-2.5-

1212 Kata
Layaknya seorang tamu yang agung, kedua orang tua Laras dijamu dengan begitu baiknya oleh anak-anak yang ada di sana. Mereka bahkan menampilkan dua hingga tiga tarian untuk kedua orang tua Laras yang kini merasa sangat tersanjung karenanya. Dan tidak mereka sadari, sebagian anak-anak tengah menyiapkan hidangan yang banyak untuk makan siang mereka bersama-sama. Dan anak-anak itu diantaranya Laras, Raya, Bagas, Purti dan Lasmi. Bagas?? mungkin tidak banyak yang tau, tapi Bagas adalah anak lelaki yang paling jago masaknya di sana. “duh! Kumaha atuhhh ieu?! (aduh! Gimana nih?!)” ucap Lasmi terdengar begitu bingung, dan hal itu membuat Bagas serta Raya menoleh menatanya yang terlihat kebingungan di sana,   “aya naon?? (ada apa?)” tanya Raya padanya yang kini memperlihatkan besek (tempat berbentuk kotak, atau bundar yang terbuat dari anyaman bambu, yang bisa dipakai untuk segala macam peralatan termasuk bumbu-bumbu dapur) ia sengaja memperlihatkan besek tempat cabai yang ternyata sudah kosong. Hanya dengan memperlihatkan tempat cabai yang kosong pun membuat Raya dan Bagas mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Lasmi saat itu,  “hayu atuh, urang meuli Ya! (kalau begitu ayo, kita beli Ya!) ” ajak Bagas pada Raya yang kini mengangguk mengiakannya, karena mereka merasa bahwa cabai merupakan bahan utama untuk membuat sambal, dan sambal adalah hal pertama yang paling lezat yang menyempurnakan liwetan (makan bersama ala sunda) yang menemani lalapan yang ada (lalapan adalah daun-daunan yang dimakan mentah seperti daun selada, mentimun, terong, daun singkong rebus, serta surawung). Hal itu membuat mereka mau tidak mau harus membelinya sebelum semuanya sudah matang, “nitip pasakan ini atuh yah” ucap Raya pada Lasmi yang kini mengangguk mengiakan ucapan Raya, tanpa diperintah lagi ia sudah mengambil spatula yang digenggam oleh Raya dan mengambil alih posisinya untuk memasak ikan asin. Dan ketika Bagas bersama dengan Raya hendak pergi, Laras melihat mereka lalu menghentikannya dengan bertanya, “ih, mau pada kemana ini teh?!” tanya Laras di sana seraya meletakan tempat nasinya di atas meja dan menoleh menatap keduanya yang sudah memakai sendal jepit, dan Raya memakai jaket. “mau beli cengek, buat sambel” jawab Raya padanya, dan terlihat dari raut Laras … iya tengah memikirkan sesuatu, dan hal itu membuat Raya kembali bertanya, “mau nitip apa Ras?” tanyanya, namun segera Laras menggelengkan kepalanya dan berucap, “ah, Laras ikut aja we lah! Bisa kan bonceng bertiga, Gas??” tanya Laras seraya melirik Bagas yang menyipitkan matanya lalu ia mengangguk dengan enteng, “yaudah hayu atuh! Bisi kehabisan ke!“ sambung Laras seraya berjalan mendahului Raya dan Bagas, mungkin jika banyak orang yang melihatnya mereka akan menganggap bahwa Laras terlihat cemburu, namun Raya maupun Bagas tidak mempermasalahkan hal itu dan mereka pun akhirnya pergi bertiga menuju pasar desa menggunakan satu motor yang disupiri oleh Bagas. … Pasar desa tidaklah seperti pasar-pasar di kota, luasnya tidak seberapa, namun sayur mayur di sana sangatlah kumplit dan segar. Hal yang paling pertama mereka cari adalah orang yang menjual cabai merah atau cabai hijau di salah satu warung yang sudah mereka ketahui, namun saat itu mereka sedang tidak beruntung karena mereka kehabisan cabai yang pada akhirnya mereka harus pergi ke pasar desa sebelah untuk membelinya. Jarak dari pasar satu ke pasar lainnya membutuhkan waktu sekitar satu jam, dan sepanjang perjalanan mereka habiskan dengan tertawa serta bercanda, hal itu karena Bagas lah yang terlebih dahulu memulainya. Nasib apes kembali menyerang mereka, karena di tengah perjalanan menuju desa sebelah, hujan pun datang dengan begitu derasnya. Hal itu membuat mereka mau tidak mau harus berteduh di bawah pohon yang besar, “duh … gimana nih?! malah hujan lagi!!” keluh Laras seraya mengusap-usap punggung lengannya yang terasa gatal, tidak seperti Laras yang menggerutu, Raya hanya terdiam seraya memandangi derasnya hujan siang itu dan hal itulah yang menjadi tanda tanya bagi Bagas yang menyaksikan perbedaan keduanya. “kenapa Ya?” tanya Bagas dengan pelan kepada Raya yang berdiri di sampingnya, mendengar pertanyaan itu membuat Raya menoleh dan menggeleng dengan cepat seraya berucap bahwa tidak ada apapun, dan hal itu membuat Bagas tidak bisa mencari celah untuk kembali bertanya atau pun memulai perbincangan yang lainnya, hingga akhirnya ia pun terdiam di sana. Lima … Sepuluh … Bahkan lima belas menit lamanya mereka menunggu, namun hujan tak kunjung reda, hingga mereka merasa bosan karenanya, “kumaha atuh, acan raat keneh wae geuningan hujan teh (gimana ya, hujannya belum reda juga ternyata) … mau diterobos aja??” tanya Bagas seraya menoleh menatap mereka berdua secara bergantian, ya … ia bertanya demikian pasalnya hari sudah menjelang sore, dan akan menjadi hal yang dikatakan ‘pamali’ (pamali adalah kata yang merujuk pada hal yang tabu, atau pantangan bagi orang-orang jaman dulu untuk melakukannya, dan pamali masih dianggap penting bagi kebanyakan orang sunda) jika mereka masih berkeluyuran di waktu senja. Belum lagi posisi mereka saat ini berada di tengah hutan yang jauh dari pemukiman warga. “hayu wae Laras mah ah … lila-lila di dieu mah Keueung, jadina teh! (ayo aja kalau Laras, … lama-lama di sini jadinya serem!)” jelas Laras pada Bagas dan hal itu pun membuat Raya menganggukkan kepalanya mengikuti apa yang diucapkan Laras, ia merasa bahwa ia juga memiliki satu rasa dengan Laras terhadap tempat yang mereka pijaki saat itu. Ketiganya pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya menuju Pasar desa sebelah, dan setelah mendapatkan apa yang mereka cari di pasar desa sebelah, mereka pun segera kembali dengan menerobos hujan yang deras, yang membuat mereka bertiga basah kuyup jadinya. Setibanya mereka bertiga di pendopo, ketiganya terkejut ketika menyadari bahwa acara makan-makan telah selesai dan mereka bertiga tertinggal, karena hujan deras yang sempat mencegat mereka di jalan. Lagi dan lagi mereka merasa apes karenanya, dan hal itu membuat Laras merasa sedih. “aduhhh … punten pisannya, lauk na teh seep, ngan aya hayam we jeung ikan asin! ( aduh, maaf banget yaa, ikannya kehabisan, adanya tinggal ayam dan ikan asin!) ”ucapan sang Ibu dari Laras membuat Laras merengek mengeai kenapa mereka ditinggalkan, dan hanya satu alasan yang tepat untuk diberikan kepada mereka bertiga, karena mereka terlalu lama dan anak-anak sudah merasa kelaparan. Hal itu membuat Bagas dan Raya mengerti dengan keadaan tersebut, namun tidak dengan Laras yang cemberut sepanjang ia makan seadanya bersama dengan Bagas dan Raya saat itu. “geus atuh, gak usah manyun gitu (udah lah, gak usah cemberut gitu)” ucap Bagas padanya yang kini menatap Bagas dengan cukup tajam, ia tidak terima dikatakan seperti itu olehnya, “tapikan kamu sama Raya teh gak kebagian ikannya! Padahal ikan buatan ibu teh enak pisan!” keluh Laras kepada bagas dan Raya yang saat ini tersenyum, mereka merasa bahwa Laras memberikan perhatian kepada mereka berdua dan itu pun diketahui oleh Raya. “gak papa Ras! Kan kita bisa makan ikan kapan-kapan lagi, yakan Gas?!” ucap Raya seraya menoleh menatap Bagas yang mengangguk seraya menguapkan makanan ke dalam mulutnya dengan lahap, dan hal itu membuat Laras mengangguk mengiakannya. “iya deh! Kapan-kapan we kita ke sana, nanti Bagas yang nangkep ikan sama bapak … biar Laras, Raya sama ibu yang masaknya, yakan pak?” dan ucapan dari sang Ibu pun membuat Bagas mengangguk mengiakan ucapan tersebut dan tertawa bersama dengan yang lainnya. Kehangatan di pendopo sore itu begitu terasa, meski hawa dingin dari hujan deras sore itu masih turun membasahi bumi, dan lebih tepatnya bagian wilayah mereka. …  to be continue. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN