Annisa menghampiri meja resepsionis perusahaan itu. Dia menanyakan di mana letak ruang HRD perusahaan itu. Setelah mendapatkan arahan mengenai lokasi ruangan yang dituju, Annisa mengucapkan terima kasih dan berlalu menaiki lift menuju kantor yang dituju.
Kotak lift yang membawa Annisa kini berhenti di lantai tiga, tempat di mana ruangan HRD berada. Pagi itu Annisa masih wajib lapor untuk hari pertama magangnya. Selain itu, Annisa juga belum mengetahui di divisi apa dia ditempatkan.
Setelah melapor, Annisa diantar oleh seorang wanita yang juga merupakan staff HRD di sana. Wanita itu menyuruh Annisa dan peserta magang lainnya menunggu di ruang tunggu.
Tanpa di duga, Annisa bertemu dengan salah seorang temannya yang masih satu jurusan dengannya. Dia adalah Elisa, wanita yang digadang-gadang sebagai gadis paling cantik di kampusnya.
Sikap Annisa yang terkesan cuek dan biasa saja membuat Elisa geram. Gadis itu tak terima jika dirinya diabaikan. Maklum, Elisa yang tergolong orang kaya baru itu selalu ingin diperhatikan dan dielu-elukan.
Beruntung keduanya tak duduk bersebelahan. Lagi pandemi ya! Jaga jarak dan patuhi protokol kesehatan. Eh?
Elisa tampak gusar. Gadis itu tak bisa diam. Seperti ulat keket, bergerak seolah seperti sedang kepanasan. Pasalnya Annisa yang merupakan rivalnya magang di satu kantor yang sama dengannya.
Tak lama, seorang pria memasuki ruangan di mana para peserta magang menunggu. Orang penting yang akan menentukan di divisi mana para pemagang bekerja baru saja duduk di ujung meja besar ruangan itu.
Kepala HRD yang tadi ditemui oleh Annisa, berdiri di samping seorang pria muda yang cukup tampan di ruangan itu. Setiap orang di ruangan itu memandang takjub kepada pria itu. Pria tampan yang merupakan idaman setiap wanita yang hadir di sana.
“Ekhem... Bisa kita mulai?” ucap pria itu saat melihat para wanita di ruangan itu menatapnya dengan pandangan kagum, kecuali Annisa. Cewek es batu itu tampak biasa saja dengan pria itu.
Pria itu tersenyum saat melihat Annisa ada di ruangan itu. Sebuah ide jahil terlintas di pikirannya.
“Baiklah... Kita mulai dengan perkenalan diri dulu. Dimulai dari saya. Perkenalkan, saya adalah...”
Perkataan pria itu terjeda, seseorang mengangkat telapak tangan kanannya ke atas, menginterupsi pembicaraan.
“Maaf, Pak? Bisa sedikit dipercepat?” sela seorang gadis yang tak lain adalah Annisa.
Pria itu tersenyum. “Baiklah, Perkenalkan, saya adalah Jordan. Asisten dari pemilik perusahaan ini.”
Annisa hanya mengangguk.
“Buset, dah. Lainnya terpesona dengan ketampanan ku, ini cewek kaya ga ada ketertarikannya sama sekali. Cantik, sih. Tapi kalo gak suka sama cowok kan sama aja. Kasihan banget Arga, kayaknya bakal jomlo seumur hidup,” batin Jordan sembari menahan tawa.
“Baiklah, kamu yang tadi mengungkapkan pendapatnya, kamu bekerja di divisi sekretaris. Menjadi tim sekretaris CEO perusahaan ini.”
Annisa hanya diam. Gadis itu mencatat ke buku di hadapannya.
“Tunggu, A-apa?” pekik gadis itu.
“Tak ada bantahan. Sementara yang lainnya, Pak Eko selaku HRD di Perusahaan ini yang mengatur pembagian divisinya. Cukup sekian dari saya,” ucap Jordan. “Dan kamu, ikut saya,” lanjut pria itu lagi.
Dengan berat hati Annisa bangkit dari kursi yang sedari tadi ia duduki dan berjalan mengekor Jordan.
Annisa yang kesulitan mengimbangi langkah Jordan yang cukup lebar karena postur tubuhnya yang tinggi dan memiliki kaki lebar, membuat dirinya kesusahan. Gadis itu menggerutu dalam hati. Ingin rasanya ia menjegal kaki panjang pria itu agar sadar dan mengkondisikan langkah kakinya.
“Tunggu, Pak,” seru Annisa.
Jordan seketika menghentikan langkahnya. Pria itu berbalik ke arah Annisa yang tertinggal cukup jauh di belakangnya.
“Lelet,” sindir Jordan.
“Bukan saya yang lelet, Pak. Tapi kaki Bapak itu yang terlalu panjang, kayak galah pohon mangga. Pelan dikit, kek, udah tau itu kaki panjang. Eh, jalannya juga cepet.” Annisa mulai bar-bar.
“Bagus, belum satu jam bekerja di perusahaan ini kamu udah berani protes?” ujar Jordan sembari menyilangkan tangannya ke depan.
“Eh, bu-bukan gitu, Pak. Duh, gimana ya? Ya udah, deh. Ayo kita jalan lagi.” Annisa berjalan melewati Jordan.
“Baru aja aku tegor, eh sekarang malah bersikap sok? Di sini yang posisinya lebih tinggi itu aku apa kamu?”
Annisa menghela nafas panjang. “Ya udah, deh. Terserah Bapak aja gimana.” Annisa akhirnya pasrah.
Baru hari pertama, Annisa sudah kena protes berkali-kali. Gadis itu mulai memanyunkan bibirnya. Kesal, pasti. Tetapi bukan sepenuhnya salah Jordan, Nisa aja yang bar-bar.
“Asistennya aja kayak gitu, gimana si CEO, ya?” pikir Annisa.
Dalam hati, gadis itu merapal doa agar sang CEO tak se-menyebalkan Jordan. Namun sepertinya hal itu hanya dalam angan-angan.
Jordan yang awalnya hendak membawa Annisa menemui Arga, mendadak mengurungkan niatnya. Pria itu membiarkan Annisa ke ruang divisi sekretaris dan memperkenalkan dirinya sendiri di sana. Sementara dirinya bergegas menuju lobi perusahaan. Arga tiba-tiba mengajaknya melakukan survey lapangan.
“Rasanya kok kayak mau ketemu malaikat Izrail ya?” ujar Jordan bergidik ngeri.
Dengan langkah cepat pria itu berusaha menjangkau lobi kantor berharap dia bisa lebih dahulu sampai ke pintu keluar perusahaan, meski itu sebuah kemustahilan.
Sebuah mobil hitam terparkir di depan perusahaan itu, dan Jordan sudah hafal siapa pemilik mobil itu.
Meski demikian Jordan tetap menghampiri pria itu. seolah tanpa merasa bersalah, ia masuk ke kursi penumpang samping kemudi.
“Mau kemana kamu?” ujar Arga.
“Biasanya juga aku duduk di samping sopir, kan?” Jordan masih tak paham.
“Kamu yang nyetir.” Arga memberi perintah tak ingin mendengar penolakan.
Jordan hanya bisa menggerutu dalam hati. Pria itu menuruti kemauan Arga, menjalankan kendaraan roda empat itu ke tujuannya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, Arga menyuruh Jordan menghentikan laju mobilnya.
“Ini kan masih belum sampai di lokasi proyek?” Jordan heran dengan permintaan mendadak Arga.
“Memang bukan? Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau aku hanya ada jadwal meeting. Dan kamu yang menghadiri meeting dengan klien. Sekarang kamu berangkat aja sendiri,” ujar Arga enteng.
Jordan baru saja hendak melajukan kembali mobilnya. Namun urung karena Arga melarangnya.
“Aku menyuruhmu untuk berangkat sendiri, kan? Kenapa menghidupkan mobil lagi?”
“Maksud kamu, aku harus berangkat sendiri naik taksi?” pertanyaan itu mendapat anggukan dari Arga.
“Tapi kan di sini gak ada taksi? Masa aku harus jalan kaki?” sungut Jordan.
Arga tetap mempertahankan wajah datarnya. Pria itu seolah tak mau tahu dengan penderitaan asisten pribadinya itu yang harus memesan ojek untuk mengantarnya kembali ke kantor mengambil berkas untuk bertemu dengan klien siang itu.
Arga berpindah ke bangku kemudi mobil itu. Ia melajukan kendaraannya dengan santai. Membelah jalanan kota menuju restauran tempat mamanya menunggu untuk makan siang bersama.