara Malik terdengar menggerutu. Lepaslah tawa Tifa mendengarnya. Ia suka sekali menggoda Malik. Lelaki yang berkali-kali menyatakan keseriusan menjalin hubungan dengan Tifa.
"Pelit amat sih, Pak. Ongkos dari sekolah juga nggak banyak. Minta lebih ke kamu, masa gitu amat. Nggak aku bawain oleh-oleh, loh!" ancam Tifa. Malik terkekeh.
"Emang kamu pernah bawain oleh-oleh selama ini? Yang ada malah aku tekor bayarin."
"Sedekah, Pak. Biar masuk surga."
"Kalau bidadarinya di sini, ngapain masuk surga?"
Tawa Tifa meledak. "Heh, Pak. Nggak usah gombal. Durhaka amat nggak mau masuk surga. Yang mau masuk ke sana aja bejibun." Lagi-lagi Malik terkekeh.
"Kapan pulang, Sayang?" Kini suara Malik serius. Ia selalu saja khawatir jika Tifa harus berangkat ke luar kota. Entah untuk seminar, pelatihan, atau lomba seperti ini. Tak hanya dirinya. Anak-anak Malik juga sudah bertanya, kapan gadis yang sudah mereka anggap seperti ibu sendiri itu mengunjungi mereka lagi.
"Besok, atau lusa mungkin. Anak-anak lolos sepuluh besar. Kalau hari ini lolos, besok mereka tanding lagi. Kalau nggak, besok udah bisa pulang."
"Hati-hati di sana. Jaga kesehatan kamu juga. Besok kabari kalau pulang. Aku mau jemput ke Balikpapan." Tifa segera mengakhiri percakapan. Dilihatnya anak-anak sudah selesai dari kamar mandi. Giliran dirinya bersiap. Lomba babak sepuluh besar, sudah menanti.
♡♡♡
Iko yakin itu Tifa-nya. Tapi, ada yang aneh. Benarkah memang Tifa melupakan dirinya, atau sengaja tak mengenal? Bisa saja karena malu atau tidak enak di hadapan muridnya, ia pura-pura tidak mengenal dirinya. Melihat sekolah Tifa masih bertanding siang ini, hati Iko terasa meledak. Seakan kesempatan bertemu dengan Tita akan semakin lama pula.
Tak patah arang, Iko lekas menghampiri Tifa, saat dilihatnya gadis pujaannya itu baru datang dan duduk di bangku penonton. Di sebelahnya, tampak tiga anak yang berseragam sama. Iko menebak, itu adalah murid Tifa.
"Jadi guru yang hebat ya, sekarang."
Ditekannya sebuah nomor yang baru saja Iko dapatkan dari tempat pendaftaran. Sebuah suara yang ia rindukan menyapa, "Hallo?"
"Tifa?" Di seberang sana, Tifa melihat nomor baru yang menelponnya. Tidak terdaftar. Tapi sudah tahu bahwa Tifa adalah namanya. Aneh.
"Maaf, ini siapa?"
"Kita bicara di dekat pintu masuk. Aku menunggu di situ." Tifa mengerut. Dilemparkan pandangannya ke arah pintu masuk. Di sana, Iko tengah melambai padanya. Seketika Tifa ingat laki-laki itu yang mengaku kenal dirinya. Sebenarnya ia enggan beranjak dari tempat duduk. Sayangnya, Iko menelpon terus-menerus dari tempatnya berdiri. Meski sebal, Tifa berdiri juga. Ia melangkag cepat menghampiri Iko di dekat pintu masuk. Ia ingin mendamprat laki-laki gancen yang mencoba menggoda dirinya.
Baru saja Tifa akan membuka mulut, tangannya dicekal dan ditarik mengikuti langkah Iko. Keduanya sedikit terburu menuruni tangga menuju lantai satu.
"Apa-apaan, sih. Kamu siapa? Nggak usah sok kenal, deh." Tifa bersedekap jengkel dengan sikap Iko.
"Kamu benar-benar lupa denganku, Tif? Atau ... hanya pura-pura?" Tifa memilih melengos dari tatapan Iko yang meminta penjelasan gila. Tifa yakin ia tak mengenal laki-laki dengan tinggi badan di atasnya. Rambut potongan pendek bagian bawah, semakin panjang ke atas. Dengan garis belahan di samping.
"Maaf, ya. Kalau mau ngajak kenalan, Anda salah alamat. Saya nggak tertarik un—" Ucapan Tifa terhenti kala pergelangan tangannya diangkat oleh Iko. "Bahkan gelang ini saja masih kamu pakai. Dan nama Iko," Iko membalik benda pipih itu, "masih tercetak di sini. Dengan namamu yang bersanding. Ini sudah cukup, Tif. Ini bukti kalau aku tidak salah mengenali orang. Aku juga tidak salah alamat."
Tifa diam memperhatikan gelang di tangannya. Gelang dengan nama seseorang yang asing, namun terasa dekat. "Bisa saja kamu bohong. Nama seperti ini ada banyak di dunia ini." Tifa menyangkal penuturan lelaki di hadapannya yang sudah lancang memegang tangannya.
Iko mengeluarkan kunci motor dari saku celananya. Menggantungnya tepat di hadapan mata Tifa. "Aku harap, gantungan kunci dengan nama kita, masih kamu simpan." Tatapan mata Tifa tertuju pada gantungan kunci yang sama seperti miliknya. Bahkan ukiran nama itu pun sama. Tapi, kenapa Tita tak ingat sama sekali dengan lelaki di hadapannya ini? Semakin Tifa mencoba mengingat, kepalanya terasa sakit. Menusuk kuat hingga ia tak sanggup menahan. Pandangannya gelap.
"Tifa!"
_______________Next____________