Bab 2. Pilhan Sulit

1327 Kata
“Sayang, kau pulang terlambat?” Jesika muncul dari arah tangga, mengenakan lingerie hitam transparan yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Rambutnya yang masih sedikit basah menambah kesan menggoda. Adam hanya meletakkan jasnya di sofa tanpa membalas ucapan Jesika, lalu melirik sekilas ke arah Jesika, istrinya. Ia segera berjalan ke meja makan untuk mengambil segelas air. Jesika yang tidak ingin kehilangan momen mendekat ke arahnya. "Kau terlihat lelah. Mungkin aku bisa membantumu bersantai," ucapnya, sambil melingkarkan tangannya di leher Adam. Bibirnya tersenyum menambah kesan menggoda. Jesika mencoba untuk meluluhkan hati Adam setelah pertengkaran mereka tadi pagi. Walaupun sebenarnya Jesika tahu, Adam bukanlah laki-laki yang mudah diluluhkan hanya dengan kata-kata dan sentuhan. Namun, Adam dengan halus menyingkirkan tangan Jesika. Tatapannya dingin, tanpa emosi. "Nggak ada gunanya, Jes," jawabnya sambil meneguk air putih. Jesika mengerutkan kening. "Apa maksudmu?" Adam menatapnya tajam. "Hubungan ini. Apa gunanya? Kita tidur bersama, tetapi kau masih bersikeras nggak mau memiliki anak." Jesika menghela napas berat. Ia sudah mendengar keluhan ini berkali-kali, tetapi kali ini ada nada ketegasan yang berbeda dalam suara Adam. “Mas, aku sudah menjelaskan alasanku. Tubuhku adalah asetku. Aku nggak bisa mengambil resiko kehilangan bentuk tubuhku saat karier ku sedang di puncak." Lagi-lagi kata itu yang keluar dari mulut Jesika. Bagi Jesika kehadiran seorang anak bukanlah hal utama dalam sebuah pernikahan, yang terpenting adalah bagaimana karir bisa terus berjalan sampai ke puncak tertinggi. Sementara Adam begitu sangat menginginkan seorang anak untuk meneruskan usaha yang selama ini ia bangun. Adam mendengus, meletakkan gelasnya di meja dengan sedikit kasar. "Jadi, tubuhmu lebih penting daripada keluarga kita? Lebih penting daripada apa yang aku inginkan?" Jesika menatap Adam dengan kesal. "Ini bukan tentang lebih penting atau nggak, Mas. Ini tentang pilihanku. Kau tahu itu sejak awal." Adam menggeleng, menahan rasa frustrasi yang semakin menggunung. "Yang aku tahu adalah aku menikah dengan wanita yang seharusnya mau membangun keluarga bersamaku. Tapi nyatanya, kau hanya peduli pada dirimu sendiri." Bagi Jesika kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Adam seperti pisau yang menusuknya dengan cepat. Namun, Jesika berusaha untuk tetap tenang, berusaha untuk tidak terperangkap dalam emosi yang mulai masuk dalam dirinya. Jesika mencoba mendekat. “Mas, aku–” tetapi Adam segera mundur selangkah, menjaga jarak. "Aku lelah. Aku nggak ingin membahas ini lagi malam ini." “Tapi, Mas—” Adam berbalik dan berjalan menuju ruang kerja, meninggalkan Jesika yang berdiri terpaku dengan perasaan campur aduk antara marah dan bingung. Di dalam ruang kerja, Adam duduk di kursi kerjanya, Ia masih merasakan kepuasan karena berhasil membuat Mira berada dalam posisi sulit. Namun, di balik puasnya, ada sedikit kegelisahan. Di ruang kerjanya, Adam membuka sebuah laci dan mengeluarkan sebuah kotak kecil. Di dalamnya, terdapat foto-foto lama dirinya dan Mira saat mereka masih bersama. Ia menatap salah satu foto, di mana Mira tersenyum cerah di sampingnya. Ia mendesah panjang, lalu meletakkan foto itu kembali dengan kasar. “Enggak ada tempat untuk nostalgia,” gumamnya sambil membuang pikiran itu jauh-jauh. *** “Masuk,” katanya singkat tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen di tangannya. Pagi itu, Adam duduk di ruang kerjanya, tenggelam dalam tumpukan dokumen yang harus diselesaikan sebelum siang. Suara ketukan lembut di pintu membuyarkan konsentrasinya. Pintu terbuka, dan Novi, asisten pribadinya, melangkah masuk dengan raut wajah serius. “Pak Adam, ada tamu yang ingin bertemu dengan Bapak,” katanya sambil berdiri di dekat meja kerja. Adam mengerutkan keningnya, siapa yang menemuinya sepagi ini? Pikir Adam sambil berusaha mengingat apa pagi ini ia ada janji dengan seseorang. Adam mendongak, alisnya sedikit berkerut. “Tamu? Siapa? Aku nggak punya janji pagi ini.” Novi menggigit bibir, tampak sedikit ragu. “Beliau menyebutkan namanya Mira, Pak. Beliau bilang ini urusan penting dan pribadi.” Adam menghela napas, rasa penasaran mulai muncul di benaknya. "Mira? Baiklah, suruh dia masuk," jawabnya, lalu merapikan dokumen-dokumen di atas meja, bersiap menghadapi Mira yang sudah menunggu di luar. Novi mengangguk dan melangkah keluar, meninggalkan Adam. Tidak berapa lama, Mira sudah berdiri di hadapan Adam. Ia menutup pintu perlahan dan berjalan ke arah Adam. “Mira,” ucap Adam saat melihat Mira sudah berdiri di hadapannya. Adam segera berdiri dari tempat duduknya, dan segera berjalan menghampiri Mira yang masih berdiri terpaku di depan pintu. Adam, memperhatikan Mira dengan tajam. Terlihat jelas kebahagiaan di wajah Adam saat melihat kedatangan Mira, mantan istrinya. Adam yang kini sudah berdiri di belakang Mira segera menarik tangan wanita itu agar masuk ke dalam dekapannya. “Apa yang kau lakukan di sini? Apa kamu merindukan aku?” tanya Adam dengan senyum menyeringai di wajahnya. “Mas, lepaskan.” Mira berusaha mendorong tubuh Adam agar menjauh darinya. Namun, bukannya menjauh, Adam justru memeluknya dengan erat, pria itu juga membawanya duduk di meja kerja. Suasana di ruangan itu terasa begitu hening, hanya suara nafas mereka yang terdengar menggema di seluruh ruangan. Adam memberikan sentuhan-sentuhan lembut di pipi Mira, “Kamu masih terlihat begitu cantik, Mira. Dan tentunya masih sangat menggairahkan.” Adam langsung mendekatkan bibirnya, berusaha mencium bibir Mira. Namun, wanita itu segera memalingkan wajahnya dan mendorong tubuh Adam dengan keras hingga membuat Adam terhuyung ke belakang. “Aku … Aku ke sini bukan untuk itu, Mas. Aku hanya ingin meminta bantuanmu,” ucap Mira dengan suara bergetar. Kata-kata Mira seketika membuat Adam tertawa bahagia, pasalnya dengan begitu Adam bisa dengan mudah membuat Mira semakin masuk ke dalam perangkapnya. Adam seketika tertawa bahagia mendengar ucapan Mira. “Bantuan,” ucapnya. “Bukankah kamu sendiri yang bilang nggak membutuhkan bantuanku.” “Baik, apa yang bisa aku bantu untukmu?” tanya Adam sambil menatap Mira dengan tajam. Mira menunduk berusaha menyembunyikan kegugupannya. Bibirnya terasa berat untuk mengatakan tentang tujuannya kali ini. Mira tahu, jika apa yang akan ia katakan bukannya membuat Adam simpati. Namun, justru bahagia. “Ibuku mengalami kecelakaan, dan sekarang dia membutuhkan banyak biaya untuk melakukan operasi.” Suara Mira bergetar, terdengar seperti menahan air mata. Adam menatap Mira dengan sorot mata yang sulit dibaca. Ada rasa marah, kecewa, tapi juga sedikit rasa puas yang aneh, melihat Mira—wanita yang dulu ia anggap sebagai cinta sejatinya—sekarang berada di posisi yang jauh lebih lemah darinya. Ia menyilangkan tangan di depan d**a, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke depan. Suaranya terdengar dingin, namun penuh dengan nada sombong. "Baiklah. Aku bisa membantumu," ucapnya sambil mengangkat dagu sedikit, seolah menegaskan posisinya yang jauh lebih superior. Mira mendongak, menatap Adam dengan tatapan penuh harap. Tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Adam melanjutkan dengan nada yang lebih tegas. "Tapi kau tahu, nggak ada yang gratis di dunia ini. Setiap bantuan memiliki harga." Kata-kata itu bagaikan tamparan bagi Mira. Ia terdiam sejenak, berusaha mencerna maksud dari pernyataan Adam. "Apa maksudmu, Mas?" tanyanya akhirnya, suaranya penuh kehati-hatian. Adam tersenyum tipis, senyum yang lebih terasa seperti ejekan. Ia menggeser duduknya, terlihat lebih santai tetapi tetap memancarkan aura d******i. "Maksudku sederhana. Kau butuh bantuanku, dan aku punya kekuatan untuk memberikannya. Tapi aku juga punya syarat." Adam menatap Mira dengan sorot mata tajam yang penuh kendali, membuat Mira merasa semakin terpojok. Langkahnya perlahan mendekat ke arah Mira, memanfaatkan setiap detik untuk menekan wanita itu secara emosional. Mira, yang masih berdiri dengan kedua tangan menggenggam tas kecilnya erat-erat, merasa tubuhnya kaku seperti patung. Ketika jarak mereka hanya beberapa inci, Adam menunduk sedikit, membiarkan napasnya yang hangat menyentuh telinga Mira. Suaranya terdengar rendah, nyaris seperti bisikan, namun kata-katanya begitu jelas dan menggema di kepala Mira. "Kalau kau benar-benar peduli pada ibumu," bisiknya dingin. "Nanti malam temui aku di Hotel Cemara, kamar 207." Mira langsung mendongak, menatap Adam dengan ekspresi terkejut sekaligus terluka. Napasnya terasa berat, seolah-olah udara di sekitarnya mendadak menjadi racun. "Apa maksudmu, Mas?" tanyanya dengan suara bergetar, meskipun ia sebenarnya sudah menduga apa yang ingin dikatakan Adam. Adam mundur selangkah, memberikan Mira ruang untuk berpikir, tetapi tatapan matanya tetap tajam seperti pisau. Ia menyilangkan tangan di dadanya, kembali menunjukkan aura superiornya. "Aku nggak main-main, Mira," katanya datar. "Kau tahu, aku punya cukup kekuasaan untuk memastikan ibu mu mendapat perawatan terbaik di rumah sakit. Tapi itu hanya jika kau mau mengikuti apa yang aku minta."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN