Part 7

1185 Kata
         Akira meletakkan gagang telpon kembali ketempatnya sebelum menoleh saat menengar suara bedebum keras kearah pintu. "Apa?"     Akira setengah menjerit karna  terkejut melihat api yang membara disepasang mata tajam itu, melangkah lebar sebelum menariknya dengan cukup kuat. "Apa yang-"     Akira memekik saat punggungnya menyentuh dinding sebelum kemudian merasakan lengan kokoh itu mengurung tubuhnya, memerangkapnya dalam tatapan dan aroma memabukkannya . Ada yang berbeda dari pria ini, hingga Akira nyaris sialan tak berkutik. "Apa yang kau lakukan?"     Rahang kokoh itu mengeras, bergerak pelan menunduk dan berbisik pelan ditelinganya. "Nathan!"     Akira menjerit saat pria itu tidak meresponnya, Nathan memejamkan matanya sejenak mencegah agar ia kehilangan kendali. "Aku tertarik padamu, menginkanmu. Menurutmu apa yang akan aku lakukan?"    Ucapan penuh penekanan itu membuat Akira menelan salivanya susah payah. Semua yang ada pada pria ini begitu menggoda,  mendebarkan Akira yang sialnya masih saja teringat ucapan Liam terus menghantuinya. Nathan bisa saja memanfaatkannya untuk Nicholas, lagi pula.. Nathan tidak punya uang dan posisi yang menguntungkan untuk Akira. "Jangan lakukan apapun."     Nathan menyeringai kecil, menyusuri rahang dan leher jenjang menggoda Akira dengan pucuk hidungnya. "Apa karna Liam?" "Kau sudah tahu, bukan?"    Sahut Akira merutuk dalam hati menyadari degup jantungnya yang menggila hingga ia nyaris memuntahkannya. Brengsek! "Kau tertarik padaku, jangan mengingkarinya." "Tidak!"     Akira membantah cepat membuat Nathan terkekeh pelan, gadis ini sedang bermain rupanya. "Apa karna aku tidak seperti para priamu?"     Akira menajamkan tatapannya, berusaha menahan dirinya agar tidak hilang kendali. "Ya, aku tidak berkencan dengan pria sepertimu."    Nathan mengerjap menatap Akira dengan wajah tanpa dosanya, jika Akira akan bermain maka ia akan dengan senang hati bergabung. "Apa aku sudah mengatakan kita akan bekencan?" "Kau!"    Akira berteriak kesal membuat Nathan tersenyum kecil. "Aku tertarik padamu dan kau juga tertarik padaku." "Kesimpulan b******k dari mana itu?"     Nathan menaikkan alisnya, menarik tubuhnya agar memberi Akira sedikit ruang. "Kau tidak bisa menolak sentuhanku, nafasmu memberat, kaki dan jemarimu bergetar dan matamu tidak bisa menatapku terlalu lama. Kau gugup, menginginkanku." "Aku tidak!"    Akira berteriak mendengar Nathan yang tersenyum penuh arti dihadapannya, ini gila. "Kita buat ini lebih mudah, kau dan aku jelas tahu apa yang kita inginkan."    Akira memejamkan matanya sejenak sebelum mendongak menatap Nathan yang jauh lebih tenang dan pandai bermain kata dari pada beberapa saat yang lalu. "Ini tidak akan menguntungkan." "Tidak, ini sangat menguntungkan. Kau dan aku-" "Kau terlalu percaya diri."     Akira mendorong bahu Nathan, melangkah kearah meja Liam menutup sebuah dokumen yang terbuka diatas sana. Akira tentu saja harus berhati hati. "Kau juga sangat percaya diri."      Akira menoleh menatap Nathan dengan bingung, sejak pertama kali ia bertemu Nathan pria ini selalu mampu membuatnya kehabisan kata kata. "Terserah, keluar dari sini."     Nathan mengangguk pelan, sepertinya ia harus kembali kerencana awal dan tetap tenang. "Baiklah, aku akan menelponmu nanti."     Akira membelalakkan matanya, dengan cepat merebut ponsel yang terulur dari pria itu. "Bagai-" "Berikutnya, kau akan dalam masalah  jika masih saja tidak berhati hati."     Ujar Nathan sebelum berbalik meninggalkan Akira yang mengumpat penuh kekesalan disana. Jadi.. Ini benar karna uang? Baiklah, Nathan akan membuat Akira menekan dirinya, serendah rendahnya hingga bertekuk lutut dibawah kakinya. Lalu menjadi miliknya. **            Akira mengumpat sepanjang Jalan, sekali kali memukul kemudi mobil Liam dengan kesal. Akira kesal. Sangat kesal harus terjebak dalam lingkaran kematian tak kasat mata yang terus menariknya dan terus berputar putar. Akira melirik jam dilengannya sekilas sebelum kembali mengarahkan pandangannya kedepan. Nathan. Segala yang ada pada pria itu menggerayangi kepalanya. Tatapannya. Hembusan nadasnya. Aroma memabukkannya. Dan sentuhannya. Ini gila! Akira selalu berusaha keras agar ia tidak terlibat terlalu jauh dengan pria manapun , namun Nathan melakukannya hanya dalam satu sentuhan. Sialnya mereka berada dalam situasi yang sangat buruk. Nathan orang kepercayaan Nicholas, sementara Akira bersama Liam. Semua karna Mike sialan si k*****t itu!     Akira menghembuskan nafasnya pelan, berusaha mengusir pikiran pikiran menguras emosi dari kepalanya. Yah, mungkin Akira bisa menekan sedikit egonya dan saling berbagi sentuhan dengan Nathan. Hanya sebatas saling memuaskan bukan? Oh, b******k!      Akira memelankan mobil Liam sebelum memutar kemudi memasuki pelataran Mansion megah yang akan selalu menjadi nerakanya. Gaby yang seperti biasa selalu menunggunya diwaktu seperti ini bergegas membuka pintu mobil. "Selamat Malam, Nona!"     Akira tersenyum kecil, meraih ponsel, tablet dan tasnya sebelum mengulurkan kaki jenjangnya keluar dari mobil. "Siapa saja?"     Tanya Akira terlihat resah saat matanya menangkap tiga mobil mewah lain dipelataran. "Hanya para sepupu, para orang Tua sedang ke Moskow menjenguk Nona Bell yang baru saha melahirkan." "Kakek?" "Tuan Leo sudah menunggu Nona."     Akira mengangguk lalu tersenyum tipis pada gadis manis itu, menarik nafas dalam dalam sebelum melangkah memasuki Mansion. Tawa yang saling bersahutan itu menggema menyambunya, saling melempar canda tawa yang seketika menguap saat melihat Akira. Ada empat orang gadis disana, dua orang pria tampan dan tidak ada kakeknya. "Akira!" "Akira?"     Akira menyunggingkan senyum tipisnya, membalas pelukan singkat Carter Kakak sepupunya yang segera menyambutnya. "Aku benar benar merindukanmu." "Kapan kau pulang?"   Tanya Akira menatap pria berambut pirang dihadapannya. "Kemarin sore, kenapa aku baru tahu jika kau hanya pulang dua minggu sekali? Apa ada sesuatu?"    Akira kembali menyunggingkan senyumannya, meskipun senyuman dan tatapan sinis dari tiga orang gadis sebayanya diujung meja masih saja menghujamnya. "Tidak ada, aku hanya sibuk." "Kau yakin?"     Suara lembut itu mengalun begitu tajam ditelinga Akira, Laila. Gadis berambut merah gelap yang selalu menjunjung tinggi nilai tata krama namun bermulut tajam. Tata krama b******k! Mulutnya bahkan lebuh busuk dari sampah manapun. "Aku tidak tahu menggoda pria akan membuatmu sangat sibuk?"      Gadis disebrangnya ikut bersuara, Regina. "Aku dengar kau jadi simpanan bosmu."     "Benarkah?"     Gina menimpali ucapan Teresa adik Laila dengan dramatis seperti biasa. Sedangkan adik Carter, Camila tetap tidak bersuara seperti biasa. "Apa yang sedang kalian bicarakan?" "Carter." "Ada apa?"    Elusan lembut dikepalanya membuat Akira kembali mendongak dan tersenyum tipis. "Aku tidak apa apa." "Jangan seperti ini, Akira." "Aku tidak." "Sebaiknya kau bergegas, Kakek akan segera turun."     Celetuk suara berat pria yang sejak tadi mendengarkan, wajahnya terlihat datar namun dimata coklatnnya terdapat percikan yang membuat Akira diam diam tersenyum. Dean memang tidak banyak bicara tapi pria itu salah satu sekutunya di medan perang ini. "Baiklah, aku akan keatas."     Ujar Akira bergegas berbalik menaiki tangga, tepat diundakan terakhir suara Laila kembali mengalun dan menghunus tepat dijantungnya. "Tidak ada yang akan bertahan disisimu Akira." "Laila!" "Apa?" "Kau sudah keterlaluan, siapa yang mengajarimu bicara seperti itu?" "Carter kau tidak perlu ikut campur!" "Laila." Tegur Carter, menajamkan tatapannya saat Regina meletakkan gelasnya dengan kasar sebelum beranjak. Dan suasana semakin memburuk. "Selalu saja seperti ini, Akira selalu saja membawa masalah."    "Memang seharusnya dia tidak pernah pulang." "Hentikan!"     Dean berteriak marah,  begitu terusik. Semua akhirnya memilih diam, diantara bersepupu Dean lah yang paling tenang dan selalu mampu mengendalikan emosinya. Tapi tidak saat seseorang mengganggunya sesuatu yang penting baginya "Kalau kalian ingin melihat Kakek mati silahkan lanjutkan." Akira menggeraskan rahangnya, menggenggam tablet ditangannya hingga jemarinya memutih. Akira mungkin sudah terbiasa. Tapi rasanya masih saja sama. Sama sama menyesakkan.    Akira menarik nafasnya sebelum melangkah dengan kaki gemetar menuju kamarnya, membanting pintu dengan kuat sebelum menjatuhkan tubuhnya diatas tepat tidurnya. Akira tidak menangis tapi tangannya yang memutih karna mencengkram bentalnya dengan kuat tampak bergetar. Brengsek!    Akira merasa akan gila sebentar lagi, sepertinya tawaran itu benar benar harus ia perhitingkan. Akira butuh minuman Butuh mabuk. Butuh pelepasan. Oh, sialan Nathan! **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN