Menemukanmu?

1338 Kata
Iko merasa hajatnya tidak bisa ditahan lagi. Antrian masih panjang untuk dapat memasuki kamar kecil, tempat bertelur ratusan orang di sini. Dengan membawa termos nasi dan gelas plastik, karena timbanya entah sedang dipinjam siapa saat ia ingin pergi mandi tadi. Iko keluar dari antrian panjang sesama perebut hak untuk buang air kecil. Sedikit berlari naik menuju belakang kamar mandi terbuka di sebelah WC buatan tempatnya berdiri. Sudah tanggung dengan perutnya, ia memasuki hutan dan menyusuri aliras sungai yang terlihat samar dalam pandangan. Untungnya ia dbantu sinar rembulan malam. Meski rangkaian kegiatan sudah berakhir, namun kesibukan di bumi perkemahan tak kunjung berkurang. Selesai melakukan kegiatan, sudah pasti setiap orang akan berebut mandi meski malam menjelang. Menyusuri aliran sungai sedikit menjauh dari perkemahan, akhirnya Iko menemukan tempat yang agak tersembunyi untuk mengurangi sakit perutnya. Dengan jongkok dan berpegangan pada rumput yang bergoyang, iko mengeluarkan segenap usaha. Diiringi peluh yang mulai menetes sebesar jengkol di dahi, turun ke pipi hingga ke leher. Matanya memejam sempurna seakan menghayati. Handuk yang melingkar di leher ditutupkan ke hidung. Selesai dengan usaha kerasnya, Iko mendekat ke arah sungai kemudian membersihkan diri. Kaus lengan pendek ia letakkan di pinggir sungai. Hanya mengenakan celana pendek, Iko mengguyur tubuhnya dengan air sungai. "Lumayan juga nggak antri panjang," gumamnya sambil menggosok badan dengan sabun cair yang dibawa dalam termos nasi. Krrukk. Srreek. Telinga Iko menangkap suara ranting yang diinjak, daun kering yang tertiup angin juga langkah kaki. Iko menoleh mencari-cari siapa yang membuat malamnya sedikit terganggu. Tanpa ada cahaya yang ia bawa karena hanya mengandalkan sinar rembulan, Iko mulai mawas diri. Segera diakhiri kegiatan mandi. Memakai baju dan berjalan hendak kembali ke perkemahan. "Tolong!" Langkah Iko berhenti seketika begitu mendengar suara seseorang meminta tolong. Ditolehkan pandangan menyapu semua bagian hutan dan sungai, sepanjang penglihatan yang dapat dijangkau matanya. "Hush! Hush! Pergi, hush!" Iko kembali menajamkan pendengaran dan berusaha menelusuri sumber suara. Matanya memicing pada seekor monyet yang sedang tarik menarik dengan seorang perempuan memperebutkan baju. Iko berlari sambil membawa ranting, membantu si perempuan mengusir monyet. "Hush!" Monyet tersebut lari terbirit-b***t begitu Iko mengarahkan ranting untuk mengusirnya. "Kamu nggak papa?" tanya Iko pada seorang perempuan yang membelakanginya, begitu monyet tersebut sudah pergi. Shit! Umpat Iko begitu mata berimannya melihat punggung polos yang basah, meski hanya terlihat samar lewat semburan sinar sang malam. Matanya membelalak. Susah payah menelan ludah, begitu satu-satunya kain yang melapisi tubuh gadis tersebut merosot. Usianya sudah dua puluhan dan ini pertama kalinya ia melihat punggung polos yang langsung membangkitkan sesuatu hingga bergejolak. "Kamu balik badan, aku mau pakai baju." Meski rasa penasaran menguasai dan matanya yang melirik sedikit demi sedikit, namun lemparan kerikil pada kepalanya membuat Iko mengaduh dan langsung mengurungkan niat. "Kalau kamu coba mengintip, bukan cuma kerikil yang aku lempar tapi timbaku juga!" peringat si gadis dengan galak, membuat Iko menghela napas berat. ♡♡♡♡ "Makasih udah bantu ngusir monyetnya," ungkap Thifa pada laki-laki yang kini berjalan bersamanya melewati rimbunan pohon dan jalan menanjak untuk kembali ke perkemahan. Laki-laki yang menolong barusan, ternyata orang yang tadi pagi duduk di sampingnya saat di bus."Sama-sama." Iko tersenyum. "Kamu mandi di sungai tadi?" tanyanya. "Iya, aku malas antri sedangkan tubuhku sudah gatal karena keringat," terang Tifa. "Kamu sendiri kenapa ada di sana juga?" Iko menoleh ke arah Tifa sambil tersenyum. "Aku juga sama kayak kamu." Tifa hanya mengangguk-anggukkan kepala. "Nama kamu siapa? sepertinya kita sudah ketemu beberapa kali tapi belum kenalan." "Nicko, panggil saja Iko, kalau kamu?" tanya Iko balik. "Tifa. Aku dari Samarinda. Kamu?" "Jakarta." ■■■■ Tifa tiba di rumah neneknya di Jakarta. Rumah megah yang menjulang di depannya, ditinggali sang nenek dan keluarga adik mamanya. Keluarga papa Rere berasal dari Samarinda, sehingga sejak menikah mamanya tinggal di kota berjuluk Tepian tersebut. Tifa dan kedua adiknya pun lahir dan besar di sana. Tifa sudah minta izin pada wali murid yang ikut mendampingi anaknya berlomba, sebelum datang ke rumah Nenek. Tiga siswa dan seorang wali sedang beristirahat di salah satu hotel. Sebenarnya ia cukup mampu membawa tiga anak didiknya sendiri di luar kota. Namun, salah satu orangtua merasa khawatir. Akhirnya, salah seorang wali murid itu pun ikut serta. Maklum, yang didampingi adalah anak satu-satunya. Sang ibu merasa harus menempeli anaknya. Pihak sekolah setuju, apalagi Tifa. Ia bisa mampir sejenak ke rumah neneknya. Bertemu Tante Renita dan Om Fahri. "Tifa?" Renita mengembangkan senyum saat dilihatnya sang keponakan berdiri di depan pintu. Keduanya berpelukan. Sebuah suara dari dalam rumah, menyapa Tifa. Itu suara neneknya. "Baru sampai, Sayang?" Tifa mengangguk. Neneknya tersenyum semringah melihat kedatangan cucunya. "Sudah dari semalam, Oma. Tapi, menginap dulu di hotel. Untungnya ada wali murid yang ikut. Jadi, anak-anak aman." Wanita beruban itu senang tak terkira saat Rere menelpon, mengabari jika cucu pertamanya akan terbang ke Jakarta. "Nginep sini ya, Tif. Oma kangen." Tifa tersenyum. Ia juga merindukan keluarga itu. Kalau ia menginap, lantas bagaimana dengan rombongan bocah di hotel? "Anak-anak bagaimana nanti, Oma? Ini juga nggak bisa lama-lama mampirnya. Nanti siang sudah harus daftar ulang." Renita dan Oma tampak kecewa. "Lombanya di sekolah mana, Tif?" Tifa menyebutkan nama sekolah berbasis Internasional tersebut. Renita mengangguk-anggukkan kepala karena sekolah tersebut adalah sekolah yang sama, tempat anak sulungnya belajar. "Itu sekolahnya Deva. Nanti aku anter ya, Tif." Tifa mengangguk senang. Enaknya kalau ke luar kota ada keluarga. ♡♡♡ Hari masih gelap, waktu nyaman untuk bergelung dengan selimut. Namun, tidak bagi Iko. Pagi-pagi buta ia sudah mengerjakan tumpukan nilai. Harusnya ia bisa menyelesaikan semalam. Sayang, ia ketiduran. Rasa lelah mendera setelah semalam tak tidur saat kegiatan kemah di sekolah. Pagi, kakaknya meminta Iko menemani belanja bulanan. Sebentar lagi liburan di depan mata. Tapi tidak bagi Iko dan teman-teman yang lain. Begitulah nasib menjadi guru. Di saat murid-murid berlibur dengan tawa membahana, para guru tertawa miris di meja kerjanya. Mengecup mesra tumpukan buku yang akan dibagikan semester baru. Atau, mengetik program semester dan rancangan pembelajaran. Selesai dengan kesibukannya, Iko segera berangkat ke sekolah. Nanti siang ia harus mampir ke SMP tempatnya menjadi pembina. Ada rapat lomba tingkat Sekolah Dasar skala Nasional. Dan Iko, mau tak mau terlibat menjadi panitia. ♡♡♡ Perlombaan masih berlangsung esok pagi. Ada lima puluh tim yang akan bertanding. Peserta berasal dari Sabang sampai Merauke. Puluhan tim datang mewakili setiap provinsi. Seleksi pertama, akan diambil sepuluh besar esok hari. Setelahnya akan ditanding hingga lima besar menuju babak final. Iko melangkah sedikit tergesa menuju ruang panitia. Ia mencari kunci motornya. Lupa taruh di mana. Kerumunan orang juga menyulitkannya sampai di ruang panitia lebih cepat. Ia hendak mengambil Juklak yang dipinjam untuk penggandaan, di jok motor. Deva, salah seorang panitia tadi bertanya. Karena juklak itu miliknya. "Maaf, permisi, Bu." Iko hendak lewat mendahului seorang perempuan berjilbab lebar di depannya, saat menuruni tangga. Sadar ada seseorang yang menginterupsi, sang ibu minggir. Mempersilakan Iko lewat lebih dulu. "Bu Tifa mana, Mi?" Seorang gadis berkerudung putih bertanya. "Masih daftar. Kita beli minum dulu. Nanti ke sini lagi." Tidak. Telinga Iko tidak salah mendengar nama itu. Otaknya juga masih mengingat siapa nama seseorang itu. Menoleh, Iko memerhatikan seragam yang dikenakan anak barusan. Lambang daerah di lengan, membuat Iko ingin berteriak. Itu, daerah tempat tinggal dia. Dia yang mengakar di ingatannya. Tapi, nama itu tidak hanya dimiliki satu orang, kan? Bisa saja hanya nama mereka mirip. Dari daerah yang sama pula. "Pak Iko, saya menemukan kunci motornya." Suara Deva yang berdiri sambil mengatur napas, menghentikan euforia Iko. "Eh?" "Saya ambil di jok motor Bapak saja, ya?" Iko hanya mengangguk. Ia tak konsentrasi menanggapi Deva. Iko kembali menaiki tangga. Ingatannya merekam percakapan ibu dan anak di dekatnya tadi. Bahwa pemilik nama yang mereka bicarakan, sedang daftar. Berarti, dia berada di sekitarnya. Di tempat pendaftaran peserta. Iko berlari menerobos kerumunan anak-anak yang berhambur. Di sebuah antrian yang mengular, seorang gadis berseragam batik kotak warna merah dasaran hitam khas kota tepian, dengan celana kain hitam yang senada tengah berdiri sambil menekuri sebuah kertas di tangannya. Tubuh Iko membeku. Meski waktu berlalu begitu saja, ia masih mengingat wajah itu. Wajah yang berlarian di mimpinya. Jantung Iko berdebar. Matanya memejam sejenak mengucap syukur tak terkira. Tifa. Akhirnya ... aku menemukanmu. ______________Next__________
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN