CHAPTER VI | Sibling Problem

2404 Kata
[Zanna Felysia Lovatach] Di sela memakan mi rebus, aku terus memikirkan apa yang Kak Ray sampaikan tadi. Kenapa dia harus cerita ke aku? Mengapa aku? Bukan. Bukan karena aku ada rasa sama Kak Ray. Tapi karena aku takut aku nggak bisa dipercaya soal ini. Aku takut tiba-tiba keceplosan di depan Kak Gabriel. "Zan?" Kak Ray memanggil, memecahkan lamunanku. "Kenapa, Kak?" Dia terkekeh. "Ngelamunin apa?" "Aku takut nggak bisa jaga rahasianya Kak Ray," jujurku. Aku melihat dia sedikit berpikir, mungkin menyesal telah mengungkap hal itu kepadaku. "Gue percaya sama lo. Jadi, lo juga harus percaya sama diri lo." Amazing. Kata-kata Kak Ray keren. Oke, aku akan percaya sama diriku sendiri untuk bisa jaga rahasia ini. Aku tersenyum dan mengangguk. Setelah selesai makan mi rebus, Kak Ray langsung membayarnya ke Bi Ida, lalu mengantarku pulang. "Terima kasih, ya," ujar dia di perjalanan pulang. Aku menoleh. "Untuk?" "Udah mau dengerin cerita gue." "Terima kasih juga." Kini giliran dia yang bingung. "Untuk?" "Udah traktir aku mi rebus." Dia terkekeh. "Oh, oke sama-sama. Zan, kalau gue ada suatu masalah, gue boleh curhat lagi ke lo, kan?" dia bertanya. Aku berhenti, membuat dia ikut berhenti. Kami saling berhadapan. Aku menatap matanya. Dari matanya, aku tahu kalau Kak Ray mungkin punya beberapa masalah yang selama ini dia pendam. Ternyata, punya banyak sahabat bukan berarti kita bisa bebas bercerita dengan mereka. Selama ini, Kak Ray selalu menjadi penghibur bagi teman terdekatnya, tanpa ada yang mengerti bahwa ia juga butuh pencair suasana untuk dirinya sendiri. Menjadi orang yang ceria, tidak selalu menjamin bahwa orang itu selalu bahagia. Kebanyakan dari mereka, hanya menggunakan ekspresi keceriaan sebagai topeng yang kita tahu itu palsu. Aku tersenyum. "Cerita aja, jangan sungkan. Aku akan dengerin, kok." Dia mengangguk. "Lo juga kalau ada masalah cerita aja ke gue." "Iya, Kak Ray! Tenang aja." Lalu Kak Ray dan aku melanjutkan perjalanan mengantarku pulang sampai rumah. *** Sesampainya di rumah, aku melihat Kak Gabriel tengah melamun bersandar di sofa. Aku punya ide. Dengan cepat, aku menepuk pundaknya, berniat mengagetkan. "ADA KAK MEYSHA!" Dia langsung menoleh. "Mana?" "Ciee... lagi mikirin Kak Meysha, nih?!" Dia mencebik kesal. "Lo tuh ya, demen banget bikin kaget gue!" Aku terkekeh. "Biarin. Bales dendam yang tadi pagi. Sekarang impas." "Lo ke mana aja?" "Main. Memang Kak Gabriel aja yang bisa main?" Dia menggeleng. "Zan, kita cuma tinggal berdua. Kamu perempuan, adik Kakak, kalau kamu mau ke mana-mana, setidaknya izin dulu sama Kakak, biar Kakak nggak cemas." "Kan Kakak lagi keluar," jawab aku tak acuh. "Tunggu sampai Kakak pulang, emang nggak bisa?" ujar dia dengan nada sedikit tinggi, membuat aku terkejut. "Kak, Zanna selama ini bersih-bersih rumah, masak, itu semua Zanna lakuin biar Kakak ngerasa nyaman di sini. Tapi, Zanna nggak salah kan, kalau Zanna merasa capek dan bosen? Zanna juga pengen seperti Kakak, bebas mau melakukan apa pun." "Bebas? Lo bilang gue bebas selama ini? Gue selama ini jagain lo, Zan. Gue pastikan lo selalu merasa aman. Kita harusnya bersyukur Paman Rendra masih mau biayain kita sampai Kakak kuliah atau kerja. Paman Rendra nggak minta apa-apa kecuali gue jagain lo." Tanpa sadar, aku meneteskan air mata. "Terus Kakak bosen jagain aku? Aku selama ini nurut sama Kakak. Baru kali ini doang kok, aku keluar tanpa izin Kakak. Kak, tolong, aku udah besar. Aku bisa jaga diri. Toh aku keluar juga masih di sekitar Desa Tiwa." "Zan, tolong ngertiin Kakak." Aku terisak. "Aku selama ini coba untuk ngerti Kakak, aku sabar menghadapi sikap ketus Kakak. Zanna cuma merasa jenuh ngurusin rumah, melakukan sesuatu layaknya seorang ibu. Zanna cuma pengen keluar dari rumah, sebentar. Dan bisa punya banyak teman seperti Kak Gabriel." Dia membuang muka. Aku menggunakan kesempatan ini untuk kabur dari rumah. Aku nggak tahu harus ngapain. Aku juga nggak tahu apa yang sedang terjadi dengan diriku sendiri. Rasanya aku seperti sebuah bejana yang terus menampung air keruh walau sudah terlanjur penuh. Sampai akhirnya, luber dan membuat orang lain kesal. Padahal salah mereka sendiri tidak mau menghentikan derasnya air yang mengisi bejana. Aku nggak tahu harus pergi ke mana. Tapi aku teringat satu orang. Tanpa ragu, langkah kaki membawaku ke rumahnya. Aku butuh dia, seperti dia membutuhkanku beberapa waktu lalu. Aku menoleh ke belakang, Kak Gabriel tidak mengejar. Aku nggak tahu harus merasa senang atau sedih. Tak lama, aku melihat sosoknya tengah duduk di depan teras rumahnya. Aku segera menghampiri, dia berdiri dari duduknya, memmerhatikanku dengan bingung. Aku langsung berhambur masuk ke dalam pelukannya, mengabaikan raut wajah dia yang kebingungan. Dia membalas pelukanku dan aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukannya. Aku nggak bisa memungkiri bahwa aku sangat merasa nyaman berada dalam pelukannya. Dia melepas pelukan, menatap mata gue. "Lo kenapa?" Aku menggeleng. Dia menghapus air mataku. Dan menyuruhku untuk duduk di kursi depan rumahnya. "Ya udah, lo tenangin diri lo dulu. Gue ambil minum ke dalam, sebentar." Aku hanya diam. Lalu dia kembali, memberikan segelas air putih, aku menerima dan meminumnya dengan pelan. "Ikut gue, yuk!" ujarnya sambil menjulurkan tangan kanan. Aku mendongak, dengan ragu menyambut tangannya. "Ke mana?" "Ke suatu tempat yang semoga bisa membuat lo tenang." Aku hanya diam menurut. Ternyata, dia membawaku ke danau yang menjadi perbatasan antara Desa Tiwa dan Desa Gria. Dia mengajakku duduk di bangku panjang yang terbuat dari material kayu yang ada di sana. "Gue kalau lagi ada masalah pasti ke sini. Karena, pemandangan di sini bisa bikin hati menjadi lebih tenang." Dia membuka pembicaraan. Aku mengangguk setuju. "Gue pernah dengar, kalau kita punya masalah berat, kita cukup teriak sekencang-kencangnya. Katanya, nanti akan terasa lebih ringan." Aku menatapnya ragu. "Coba aja." Aku mengangguk dan berdiri, mulai menarik napas lalu berteriak. "Aaaaa...." aku berteriak berbarengan dengan air mata yang mengalir. Dia ikut berdiri, mengusap punggungku, berusaha untuk menenangkan. "Lagi, yang lebih lepas." Aku menurut. "Aaaaa...." Setelah itu, aku kembali menangis. Dia mengusap rambutku pelan. "Udah tenang?" "Terima kasih, Kak." Dia mengangguk lalu mengajakku untuk kembali duduk. "Gue punya cerita." Aku menoleh penasaran. "Apa?" "Pada zaman dahulu, hiduplah seorang putri cantik yang tidak pernah merasa sedih, dia juga memiliki kekuatan yang sangat istimewa. Tapi tiba-tiba, dia kehilangan segalanya, orang tua dan kakak tercinta. Dia bersedih, merasa tak berdaya untuk melakukan apa pun." Setelahnya Kak Ray menatapku. "Terus?" Dia tersenyum. "Lalu, datanglah seorang rakyat jelata. Ia dengan berani berusaha untuk menghibur sang putri cantik tersebut. Sang putri merasa nyaman dengan rakyat jelata ini. Tapi, ajudan di istana menentang hubungan mereka. Karena hukum di istana itu, tidak mengizinkan mereka untuk bersama." "Lalu?" "Sang putri melarikan diri dari istana bersama rakyat jelata. Mereka mencoba untuk membangun hubungan. Tapi, tanpa sepengetahuan sang putri, ajudan istana membunuh rakyat jelata tersebut. Sang putri tidak terima, akhirnya dengan kekuatan istimewa yang ia miliki, sang putri mengutuk ajudan tersebut menjadi anjing liar, menyerahkan istana kepada rakyatnya, lalu merubah dirinya menjadi sekuntum bunga mawar yang menunggu seseorang menyiramkan kebahagiaan untuk dirinya." "Itu beneran ada?" Entahlah, aku malah bertanya soal itu. Dia tertawa. "Itu cuma karangan gue aja, Zan." "Aku nggak nyangka Kak Ray bisa ngarang cerita sefantasi itu." Dia tersenyum bangga. "Bakat terpendam itu namanya, Zan." Aku terkekeh dan mengangguk. "Lagi ada masalah, Zan?" Dia bertanya dengan nada ragu. Aku mengangguk. "Kak Gabriel marah karena aku keluar dam nggak izin dulu sama dia." "Namanya seorang Kakak, dia pasti khawatir terjadi sesuatu hal sama lo. Dia marah karena sayang, karena peduli." "Tapi aku kesal, kak. Kak Gabriel masih aja menganggap aku anak kecil yang apa-apa harus bilang dulu." Kak Ray tersenyum, membuatku sedikit terpesona. "Bagi seorang kakak, mau udah sebesar apa pun adiknya, dia akan tetap menganggap adiknya sebagai anak kecil. Begitu juga dengan orang tua. Coba deh, lo berpikir lebih luas, Gabriel seprotektif ini ke lo, mungkin karena dia takut kehilangan lo, sama seperti dia kehilangan orang tuanya, orang tua kamu, orang tua kalian." Apa yang Kak Ray bilang memang ada benarnya. Aku nggak pernah berpikir sampai sejauh itu. "Maaf ya, orang tua kalian pergi gitu aja meninggalkan kalian. Mungkin lo masih kecil untuk mengerti semua yang terjadi. Tapi, nggak ada yang tahu kan, kepergian orang tua kalian meninggalkan segores rasa trauma ke kakak lo?" Aku meneteskan air mata dan mengangguk. "Zan, coba lo lebih mengerti lagi dengan kondisi Gabriel. Di depan kita, bahkan semua orang, dia terlihat baik-baik saja. Tapi, nggak ada yang tahu kan, kalau sebelum tidur dia selalu mengulang memori saat orang tua kalian pergi? Membayangkan jika lo juga pergi atau hilang? Dia akan tinggal sendiri di sini. Walaupun kami sahabatnya akan memastikan dia tidak akan sendiri, tapi bagaimana jika dia merasa ramai, namun di hatinya tetap sepi?" Aku menangis, merasa sangat bersalah dengan Kak Gabriel. "Kak Ray tahu itu dari Kak Gabriel?" Dia menggeleng. "Gue cuma menebak. Karena, sama seperti sikap dia ke lo, dia setertutup itu di depan kami." *** [Gabriel Jourdain Lovatach] Gue kaget saat Zanna pergi begitu saja dari rumah. Gue ingin mengejar, tapi tidak jadi. Gue rasa, membiarkan dia sendiri terlebih dahulu itu lebih baik. Naluri gue bilang, Zanna akan kembali dan baik-baik saja. Gue ingin bercerita soal ini ke seseorang, gue nggak bisa memendam ini sendirian. Mungkin Ray bisa jadi teman cerita gue. Walaupun tingkahnya sering bikin gue geleng-geleng kepala, tapi menurut gue, dia punya banyak solusi untuk masalah gue. Gue berjalan ke rumah Ray. Sesampainya di sana, gue melihat Zanna menangis di dalam pelukan Ray. Ada apa dengan Zanna dan Ray? Ray melihat kehadiran gue. Mulutnya menyebutkan sebuah kata. Gue diam memerhatikan. Dia menyebut danau dan menunjuk Zanna. Oke, gue mengerti. Gue mengangguk dan meninggalkan rumah Ray, sebelum Zanna menyadari. Ray sedang menenangkan Zanna, lalu gue harus cerita ke siapa? Adara pasti sedang bersama Kendra, gue nggak mau menganggu mereka. Meysha. Mungkin dia orang yang tepat. Gue berjalan menuju rumah Meysha, berharap semoga dia ada di sana dan bersedia mendengarkan cerita gue. Ternyata Meysha tengah duduk di kursi depan rumahnya sambil menulis sesuatu di buku. Gue melangkah pelan menghampiri. "Mey?" Dia mendongak, mengalihkan perhatian dari buku ke gue. "Eh Gabriel, ada apa? Bentar ya." Lalu dia masuk ke rumah sebentar dan kembali menemui gue. Mempersilahkan gue untuk duduk. "Ada apa, Riel?" "Gue butuh teman cerita, soal Zanna." Dia mengangkat alis. "Oh, ya udah cerita ke gue aja. Kenapa?" "Gue cerita di danau perbatasan aja. Bisa nggak?" Mungkin danau perbatasan yang Ray maksud. Karena tidak ada danau lagi di Desa Tiwa selain itu. Dia mengangguk. "Ayo." Gue berjalan beriringan sama dia. Sesampainya di danau, gue melihat Ray dan Zanna tengah mengobrol dengan Zanna yang menunjukkan raut wajah penasaran. Syukurlah, pasti Ray sedang mencoba mengalihkan perhatian Zanna dari rasa sedih dengan bakat terpendamnya itu. "Itu Zanna sama Ray, kan?" Meysha bertanya. Gue mengangguk. "Itu salah satu alasan kenapa gue mengajak lo untuk mendengar cerita gue di sini." "Oh, duduk di bangku itu aja, biar nggak terlalu jauh sama Zanna dan Ray," usul Meysha. Gue setuju. Lalu kami berjalan menuju bangku dan duduk di sana. "Ada masalah apa, Riel?" "Zanna keluar rumah tanpa izin ke gue, dia juga bilang bosan, jenuh atau semacamnya melakukan suatu kegiatan layaknya seorang ibu." Itu pertama kalinya gue bercerita masalah pribadi dan panjang kali lebar kepada seorang perempuan. "Menurut gue, wajar kok Zanna merasa jenuh, kadang gue juga gitu kalau terlalu sering bantu ibu di rumah. Apalagi Zanna ngerjain semuanya sendiri. Iya, kan?" Gue mengangguk. Dia tersenyum manis. "Riel, mungkin lo harus ubah cara lo jaga Zanna. Kalau menurut gue, cara lo jaga Zanna itu seperti mengekang dia. Zanna masih SMA, pasti dia juga pengin seperti teman-temannya yang lain, bisa hangout bareng, menikmati masa remaja yang nggak akan bisa dirasakan dua kali. Jangan paksa Zanna dewasa sebelum waktunya, Riel." Meysha benar. Gue selama ini melakukan cara yang salah dalam menjaga Zanna. "Maaf Riel, gue terlalu judge lo salah ya, soal lo jaga Zanna? Maaf, maksud gue...." "Lo benar," potong gue. Dia mengerjap, terlihat lucu. "Jadi menurut lo, gue harus jaga Zanna kayak gimana?" Dia berpikir sebentar. "Mungkin dengan mengizinkan dia bebas, sebebas-bebasnya pada hari sabtu atau minggu? Mungkin di dua hari itu?" "Maksudnya?" Dia menghela napas. "Gini, Riel. Lo jaga dia dengan cara lo yang lama setiap hari senin sampai jumat dan pada hari sabtu, minggu atau keduanya lo bolehin dia keluar rumah, dia boleh nggak melakukan pekerjaan selayaknya seorang ibu pada dua hari itu. Gitu. Minimal lo percaya dia bisa jaga diri dua hari dalam seminggu." Gue berpikir. Saran Meysha ada benarnya juga. Zanna butuh waktu untuk merasakan masa remajanya yang nggak bisa dia dapat dua kali seumur hidup. Gue selama ini terlalu mengekang dia, dengan alasan takut kehilangan dia. Gue mengangguk. "Terima kasih Mey, sarannya." Dia tersenyum mengangguk. "Sekarang samperin Zanna gih, sekalian minta maaf." Gue berdiri, menoleh sebentar ke Meysha dan dia mengangguk. Gue langsung berjalan menuju bangku Ray dan Zanna. Gue menoleh ke belakang, Meysha mengikuti dengan langkah lambat. Semoga Zanna tidak marah besar ke gue. Ray yang lebih dulu menyadari kedatangan gue. Beberapa detik kemudian, Zanna menoleh dan raut mukanya terlihat terkejut bercampur sedih saat menatap gue. Dia langsung bangun dan berlari memeluk gue dengan sangat erat. Gue merasakan pundak gue basah karena air matanya yang terus turun tanpa henti. Sepertinya dia sangat merasa bersalah. Sama persis seperti gue. Ray sudah banyak membantu gue. Pasti Ray yang menjadi alasan terbesar mengapa Zanna tiba-tiba seperti ini padahal kurang dari satu jam yang lalu ia marah besar ke gue. "Maafin aku, Kak Gabriel." "Gue juga minta maaf ya, Zan. Selama ini tanpa gue sadari, gue telah mengekang lo." Gue merasakan dia menggeleng. "Nggak. Kak Gabriel nggak mengekang aku. Tapi kak Gabriel sedang menjaga aku dengan maksimal. Aku salah. Maaf." "Kita berdua salah, Zan. Jadi impas, kan?" Zanna melepas pelukan. Matanya masih merah. Dia terkekeh sedih. "Dan kita berdua juga sudah minta maaf." "Jadi, apa sekarang kita sudah saling memaafkan?" "Kalau aku sih udah. Nggak tahu deh kalau...." "Ya masa gue nggak maafin adik gue satu-satunya, sih?" Kami berdua kembali berpelukan riang. Gue merasa lega banget karena masalah gue dan Zanna selesai dengan sangat cepat. Mengenai usul Meysha, itu akan gue bicarakan di rumah. "Terima kasih, Ray. Udah menenangkan adik gue," ucap gue dengan tulus. Ray tersenyum bangga dan mengangguk. Lalu, Zanna menatap Meysha. "Terima kasih juga Kak Meysha udah bantu menyadarkan Kak Gabriel." "Sama-sama. Kalian jangan berantem lagi, dong!" balas Meysha. Zanna tersenyum dan mengangguk. "Pasti." "Ya udah, gue sama Zanna pamit pulang dulu, ya. Sekali lagi terima kasih, Ray, Mey." Gue dan Ray saling tatap lalu mengangguk. "Zan, kalau kakak lo nakal lagi, bilang aja ke gue, nanti biar gue kasih pelajaran," ujar Ray sombong. Zanna terkekeh. "Siap, Kak!" Gue memutar bola mata."Memang lo berani sama gue, Ray?" Ray mendadak terlihat gugup. "Siapa bilang gue berani?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN