Pagi itu Raya dan Laras tengah membersihkan pendopo bersama dengan para penari dan para pemusik lainnya, mereka saling bergotong royong untuk membersihkan tempat latihan mereka bersama. Sebelum membersihkan pendopo, mereka sudah membagi tugas terlebih dahulu, Raya menyapu aula, Laras mengelap tiang-tiangnya, Bagas merapihkan seluruh alat bersama dengan yang lainnya, mereka saling bahu membahu melakukannya dan semuanya terasa begitu menyenangkan jika mereka melakukan hal ini bersama, karena pekerjaan mereka kala itu diiringi oleh lagu dangdut yang ada di sana, membuat beberapa dari mereka menari-nari mengikuti alunan lagu dan separuh dari mereka tertawa karenanya, bahkan bercanda bersama-sama. Sangat menyenangkan jika mereka melakukan hal itu dengan penuh riang.
Dari kejauhan, Lukman berlari dengan kencang seraya memanggil-manggil nama Laras seperti orang yang kesetanan, dan tentu hal itu membuat mereka-mereka yang tengah membersihkan pendopo menoleh menatapnya dengan raut yang bingung, “Laras! Ras!!” Panggilnya dengan kencang, dan hal itu membuat Laras mengerutkan dahinya seraya berjalan menghampiri Lukman yang bergegas melepas sendal jepitnya dan masuk ke dalam pendopo, menghiraukan sendal jepitnya yang terlempar ke sembarang arah,
“aya naon Man? Sia mah, sok riweuh sorangan! Ngareureuwas batur wae atuh! (ada apa Man? Kamu mah selalu sibuk sendiri! Menakut-nakuti orang saja)” gerundel Bagas pada Lukman yang masih meraup nafas sebanyak-banyaknya, ia merasa lelah karena berlari begitu cepat menuju pendopo, ia yang tidak sanggup berbicara pun hanya mengarahkan jari jempolnya ke arah belakang sana dan hal itu membuat mereka tentu tidak mengerti dengan apa yang ia lakukan saat ini, “aya naon sih?! (ada apa sih?) ” tanya Bagas lagi, namun kali ini pertanyaan darinya membuat Lukman merasa terganggu dan kini menoleh menatap tajam Bagas yang berdiri tepat di samping Raya dan Laras,
“da aing mah lain ka maneh, Gas! (saya tidak ke kamu, Bagas!) ” sembur Lukman sebagai sebuah protes kepadanya, dan membuat Bagas terkekeh dan menggeleng, dan hal itu membuat Laras yang menyadari bahwa Lukman yang ingin ditanya olehnya pun, pada akhirnya membuat Laras bertanya kepada Lukman,
“aya naon, Lukman? (ada apa, Lukman?) ” tanya Laras kepadanya, dan kini kedua mata Lukman kembali tertuju pada Laras, ia pun kembali menunjuk ke arah belakang dengan jemari jempolnya, menandakan bahwa hal itu sangatlah sopan. setelah dirasa bahwa ia dapat berbicara, Lukman pun akhirnya berucap,
“eta … Ibu jeung bapak … Datang kadieu! (itu, ibu sama ayah … datang kesini!)” sebuah penjelasan yang diucapkan oleh Lukman saat itu membuat kedua mata Laras terbelalak tidak mempercayainya, dengan raut yang meragukan Lukman, ia kembali bertanya kepadanya,
“hah?? Seriusan Man?? ibu saha? (ibu siapa?)” tanya Laras kepada Lukman, mendengar pertanyaan itu Lukman menganggukkan kepalanya dengan pasti dan menunjuk Laras untuk menjawab bahwa ibu yang dimaksud oleh Lukman adalah Ibu Laras, namun karena masih tidak mempercayainya Laras kembali bertanya, “serius??” tanyanya lagi dan kali ini Lukman menghela nafasnya seraya berucap,
“heueuh!!, nyaanan da … aya di imah Bu Yani, titingalieuna mah keur ngararobrol jeung Bu Yani … kaditu geura! Apan Laras teh sono ceunah?! (iyaa!!, beneran kok … ada di rumah Bu Yani, yang aku lihat mereka lagi berbincang sama Bu Yani … kesana dong! Bukannya Laras bilang kangen?!)” ucapan yang dilontarkan oleh Lukman saat itupun membuat Laras segera memakai sendal jepit yang ada di sana dan berlari ke atas (karena jalannya memang menanjak) untuk kemudian berlari menuju rumah Bu Yani.
Orang-orang yang melihat kepergian Laras seperti itu pun, kini menoleh menatap Lukman yang tersenyum karenanya, “nyaanan pan maneh, Man?! lain heureuy pan?! (beneran kan kamu, Man?! bukan bercanda kan?!)” dan pertanyaan yang dilontarkan Bagas kepada Lukman saat itu seperti introgasi baginya, namun Lukman menghela nafas dan menggelengkan kepala seraya memperlihatkan dua jarinya seraya berucap,
“sing sumpah na, heunteu!! nyaanan, datang tah (sumpah deh, nggak!! beneran, mereka dateng) ” sambungnya lagi dan hal itu membuat Raya segera mengambil sendal jepit di sana dan pergi menuju rumah Bu Yani, hal itu juga membuat mereka pun mengikuti langkah kakinya. Dan termasuk Bagas yang meninggalkan Lukman di aula pendopo yang kini memilih untuk menggelengkan kepala, dan terduduk di lantai pendopo, ia merasa sedikit kecewa setelah menyadari bahwa Bagas selaku temannya tidak begitu memercayainya, atau mungkin salahkan saja dia yang memang selalu menjahili orang-orang di sana.
…
Dengan langkah yang begitu cepatnya, Laras berlari menuju rumah Bu Yani. Dan ketika kedua matanya menatap dua orang yang sangat ia kenali tengah duduk dan berbincang dari kejauhan sana, iapun segera memanggil mereka dengan begitu senangnya,
“Ibu!! Bapaaa!!” Panggilan keras yang dikeluarkan oleh Laras saat itu membuat mereka-mereka yang ada di sana menoleh menatap Laras, dan sang Ibu pun merentangkan kedua tangannya seraya berdiri dari duduknya dan akhirnya Laras masuk ke dalam pelukan sang Ibu dengan begitu eratnya, tidak lupa dengan sang ayah yang saat itu mengusap rambut Laras dan setelahnya ia pun memeluk sang anak setelah sebelumnya pelukan sang Ibu terlepas darinya. Laras sangat senang saat itu, ia bahkan tertawa sambil menangis karena bahagia, dan hal itu membuat kedua orang tuanya pun kembali memeluk sang anak kesayangan.
“aduhhh meuni sono pisan nya?? (aduh … kangen banget ya?)” ucap Bu Yani seraya menoleh menatap Laras yang kini tersenyum seraya mengangguk di hadapannya, dan hal itu membuat kedua orang tuanya tertawa. Kedua mata Bu Yani kini tertuju pada anak-anak yang baru saja datang dan hal itu membuat kedua orang tuanya pun ikut melihat mereka yang kini membungkuk hormat pada mereka,
“pak … bu … “ sapa Bagas seraya berjalan menghampiri kedua orang tua Laras dan menjabat tangan keduanya dengan menempelkan kepala di tangan mereka dengan sopan kepada mereka, dan hal itu pun dibuntuti oleh Raya, dan teman-teman yang lainnya. Hal itu membuat kedua orang tua Laras merasa senang, karena Laras memiliki teman-teman yang sopan dan baik.
“aduhh.. si kasep jeung si geulis! ” ucap Bapak Laras kepada mereka semua yang kini tersenyum dan juga tertawa kecil menanggapi ucapan dari Bapak Laras kepada mereka, “mana nu namina Bagas teh, cik! ( siapa coba yang namanya Bagas?)” sambung sang Bapak, dan hal itu membuat mereka semua menoleh menatap Bagas seraya tertawa, “oh, ieu nu namina Bagas … Bagas teh! (oh, ini yang namanya Bagas, Bagas itu!)” ucap Bapak Laras seraya tersenyum dan menghampirinya yang kemudian menepuk bahu Bagas, sedangkan Laras sesegera mungkin memprotes sang Ayah karena malu,
“ih … Bapak mah!” itulah protesnya dan reaksi yang ditunjukkan oleh Laras pun membuat mereka tertawa, sedangkan Bagas tertawa garing setelah sang Ayah dari Laras mengangguk setelah menyadari bahwa ia adalah Bagas.
“nah, mumpung aya Bapak sareng Ibu … mangga atuh, urang ningali latihan barudak sareng Laras, da Laras teh bisaan pisan Nari na mah! (nah, berujung ada Bapak dan Ibu … ayo, kita melihat latihan anak-anak sama Laras, karena Laras tuh sangat hebat menarinya)” ucapan yang diucapkan oleh Bu Yani pun membuat mereka berhamburan untuk segera pergi ke pendopo, dan tawaran dari Bu Yani kepada kedua orang tua Laras pun tentu disetujui oleh keduanya yang penasaran dengan pertunjukan yang akan disajikan oleh mereka semua terutama sang anak kesayangan, Laras. Dan kini mereka pun bersama-sama pergi ke pendopo yang letaknya berada di bawah sana.
to be continue.