Bagian 9

1304 Kata
Seharusnya Ara tak menyetujui permintaan Gladis untuk ia ikut liburan weekend ini. Ara sudah tau akhir dari liburan ini di mana Gara akan selalu sibuk dengan Gladis. Dan Gladis juga teralihkan karena keberadaan Gara yang terus menarik perhatiannya. "Cemburu?" Ara menoleh. Dan satu orang lagi yang menjadi dalang dari menyedihkannya Ara di sini. "Nggak," jawab gadis itu dengan ketus sembari berjalan menjauhi Gara dan Gladis yang sibuk dengan dunia mereka sendiri. Ray tertawa tanpa suara. Pemuda ini memilih mengikuti ke mana Ara pergi. Dan gadis itu tau jika Ray mengikutinya. "Aku ingin segera kembali ke masa depan," ungkap Ara tiba-tiba. Keduanya berjalan di bibir pantai mencoba menikmati liburan yang mereka lakukan kali ini. "Kesepakatannya adalah kamu akan kembali ke masa depan jika tugas kita sudah selesai. Kamu menyatakan perasaanmu pada Gara. Dan tugasku adalah menemanimu sekaligus memastikan kamu jujur pada pemuda itu," terang Ray di mana membuat gadis itu terlihat kurang bersemangat. "Ada apa? Apakah sekarang kamu berubah pikiran dan tak ingin menyatakan perasaanmu padanya? Bukankah kamu ingin bertemu dengannya sekali saja dan itu untuk menyatakan perasaan itu? Kamu memiliki kesempatan itu sekarang, jadi pergunakan sebaik mungkin." Ara berhenti melangkah tepat ketika gelombang laut menerpa kakinya. Rasa dingin memasuki kaki kecilnya itu. Ray ikut berhenti di sana. "Setelah aku pikir-pikir, ternyata takdir kita tetaplah sama. Tidak ada yang membedakan dengan aku jujur padanya atau tidak. Ini akan tetap menjadi cinta sepihak. Meskipun dari awal aku sudah menyadari itu, seharusnya aku tidak perlu meneruskannya kan, Ray?" Pemuda itu terdiam. Semua yang dikatakan Ara adalah benar. Gadis ini kembali melangkah, Ray mengikutinya kembali. "Semua ombak yang terbuat akan menuju ke pantai. Sama seperti takdir, dia pasti akan kembali ke tempat tujuannya. Ya, kamu benar ini tak akan merubah, tetapi setidaknya kamu memiliki kesempatan sekarang," ujar Ray. "Aku tidak akan tega membuat Gladis berpikir jika aku menyukai Gara. Gladis adalah teman yang baik bagiku selain Gara. Meskipun seperti kisah cinta segitiga, tetapi salah satu dari kami harus ada yang mengalah bukan? Dan itu adalah aku." Ara kembali berhenti melangkah. Dia mengambil sebuah cangkang kerang yang ada di atas pasir. "Ketika apa yang kamu sebut rumah, semua itu akan hilang ketika kamu mulai pindah ke rumah baru," ucap gadis ini sembari memandang cangkang kerang itu. "Aku ingin bertanya," ucap Ray. Ara menyimpan cangkang kerang itu disakunya dan mereka kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini keduanya berbalik arah hendak kembali ke tempat semula. "Di saat kita bertemu, kenapa kamu tidak datang bersama keluargamu? Aku rasa di usia itu kamu sudah memiliki keluarga, bukan?" Ara tersenyum kecil. "Aku tidak menikah," ungkap Ara langsung. "Belum. Kamu belum menikah," ralat Ray dengan benar. Semua orang tentu pasti menikah dan menemukan pasangan sejati mereka. Jodoh akan tau ke mana dia harus pulang. "Ya, aku belum menikah. Dan mungkin tidak akan menikah," jawab Ara masih dengan tawanya di sana. Ray prihatin? Tentu saja. Wanita berumur 30 tahun dan belum menikah pasti memiliki trauma dan penderitaan yang mendalam. Belum lagi kesenjangan sosial yang akan mengganggunya setiap hari. "Aku tau kamu suatu hari nanti menemukan pria yang tepat. Yang bisa membahagiakanmu dan menjadi tempatmu pulang. Meskipun itu bukan Gara, kamu tetap harus bersama takdir yang sudah digariskan untukmu," papar Ray. "Terima kasih, Ray. Aku tau itu. Kamu benar, ini adalah kesempatan yang baik untukku meskipun aku sudah tau akhir dari kisahku, Gara, dan Gladis. Dalam beberapa hari ke depan aku akan coba jujur padanya. Dan sepertinya aku membutuhkan bantuanmu lagi," ucap Ara. Ray mengangguk sembari tersenyum. Hari ini bukanlah hari liburan bersama. Gara dan Gladis yang asyik dengan dunia mereka, begitu juga dengan Ray dan Ara. Sepasang remaja yang mencoba mendekati satu sama lain. Bahkan untuk urusan pulang pun keempatnya saling berpasangan. Gara yang mengantar Gladis pulang, sedangkan Ray menemani Ara saat itu. "Sampai sini saja, Ray," ucap Ara yang mencegah Ray ikut masuk ke g**g pemukiman rumahnya. Pemuda itu tentu mengernyit bingung. Ara tak ingin Ray bertemu lagi dengan ibunya karena Ara tau jika sang ibu akan kembali membicarakan Ray nanti. Dan itu tentu mengganggu gadis ini. "Baiklah. Hati-hati," jawab Ray. Ara mengangguk. Ray berbalik dan mulai berjalan pergi. Ara masih memperhatikan pemuda itu untuk memastikan Ray benar-benar pergi. Setelahnya, Ara pun mulai masuk ke g**g yang mengarah ke rumahnya. Sang ibu sudah menyambut gadis ini di depan rumahnya alias warung sederhana milik sang ibu. Beberapa pembeli ada di sana. Ara mencium punggung ibunya ketika sampai di rumah. "Kamu sudah makan?" tanya wanita paruh baya itu dengan penuh perhatian. Ara mengangguk sembari menampilkan senyum terbaiknya. "Ke mana Gara dan Ray? Katamu kalian pergi bersama, bukan?" Bahkan Ara tak membawa Ray atau Gara pun sang ibu menanyakan keduanya. "Mereka sudah pulang, Bu," jelas Ara yang diangguki oleh sang ibu. "Ya sudah. Kamu masuk, ganti baju, terus tidur," perintah wanita ini. Ara mengangguk paham. Gadis itu pun berjalan masuk ke dalam rumahnya. Dia mengikuti perintah sang ibu untuk berganti baju dan istirahat. Saat Ara melepaskan sweater miliknya, dia dikejutkan oleh suara benda jatuh yang menggelinding dan tepat berhenti di kakinya. Ara mengambil benda yang merupakan cangkang kerang yang dia ambil di pantai tadi. Gadis itu menyimpannya di atas meja belajar miliknya dan segera mengganti pakaiannya. Cangkang itu bisa ia gunakan untuk sebagai kenangan. Arah berjalan ke tempat tidur. Benar kata sang ibu jika ia butuh istirahat saat ini. Tak butuh waktu lama bagi gadis ini untuk terjun ke dunia mimpi. Dunia yang penuh dengan hayalan akan tetapi sungguh menyenangkan jika ditinggali. Ray sendiri tengah kembali ke rumahnya. Rumah yang berbeda dari kebanyakan rumah lainnya. Rumah ini tampak bercahaya dengan tembok berwarna putih bersih. Ini bukanlah rumah sebenarnya, ini hanyalah tempat yang dijadikan sebagai bernaung bagi makhluk seperti pemuda ini. Ray mulai menjalankan aktivitasnya seperti biasa ketika selesai menjaga Ara di dunia. Pemuda itu menuliskan apa saja yang ia lihat dan lakukan hari ini. Ketika membuat laporan itu, seorang pemuda yang menjadi penghuni tempat ini pun duduk di samping Ray. Tempat ini seluruhnya dihuni oleh laki-laki. Tak ada satu pun wanita yang boleh masuk. "Bagaimana harimu?" tanya pemuda yang baru datang dan belum kita ketahui namanya itu. Ray tak menoleh. Tangannya masih lincah di atas sebuah lembaran seperti kertas. "Seperti biasa. Hari ini kami ke pantai," jawab Ray kala itu. "Bagaimana denganmu?" Pemuda yang kita anggap sebagai teman dari Ray itu tampak mengembuskan napas beratnya. "Orang tua itu tidak mau berbaikan dengan anaknya," jelas pemuda ini. Ray mengernyit. Dia mengingat jika temannya memiliki tugas untuk membuat hubungan ayah dan anak kembali erat. Sayangnya teman dari Ray itu tampak sedikit kesulitan karena keegoisan si ayah. "Mungkin kau harus memakai metode lain," tutur Ray. "Ya, aku memikirkan itu. Aku hanya ingin si ayah tau jika di masa depan nanti dia pasti akan kecewa pada dirinya sendiri karena tak berbaikan dengan anaknya." Ada beberapa kasus di mana seseorang bisa mengubah takdir mereka. Akan tetapi, untuk Ara sendiri, Ray tak bisa mengubah takdir itu. Keadaan Gara akan tetap sama di mana dia akan tiada dari dunia ini ketika berumur 25 tahun. "Oh iya, bagaimana dengan gadis itu? Apakah misimu belum selesai?" tanya pemuda itu balik. Ray telah menyelesaikan laporannya. "Belum," jawab Ray kemudian. "Padahal misimu menurutku mudah. Lagi pula kau membawanya dari masa depan dan dia tau identitasmu. Kenapa ini menjadi sebuah pekerjaan yang sulit?" Temannya itu benar. Tetapi, sekali lagi Ray tak bisa memaksa Ara. Gadis itu penuh sekali dengan sebuah pertimbangan-pertimbangan. "Kami hanya butuh waktu yang tepat. Dia butuh waktu untuk menyatakan perasaannya." "Kisah cinta anak muda memang cukup rumit. Tapi, kisah orang dewasa pun juga rumit. Manusia lebih tepatnya. Ego pada diri mereka benar-benar tinggi." Ray tersenyum. "Maka tugas kita adalah membuat ego itu berkurang," sahut Ray. Kemudian Ray menepuk pundak temannya itu pelan. "Aku pergi dulu. Semoga permasalahanmu cepat terselesaikan," ucapnya yang mana kemudian pergi menjauh. Teman dari Ray itu tampak mengembuskan napas beratnya lagi. "Bahkan mengurangi ego mereka pun benar-benar membuatku pusing," gumam pemuda itu pada dirinya sendiri. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN