“Aku yakin kali ini kamu nggak akan bisa menolakku, Mira.” Adam berdiri di dekat jendela besar, memandangi kelap-kelip lampu kota yang terbentang di bawahnya. Tangan kirinya memegang gelas kristal yang berisi wiski, sementara tangan kanannya dimasukkan ke dalam saku celananya.
Pikiran Adam melayang jauh. Sesekali ia mengayunkan gelasnya, membuat cairan emas itu berputar pelan, lalu menyesapnya dengan perlahan. Rasanya pahit di lidah, tetapi tidak sebanding dengan pahitnya emosi yang ia rasakan di hatinya malam ini.
Ketukan lembut di pintu kamar membuat Adam tersenyum tipis. Ia melangkah dengan tenang. Namun, sorot matanya tajam seperti seorang pemburu yang baru saja menjebak mangsanya. Ketika pintu terbuka, di hadapannya berdiri Mira.
Mira sudah berdiri di hadapan Adam, Wanita itu tampak gugup. Matanya menatap lantai, menghindari tatapan Adam yang penuh kendali. Pakaiannya sederhana, tapi cukup sopan untuk menunjukkan bahwa ia berusaha menjaga martabatnya meskipun hatinya terombang-ambing.
"Mira," Adam berkata dengan nada rendah, tetapi ada nada kemenangan yang samar di balik suaranya. "Aku tahu kau akan datang."
Mira tidak menjawab. Tangannya memegang erat tali tas kecilnya, seolah itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap berdiri tegak. Dalam hati Mira ada rasa enggan untuk hadir di tempat itu. Namun, keadaan Hanum, ibunya, yang memaksanya untuk menyetujui permintaan Adam tadi siang.
"Masuklah," ucap Adam, tubuhnya sedikit bergerak ke samping, memberi jalan bagi Mira untuk melangkah masuk.
Mira ragu sejenak, tetapi akhirnya ia melangkah masuk ke dalam kamar. Ruangan itu terasa dingin, bukan hanya karena AC yang menyala, tetapi juga karena atmosfer yang diciptakan oleh Adam. Begitu Mira berada di dalam, Adam menutup pintu dengan perlahan, membuat suara klik yang terdengar seperti penanda bahwa ia telah mengunci sesuatu—entah pintu, atau mungkin nasib Mira.
Adam berjalan ke arah meja kecil di sudut ruangan, mengambil gelas berisi wiski yang baru saja ia letakkan. Ia menyesapnya lagi, lalu berbalik menatap Mira, yang berdiri kaku di tengah ruangan.
"Duduklah," kata Adam sambil menunjuk sofa di dekat jendela.
Mira menatapnya ragu, tetapi akhirnya ia menurut. Ia duduk di ujung sofa, menjaga jarak sebanyak mungkin dari tempat Adam berdiri.
Adam berjalan perlahan ke arahnya, duduk di sofa yang sama, tetapi masih dengan sikap santai. Ia menyandarkan tubuhnya, sementara satu tangannya memegang gelas wiski.
"Jadi," Adam memulai, suaranya rendah namun penuh tekanan, "kau di sini, seperti yang kuharapkan. Kau tahu apa artinya ini, bukan?" Adam tersenyum penuh dengan kemenangan.
Mira mengangkat wajahnya sedikit, menatap Adam dengan tatapan yang penuh luka dan kebencian. "Aku hanya ingin ibuku selamat," katanya pelan, tetapi tegas. "Aku nggak peduli apa yang kau pikirkan tentangku, Mas. Aku di sini untuknya, bukan untukmu."
Adam tersenyum tipis, seolah menikmati keberanian kecil yang ditunjukkan Mira. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, membuat jarak antara mereka semakin dekat.
"Dan aku bisa memastikan itu," kata Adam dengan nada dingin. "Tapi seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, nggak ada yang gratis di dunia ini, Mira. Kau tahu itu, bukan?"
Mira terdiam. Nafasnya terasa berat, tetapi ia mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh. Ucapan Adam terdengar seperti sebuah penghinaan di telinganya, tapi apa yang bisa ia lakukan saat ini? Selain menyetujui dan menerima tawaran Adam, mantan suaminya.
"Apa yang kau inginkan dariku, Mas?" akhirnya Mira bertanya, meskipun ia tahu jawabannya tidak akan menyenangkan.
Adam menatapnya lama, seolah sedang mempertimbangkan bagaimana caranya membuat Mira semakin terpojok. Lalu, dengan senyum tipis yang penuh kemenangan, ia menjawab pelan, "Aku ingin kau menjadi milikku lagi, Mira. Bukan sebagai istri, tapi sebagai seseorang yang akan melahirkan anak untukku."
Mira membeku. Kata-kata Adam menusuk hatinya seperti pisau tajam. Ia tahu, ini bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang harga dirinya yang harus ia pertaruhkan. Namun, bayangan wajah ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit membuatnya tidak punya pilihan.
Adam perlahan meletakkan gelas wiski di meja kecil di samping sofa, pandangannya tak pernah lepas dari Mira. Wanita itu duduk di sampingnya, tampak begitu rapuh, dengan tangan yang menggenggam erat tali tas kecil di pangkuannya.
Tanpa berkata apa-apa, Adam mengulurkan tangan dan menyentuh pipi Mira dengan lembut. Sentuhannya halus, kontras dengan tatapan matanya yang penuh intensitas. Mira tersentak kecil, tetapi tidak bergerak menjauh.
"Mira," bisik Adam pelan, suaranya rendah dan penuh kendali. "Kau masih seperti dulu ... selalu membuatku kehilangan akal."
Mira tidak menjawab. Ia hanya menunduk, tetapi sentuhan Adam di pipinya membuatnya sulit berpikir jernih. Hatinya bergejolak antara ketakutan dan emosi yang tidak ingin ia akui.
Adam perlahan mendekat, membuat jarak antara mereka semakin kecil. Ia memiringkan wajahnya sedikit, mengamati ekspresi Mira yang mulai memerah. Ketika jarak mereka hampir tak bersisa, Mira secara refleks menutup kedua matanya, tubuhnya kaku, tetapi ia tidak berkata apa-apa.
Adam berhenti sejenak, memandangi Mira yang kini berada dalam genggamannya—begitu dekat, begitu mudah untuk dikuasai. Ia tersenyum tipis, puas dengan kekuatan yang ia miliki atas wanita ini.
"Kau masih sama seperti yang kuingat," ucap Adam pelan, hampir seperti gumaman. "Mudah menyerah pada keadaan."
Mira membuka matanya perlahan, wajahnya memerah karena malu dan marah. Ia mencoba menjauhkan dirinya, tetapi Adam menahan tangannya, membuatnya tetap di tempat.
"Lepaskan aku, Mas," kata Mira akhirnya, suaranya bergetar. Namun, penuh tekad.
Adam hanya menatapnya, lalu perlahan melepaskan tangannya. Ia bersandar kembali di sofa, senyumnya berubah menjadi dingin. "Kau tahu kau nggak punya pilihan, Mira. Tapi aku suka melihatmu mencoba melawan."
Mira segera berdiri, dadanya naik-turun karena emosi yang tertahan. Ia menatap Adam dengan tatapan tajam, meskipun air mata mulai menggenang di matanya.
"Aku datang ke sini untuk ibuku, bukan untuk permainanmu, Mas," katanya dengan suara tegas, meskipun ada nada luka yang terdengar jelas.
Adam bangkit dari sofa dengan cepat, langkahnya mantap, dan dalam sekejap ia sudah berdiri di hadapan Mira. Sebelum wanita itu sempat melangkah pergi, Adam melingkarkan lengannya ke pinggang Mira, menariknya lebih dekat. Mira tersentak, tubuhnya menegang saat merasakan kehangatan Adam begitu dekat dengannya.
"Jangan pergi dulu," ujar Adam dengan suara rendah, tetapi nadanya tegas. "Aku belum selesai bicara."
Mira mencoba melepaskan diri, tetapi genggaman Adam di pinggangnya begitu kuat. Mata mereka bertemu, dan Mira melihat sesuatu di tatapan Adam—campuran kesombongan dan tekad yang membuatnya merasa semakin terperangkap.
"Malam ini," lanjut Adam sambil menatap Mira dengan intens, "kau harus memuaskanku. Setelah itu, aku akan pastikan ibumu mendapatkan perawatan terbaik di rumah sakit." Adam berbisik tepat di telinga Mira.
Mira membelalak, bibirnya terbuka seakan ingin membalas ucapan Adam, tetapi tidak ada kata yang keluar. Dadanya naik turun, dipenuhi oleh rasa marah dan sakit hati. Mira tidak menyangka Adam, pria yang dulu ia cintai mampu menjadikannya selayaknya wanita bayaran.
"Mas, kau nggak punya hak untuk memaksaku seperti ini," katanya dengan suara bergetar. "Aku di sini untuk ibuku, bukan untuk melayani egomu."
Adam tersenyum tipis, lalu menunduk sedikit, mendekatkan wajahnya ke Mira hingga hanya beberapa inci memisahkan mereka. "Enggak ada yang memaksamu, Mira," bisiknya lembut tetapi penuh ancaman. "Ini pilihanmu. Tapi ingat, waktu terus berjalan, dan ibumu nggak bisa menunggu selamanya."
Air mata mulai mengalir di pipi Mira. Ia mencoba menahan emosinya, tetapi bayangan ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit terus membayangi pikirannya. Ia tahu Adam memanfaatkan situasi ini untuk kepentingannya sendiri, dan ia merasa tidak berdaya untuk melawan.
"Kau benar-benar pria yang kejam, Mas," ujar Mira dengan nada rendah, penuh rasa sakit. "Aku berharap nggak pernah bertemu denganmu lagi."
Adam berhenti sejenak, menatap wajah Mira yang penuh luka. Tangannya terangkat, menyeka air mata di pipi Mira dengan gerakan lembut, tetapi tetap mengintimidasi.
“Aku memang kejam,” ucap Adam perlahan, “tapi aku juga pria yang tahu apa yang aku inginkan. Dan malam ini, aku menginginkanmu.”
Kata-kata itu membuat Mira merasa seolah jiwanya hancur. Tetapi di sudut hatinya, ia tahu bahwa ia tidak memiliki pilihan lain. Ia mengingat wajah ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit, dan rasa cinta kepada wanita yang telah membesarkannya itu membuatnya menahan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya.