“Jika ini yang kau inginkan,” akhirnya Mira berkata dengan suara bergetar, “aku akan melakukannya. Tapi ingat, Mas, aku melakukan ini bukan karena aku mau. Aku melakukan ini demi ibuku.”
Adam tersenyum puas, matanya memancarkan kemenangan. “Bagus, Mira. Aku tahu kau akan mengerti.”
Pelukannya menguat sekali lagi, seolah menandai bahwa ia tidak akan melepaskan Mira lagi. Di dalam hatinya, Adam merasa menang-tetapi jauh di dalam lubuk hatinya, ada sesuatu yang mulai mengganggunya. Namun, ia mengabaikan perasaan itu, memilih fokus pada apa yang ada di hadapannya saat ini.
Adam menatap Mira yang berdiri di hadapannya, tubuhnya kaku tetapi wajahnya penuh dengan keraguan dan emosi yang bertentangan. Tanpa memberikan kesempatan untuk berpikir lebih jauh, Adam menundukkan kepalanya dan mulai melumat bibir Mira dengan intens.
Ciumannya penuh gairah, mendalam, dan menguasai, seolah-olah ia ingin menyampaikan beberapa lama ia menunggu momen ini. Tangan Adam yang melingkar di pinggang Mira menariknya lebih dekat, tubuh mereka kini tak berjarak.
Mira terkejut pada awalnya. Tubuhnya menegang, tetapi perlahan rasa pasrah mulai mengambil alih. Matanya yang semula terbuka perlahan terpejam. Sentuhan bibir Adam, meskipun dipenuhi d******i, membangkitkan kenangan lama—kenangan manis yang selama ini ia pendam jauh di dasar hatinya.
Adam memperdalam ciumannya, merasakan setiap reaksi Mira. Tangannya yang bebas membelai lembut pipi wanita itu, sementara yang lain tetap erat di pinggangnya. Ia dapat merasakan Mira mulai melembut, tubuhnya tak lagi kaku.
Mira, meskipun dipenuhi oleh berbagai konflik batin, mulai menikmati setiap sentuhan Adam. Ia benci mengakuinya, tetapi tubuhnya merespons dengan cara yang tak bisa ia kendalikan. Jantungnya berdegup kencang, dan napasnya mulai mengikuti irama napas Adam.
Ketika ciuman itu akhirnya terhenti, Adam menatap Mira yang masih menunduk dengan mata terpejam. Wajahnya memerah, napasnya memburu, dan tangan-tangannya gemetar di sisinya. Adam tersenyum tipis, penuh kemenangan.
"Kau nggak banyak berubah, Mira," bisiknya dengan suara rendah, hampir seperti gumaman. "Masih mudah luluh di hadapanku."
Mira membuka matanya perlahan, wajahnya merah karena malu dan emosi yang bercampur aduk. Ia mencoba mengatur napasnya, tetapi ia tahu bahwa ia telah menyerah pada momen itu, sesuatu yang membuatnya merasa kalah dan lemah di hadapan
“Ini nggak berarti apa-apa, Mas,” ucap Mira pelan, tetapi suara itu terdengar gemetar.
Adam tertawa kecil, lalu membelai pipi Mira lagi. “Kau bisa berkata apa saja, Mira,” katanya penuh percaya diri. “Tapi tubuhmu berkata sebaliknya.”
Adam menatap Mira sejenak, matanya penuh dengan d******i dan gairah yang tak bisa disembunyikan. Tanpa banyak bicara, ia bergerak cepat. Dalam hitungan detik, ia sudah membungkuk dan mengangkat tubuh Mira ke dalam pelukannya.
"Mas! Apa yang kau lakukan?" seru Mira terkejut, tubuhnya menegang dalam gendongan pria itu.
Namun, Adam tidak menjawab. Ia hanya berjalan dengan langkah mantap menuju ranjang yang ada di tengah kamar hotel itu. Raut wajahnya tidak menunjukkan keraguan sedikit pun, sementara Mira hanya bisa menggeliat, mencoba melawan, meskipun usahanya sia-sia.
Ketika Adam sampai di sisi ranjang, ia menurunkan Mira perlahan, membaringkan tubuh wanita itu dengan hati-hati tetapi tetap penuh kendali. Mira berusaha untuk bangkit, tetapi Adam dengan cepat menahan pergelangan tangannya, membuatnya tetap terbaring di tempat.
"Berhenti melawan, Mira," kata Adam dengan nada rendah, tetapi penuh dengan otoritas. "Kau tahu nggak ada gunanya."
Mira menatap Adam dengan mata penuh emosi—ketakutan, kemarahan, tetapi juga ada percikan rasa yang sulit ia jelaskan. Ia tahu situasi ini sudah tidak berada di bawah kendalinya, dan itu membuat hatinya terasa berat.
Mira menutup matanya, mencoba mengendalikan rasa sakit dan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Di hatinya, ia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang tak terlupakan-dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan.
***
"Aku berhasil mendapatkanmu kembali, Mira," gumam Adam pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Tapi kenapa rasanya seperti ini?"
Adam sudah berdiri di dekat jendela kamar hotel. Tubuhnya tegap dalam balutan kemeja putih yang terlihat rapi, dengan dasi yang belum sepenuhnya terikat. Sinar matahari pagi menembus tirai yang sedikit terbuka, memantulkan bayangan siluetnya di lantai. Di tangannya, secangkir kopi masih mengepul hangat.
Matanya memandang jauh ke luar jendela, memperhatikan jalanan kota yang mulai ramai oleh aktivitas pagi. Namun, pikirannya tidak berada di sana. Wajahnya tampak tenang, tetapi di balik ketenangan itu, pikirannya dipenuhi oleh kejadian malam sebelumnya.
Di belakangnya, di atas ranjang, Mira masih terbaring. Tubuhnya tertutup selimut putih, hanya kepalanya yang terlihat di antara bantal-bantal empuk. Ia tampak tenang dalam tidurnya, meskipun wajahnya menunjukkan jejak kelelahan.
Adam menghela napas panjang, menyeruput kopinya perlahan. Pikirannya kembali pada Mira—wanita yang dulu ia cintai, wanita yang pernah ia anggap menghancurkan hidupnya, dan kini kembali ke dalam dunianya dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan.
Mira perlahan membuka matanya, kelopak yang berat mencoba menyesuaikan diri dengan sinar matahari yang masuk dari celah tirai jendela. Kepalanya terasa berat, dan pikirannya masih sedikit kabur.
Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Saat pandangannya mulai jelas, ia melihat kamar hotel yang mewah di sekelilingnya. Aroma kopi samar-samar tercium, menyadarkannya bahwa ini bukan rumahnya.
Ia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa lemas, dan selimut yang melilit tubuhnya membuatnya sulit bergerak. Ketika ia menoleh, pandangannya langsung tertuju pada Adam yang berdiri di dekat jendela, mengenakan kemeja putih rapi dengan dasi yang terlepas.
Adam menatap ke arahnya dengan ekspresi datar, tetapi matanya tajam, seolah-olah sedang menilai setiap gerakannya.
"Kau sudah bangun," kata Adam dingin, suaranya memecah keheningan di antara mereka. Ia melangkah perlahan mendekat ke ranjang, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.
Mira menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. "Mas ... tentang tadi malam ...." suaranya bergetar, tidak mampu menyelesaikan kalimatnya.
Adam mengangkat satu alis, seolah menantang Mira untuk melanjutkan. "Apa? Kau ingin mengatakan kau menyesal?" tanyanya, nada suaranya sinis. "Jangan lupa, Mira, kau yang datang ke sini dengan sukarela. Kau yang setuju dengan semua ini."
Mira terdiam, menundukkan kepala. Ia tahu Adam benar, tetapi perasaan malu dan hina membuat dadanya terasa sesak.
Adam duduk di tepi ranjang, menatap Mira dari dekat. Tangannya terulur, menyentuh dagu Mira dan memaksa wanita itu untuk menatapnya.
"Ingat, Mira," katanya dengan suara rendah namun penuh ancaman, "ini baru permulaan. Kalau kau ingin ibumu mendapatkan perawatan terbaik, kau harus memastikan untuk memenuhi semua permintaanku. Mengerti?"
Air mata menggenang di mata Mira, tetapi ia menahannya agar tidak jatuh. Ia hanya mengangguk pelan, merasa tidak punya pilihan lain.
Adam meraih dompetnya dari meja kecil di dekat jendela. Dengan gerakan santai, ia mengambil beberapa lembar uang pecahan besar dan melangkah kembali ke arah Mira yang masih duduk di atas ranjang.
Tanpa ragu, ia melemparkan uang itu ke atas selimut yang menutupi tubuh Mira. Uang-uang itu berhamburan di atas ranjang, beberapa jatuh ke lantai.
"Itu uang untukmu pulang," ucap Adam dingin, tatapannya penuh d******i. "Aku sudah menyuruh orang kepercayaanku mengurus semua biaya rumah sakit ibumu. Kau nggak perlu khawatir soal itu."
Mira menatap uang yang berserakan di hadapannya, hatinya terasa hancur. Ia tidak tahu harus merasa lega karena Adam benar-benar membantu ibunya atau merasa hina karena cara Adam memperlakukannya.
"Apa semua ini harus seperti ini, Mas?" tanya Mira pelan, suaranya gemetar. Ia mengangkat tatapannya, menatap mata pria itu dengan penuh luka.
Adam menyeringai kecil, lalu membungkuk mendekati Mira. Tangannya menyentuh dagu wanita itu, mengangkatnya agar ia bisa menatap langsung ke dalam mata Mira.
"Ini cara yang kau pilih, Mira," ucapnya tajam. "Kau datang padaku untuk meminta tolong, dan aku hanya memberikan apa yang kau butuhkan. Jangan bermain sebagai korban di sini."
Mira terdiam, tidak mampu menjawab. Ia merasa semakin kecil di hadapan pria yang pernah ia cintai itu.
Adam berdiri tegap lagi, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jasnya. "Aku akan pergi sekarang," katanya tanpa emosi. "Kau bebas pergi kapan saja. Tapi ingat, Mira, ini bukan akhir. Jika kau menginginkan perawatan ibumu terus berjalan, kau tahu apa yang harus kau lakukan."
Dengan kata-kata itu, Adam berbalik dan berjalan menuju pintu. Tanpa menoleh lagi, ia membuka pintu dan keluar dari kamar, meninggalkan Mira sendirian di sana.