"Nggak usah teriak-teriak, Mil!" peringat Iko pada ponselnya, setelah mendengar teriakan Emil di seberang sana.
"Gimana di sana? Banyak cowok ganteng nggak? Iko, huwa ... aku pengen ikut!" histeris Emil yang kegirangan karena pada akhirnya bisa menghubungi Iko, sejak sahabat serta tetangganya itu berangkat ke Jambi.
"Santai aja, Mil. Kamu bikin gendang telingaku pecah aja."
"Habisnya kamu nggak bisa dihubungi dari kemarin, makanya begitu sekarang udah tersambung ... kan akunya jadi excited gitu."
"Inget kandungan, Non! Emaknya teriak-teriak, nggak kasihan apa anakmu koprol di perut saking kagetnya." Emil terkekeh di seberang sana sambil mengelus perut yang masih belum kentara.
"Heheh iya ya. Duh, aku kan khawatir sama kamu nggak ada kabar dari kemarin-kemarin. Takut dijilat sama monyet di situ. Kasihan monyetnya, rabies ntar." Iko merengut sebal dengan kekhawatiran aneh Emil.
Emil, sahabat sekaligus tetangganya itu memang setahun lebih tua darinya. Sejak lahir keduanya sudah dekat. Selain tetangga dekat, pada akhirnya kakak Emil menikah dengan kakak Iko. Jadilah keduanya memiliki hubungan lebih dari sahabat. Emil sekarang tengah sibuk dengan skripsi, juga dengan kandunganya yang baru berusia tiga bulan.
Setelah menutup telepon, Iko segera mempersiapkan diri dengan seragam lengkap bersama teman-teman lainnya di belakang tenda. Untuk laki-laki memang terbiasa memakai baju atau menyiapkan kerapian diri di luar tenda. Karena dirasa lebih leluasa dan dapat berdiri dengan tegak.
"Kak, kami ke tenda putri duluan," pamit salah satu teman juga anggota kelompoknya pergi ke tenda putri, guna mengambil sarapan. Memang untuk urusan memasak dan makan dilakukan di tenda putri agar lebih efisien.
Iko mengangguk dan menginterupsi anggota lainnya agar segera bersiap. Dirinya pun berjalan menuju tenda putri lewat jalan belakang tenda agar lebih cepat. Karena memang letak tendanya berada di paling belakang. Sepanjang perjalana, ia menyapa beberapa orang yang dikenal meski baru dua hari di sana.
"Awas!"
HAAAP.
Iko berhasil menangkap sebuah teko yang tiba-tiba sudah digenggamnya. Ia pun menoleh ke arah pelempar sekaligus orang yang meneriaki kata peringatan untuknya.
"Sorry, Kak," ucap seorang laki-laki padanya. Kemudian Iko menyerahkan teko yang dipegangnya.
"Makanya lihat dulu ada orang apa nggak, main lempar aja. Sini tekonya, aku haus." Sebuah suara perempuan membuat kedua laki-laki itu menoleh. Iko menyipitkan mata mencoba mengingat makhluk manis yang terlihat kesal di sampingnya.
Celana dalam.
Ya, Iko ingat bahwa gadis ini adalah orang yang membawa kabur celana dalam kesayanganya, hadiah dari kakak perempuanya saat ngidam dulu.
"Habisnya kamu juga teriak nggak sabar." Si lelaki membela diri kemudian menyerahkan teko. Tifa pun lekas berlalu.
"Kak, buruan sarapan!" Teriakan dari temannya yang berada tak jauh dari tempat berdiri, membuat Iko tersadar dari lamunan memperhatikan gadis manis yang sedang minum dengan teko. Bukan gelas, tapi teko.
Iko beranjak pergi ke tenda yang tepat di sebelah tenda milik si gadis, bergabung dengan teman-temannya sarapan pagi. Tumis kacang dan tempe serta lauk telur rebus menjadi menu sarapan kali ini. Makanan apa pun jika dilakukan bersama, akan terasa jauh lebih nikmat.
♡♡♡
Tifa membagikan kertas jadwal kegiatan satu persatu kepada anggotanya, dan juga nomor urut. Nomor tersebut berguna untuk menentukan kegiatan apa yang akan mereka lakukan setiap hari. Setiap anggota akan menjalani kegiatan yang berbeda tanpa perlu membagi lagi.
"Mulai hari ini kita mengikuti jadwal yang terlampir. Nomor urut tiga, empat, tujuh dan sembilan akan mengikuti kegiatan yang sama pagi ini tentang tanggap bencana bersama tim SAR. Nomor sepuluh dan tiga kalian kurve (piket menjaga tenda dan juga menyiapkan makan untuk semua anggota). Yang lain silahkan lihat jadwal masing-masing yang tentunya berbeda." Tifa menjelaskan kegiatan pagi ini di dalam tenda putri karena dirinya berlaku sebagai KDR. Sedangkan KDR putra juga menjelaskan di tenda mereka sendiri.
Selesai menjelaskan, semua orang sudah siap dengan tugas masing-masing. Mereka keluar dari tenda dan mulai berpencar menuju lokasi yang sudah ditunjukkan. Tifa juga mulai bersiap menuju lapangan bersama dengan peserta lain yang nomornya sama dengannya. Bersama akan naik bus menuju lokasi kegiatan yang berada di luar bumi perkemahan.
Setiba di lapangan, ia melihat beberapa bus yang akan mengangkut peserta. Tifa naik ke salah satu bus yang ternyata sudah cukup penuh. Melihat ada bangku panjang dengan dua kursi masih kosong, ia segera duduk. Memperbaiki hasduk yang kurang rapi dengan melepas satu kancing atas seragamanya.
"Maaf, kursinya kosong?" Tifa mendongakkan kepala sejenak menoleh ke arah suara.
"Iya, duduk aja," jawab Tifa sambil terus memperbaiki hasduknya. Tempat duduknya terasa bergerak.
Tanpa diduga, sebuah tangan menangkup punggung tangan Tifa dan menarik cincin yang melilit hasduk ke atas. Tifa menoleh ke samping hingga hidungnya bersentuhan dengan hidung Iko. Keduanya tampak terkejut satu sama lain.
"Eh," ucap keduanya bersamaan dengan sangat canggung.
"Ma ... makasih," balas Tifa setelah Iko melepaskan tangannya kemudian memundurkan wajah juga badan, hingga posisi keduanya menghadap ke arah punggung kursi di depan.
"Iya, sama-sama. Sebaiknya baju kamu dikancingin sampai atas, soalnya sedikit menganggu," lirih Iko sambil menoleh ke arah lain, takut gadis di sebelahnya salah tanggap dengan niat baiknya. Memang sangat menganggu konsentrasi Iko, jika tidak buru-buru dikaitkan.
Iko menghela napas berat. Baik Tifa maupun Iko sama-sama menoleh ke arah berlawanan dengan kediaman yang menyelimuti perjalanan menuju lokasi kegiatan.
■■■■■
Tifa sedikit tergesa kembali ke kelas untuk mengambil beberapa data siswa yang diminta. Kepala sekolah memanggil Tifa ke ruangan beliau saat jam istirahat berlangsung, padahal ia sedang menikmati kegiatan mengoreksi lembar jawaban anak-anak didiknya. Ujian semester sudah selesai dua hari lalu. Saatnya ia disibukkan dengan koreksi dan input data rekapan nilai. Akan sibuk, dengan waktu terbatas pula.
Begitu urusan selesai, Tifa kembali ke kelas. Tampak lega akan sesuatu juga sedikit merasa bebannya akan semakin bertambah setelah ini. Lagi-lagi ia mulai membenamkan diri dengan lembar jawaban. Tak ia hiraukan suara berisik anak-anak yang bermain sepak bola di lapangan depan kelasnya. Ujian berakhir, biasanya sering digunakan anak-anak untuk bermain sepanjang jam berakhir. Kecuali bagi beberapa siswa yang mengerjakan soal remedial untuk memperbaiki nilai.
♡♡♡
"Pa, Ma," panggil Tifa. Diletakkan sejenak pena dalam genggaman. Ia tengah menyelesaikan koreksian dan memasukkan data tersebut untuk rapor. Target Tifa, harus selesai lebih cepat dari guru lainnya. Karena lusa, ia harus membimbing anak didiknya untuk bertanding di Jakarta. Beberapa bulan lalu, anak didiknya berhasil lolos di tingkat kecamatan, kabupaten dan lusa akan bertanding nasional melawan anak-anak lain dari provinsi berbeda di seluruh Indonesia.
Abi dan Rere, orangtua Tifa menoleh. Keduanya tengah menonton televisi di ruang tengah."Ya, Sayang. Ada apa?"
"Aku ada tugas ke Jakarta. Nemenin anak-anak lomba di sana. Boleh kan?" Rere tampak berpikir sejenak. Meskipun Tifa sudah dewasa dan berhak memutuskan apa pun sendiri, tapi masalah izin apalagi keluar kota tetap akan memintanya pada kedua orangtua.
"Boleh. Nanti nginep di rumah nenek saja. Papa sama Mama izinin." Tifa tersenyum senang. Ia sudah menyangka akan mendapatkan izin. Dulu Tifa sering ke Jakarta saat masih kecil. Sekarang, ia jarang ke sana jika tidak liburan sekolah. Tahu sendiri, meskipun sekolah sedang libur panjang belum tentu gurunya libur total.
Sepertinya .... ia memang merindukan kota tersebut. Di mana ibunya lahir dan kedua orangtuanya bertemu.
♡♡♡
"Tumben mampir ke mari, Ko?" Emil yang sedang bermain dengan anaknya di teras menyambut kedatangan Iko yang tampak kuyu. Mungkin kurang asupan perawan, pikir Emil.
"Laper, Mil. Ada makanan nggak?" Iko langsung berbaring di teras. Rasa dingin langsung nenyergap punggungnya yang berkeringat karena cuaca begitu membakar hingga ke ubun-ubun.
"Elah ... main ke sini cuma numpang makan. Sekali-sekali bawain anakku ini mainan kek, duit kek." Iko memilih tak menghiraukan cerocosan Emil. Sudah kebal dia dengan suara Emil.
"Suamimu belum pulang, Mil?" tanya Iko di tengah mata terpejamnya mengikis rasa lelah karena hampir seharian ini ia berada di lapangan untuk membahas kegiatan perkemahan.
"Belum. Dia kerja siang malam, Ko. Siang di luar rumah, malem kerja rodi di dalam kamar." Emil terkikik geli setelah Iko melemparinya dengan boneka emoticon warna kuning yang ia dekap.
"Nggak usah dipamerin sama aku. Jangan ganggu jomlo, please! Hargai statusku ini." Emil semakin terpingkal dengan ancaman kesal Iko. Tak mau dirinya menjadi bahan ledekan tak berujung, Iko berdiri dan berjalan ke dapur. Lebih baik ia memilih makanan sendiri di dapur.
Emil dan suaminya memang tinggal terpisah dengan orang tua. Rumah Emil kerap menjadi pelarian Iko saat perutnya lapar. Kebetulan, Iko mengajar ekstrakurikuler di sebuah SMP dekat rumah Emil. SMP ternama, dan ia bisa masuk ke sana karena temannya di Kwarcab yang sudah mengajar di sana meminta Iko ikut bergabung. Seminggu sekali ia akan mengajar di SMP tersebut, selebihnya ia tetap di tempat mengajar biasanya.
"Gimana sama Shela?" tanya Emil pelan. Sebenarnya ia sudah tahu jawabannya, hanya saja tak pernah menyerah bertanya.
"Nggak gimana-gimana."
"Nggak pengen ikutin jejakku, Ko? Shella bukan pilihan yang buruk kok." Iko menghentikan kegiatan mengunyah nasi beserta ayam goreng di piringnya. Shella, Iko tidak buta dengan tingkah teman sekolahnya yang kini menjadi teman sejawatnya, terlihat jelas menaruh rasa padanya. Shella cantik, baik, ramah, juga cerdas. Tipe guru yang supel, teman yang menarik dan istri yang baik. Tapi, tidak ada sedikit pun getaran yang Iko rasakan untuk perempuan itu. Mungkin dulu iya, meski hanya sekejap. Iko juga menganggap hal itu bukan cinta.
Sampai saat ini, Iko masih menunggu seseorang yang ia cari. Sebenarnya Iko tak pernah benar-benar mencari. Ia terlalu sibuk dengan mimpinya. Tak lelah berharap, suatu saat ... ia akan datang. Seseorang itu, yang selalu melekat di hatinya.
"Nggak, Mil. Aku masih ingin menikmati hari-hariku."
Emil menepuk pundak Iko pelan. "Atau kamu memang sudah punya yang lain? Yang nggak mau kamu kasih tahu ke aku karena takut kubongkar rahasiamu, suka .... buang hajat sembarangan? Pantatmu aja pernah dipatok ayam pas SD, karena buang hajat di pasir. Belum lagi kamu kecebur ke sungai pas mau cebok." Sebelum Iko melempar sendoknya, Emil sudah kabur ke teras sambil terbahak.
____________ Next___________