Sudah hampir satu jam Ferez berada di pinggiran sungai Thames, entah sudah ke berapa kalinya dia menengok ke belakang menantikan kehadiran Leary. Sayangnya orang yang Ferez nantikan tidak menunjukan tanda-tanda dia akan datang, padahal Ferez ingin meneraktir Leary makanan lagi untuk merayakan kemenangannya.
Cuaca kian dingin, langit yang gelap di hiasi gerimis membuat Ferez harus pergi beranjak dari tempatnya.
Ferez pergi dari tempat itu menaiki taksi menuju wilayah Kensington untuk menemui teman satu-satunya yang sudah cukup lama tidak dia temui.
Kedatangan Ferez di sambut oleh Noah Brown, seoarang anak laki-laki yang seusia Ferez.
Mereka berdua sudah berteman sejak lama karena hubungan bisnis antara Chaning dan orang tua Noah. Koneksi yang di miliki keluarga Brown di jadikan sebuah jalan untuk Chaning memasukan beberapa barang seludupan untuk di jual kepada beberapa bangsawan melalui keluarg Brown. Tidak jarang Chaning juga menjadi penyokong kesuksesan bisnis keluarga Brown karena Chaning memiliki banyak uang dan kekuasaan yang bisa menyingkirkan lawan-lawan bisnis keluarga Brown.
Hubungan bisnis yang saling menguntungkan di antara keluarga Benvolio dan keluarga Brown berjalan cukup lama, mereka tidak lagi hanya terikat bisnis semata, namun ada loyalitas dan rasa kekeluargaan yang begitu kuat.
“Kau sudah menemukan sekolah baru?” Noah melempar handuk kecil agar Ferez mengeringkan rambutnya.
Ferez mengangguk tanpa kata.
“Di mana? Aku juga akan pindah sekolah lagi.”
Kepala Ferez terangkat, anak itu menatap Noah penuh tanya. Mengapa Noah akan pindah sekolah juga?
Noah mendekat dan duduk bersila di depan Ferez, anak itu menatap serius Ferez. “Saat aku bermain bola, aku tidak sengaja memecahkan kaca jendela. Orang tuaku dipanggil ke sekolah, dan pihak sekolah memutuskan untuk mengeluarkanku.”
Ferez ikut bersedekap, kening anak itu tampak mengerut heran karena apa yang di lakukan Noah terlalu biasa sampai harus keluar sekolah. “Hanya memecahkan kaca jendela?”
Noah menggeleng, “Aku memecahkan kaca jendela ruangan lab, bola itu menggelinding merusak beberapa bahan kimia di meja, lalu terjadi kebakaran di satu lab.”
“Bodoh,” decih Ferez dengan seringai gelinya.
“Kau sekolah di mana? Aku juga harus pindah.”
Ferez menggeleng tidak mau memberitahu, namun Noah terus memaksa dan mendesaknya untuk memberitahu.
Ini bukan untuk pertama kalinya Noah dan Ferez berpindah-pindah sekolah, selalu ada saja masalah yang terjadi hingga mereka berpindah-pindah sekolah. Bedanya, Ferez di keluarkan karena sering berkelahi, sementara Noah karena membuat ulah konyol.
***
Darrel duduk di kursi memperhatikan Petri yang kini terlihat sedikit lebih tenang usai mendapatkan penanganan dokter. Dokter sempat mengatakan jika Petri terkenan gejala tifus, dia membutuhkan istirahat total selama dua samapi tiga hari.
Darrel, pria itu diam termenung dalam keheningan memperhatikan puteranya, namun pikirannya melayang teringat percakapan singkatnya dengan Leary beberapa saat yang lalu.
Sikap Leary yang polos sekaligus menyedihkan mulai Darrel ketahui setelah hampir sepuluh hari lamanya anak itu tinggal di rumahnya.
Darrel sama sekali tidak peduli dengan Leary, bila harus jujur dia juga merasa lebih baik tidak tidak saling berbicara dan melihat keberadaan Leary di sekitarnya. Satu-satunya alasan yang membuat Darrel mau menerima Leary di rumah ini adalah karena Olivia menyayanginya.
Namun, sejak mendengar perkataan Burka dan melakukan percakapan singkat beberapa saat yang lalu. Kini Darrel terbayang-bayang sorot mata Leary yang di penuhi banyak luka, kecewa dan rasa takut.
Cara anak itu berbicara dan gesture tubuhnya yang ragu-ragu seakan tengah mempertanyakan kepada semua orang apakah dia berharga atau tidak.
Sikap Leary yang terlihat lebih dewasa tampakanya tercipta karena keadaan yang memaksa dia untuk harus selalu kuat meski menderita.
Darrel menarik napasnya dalam-dalam, mencoba mengenyahkan pikirannya dari sosok Leary yang mengganggunya. Darrel tidak ingin menyimpan sedikitpun rasa simpati dan empati di hatinya meski dia tahu ini tidak adil untuk dunia Leary, darah dagingnya sendiri.
***
“Kemana Ferez?” Liebert mengedarkan pandangannya mencari-cari Ferez yang tidak terlihat sejak dia datang ke rumah Chaning.
“Aku juga tidak tahu.”
Liebert mengeluarkan sebuah kotak kaleng dari saku jassnya dan meletakannya di atas meja. Liebert membuka kotak kaleng itu dan menunjukan dua batang rokok. “Cobalah, aku memakai tembakau dari wilayah asia tenggara.”
Chaning menghentikan aktifitasnya sejenak dari anak anjing husky Siberian hasil persilangan dengan serigala yang baru dia dapatkan, Chaning sengaja membeli anjing itu untuk di jadikan hadiah karena hari ini Ferez berhasil menjadi pemenang dalam memanah.
Chaning mengambil salah satu rokok dan pemantik yang di berikan oleh Liebert yang ikut menikmati rokok yang telah dia bawa.
Satu bulan terakhir ini Chaning dan Liebert sedang merancang bisnis baru melalui rokok untuk bisa menguasai pasar di tengah-tengah kerasnya persaingan bisnis narkoba dan perebutan wilayah kekuasaan dengan beberapa gangster.
“Kau ingin liburan?” tanya Chaning.
Liebert menghisap rokoknya dalam-dalam dan membuangnya, pria itu menggeleng tidak mau. “Empat bulan berkeliling Asia sudah seperti liburan untukku.”
Suara langkah dari arah berlawanan terdengar, Liebert melihat kedatangan Ferez melalui sudut matanya. Pandangan mereka sempat bertemu, namun Ferez memalingkan wajahnya dan berpura-pura tidak melihat, anak itu bahkan langsung pergi ke tangga menuju kamarnya.
“Kau mau ke mana? Ayah punya hadiah untukmu.”
“Aku bukan anak kecil lagi,” jawab Ferez tidak tertarik.
“Kau tidak mau menyapaku juga? Sudah empat bulan kita tidak bertemu,” kini giliran Liebert yang bersuara.
Ferez melambaikan tangannya memberi isyarat jika dia tidak tertarik juga untuk berbicara dengan Leabert.
“Lihatlah dulu hadiah yang di bawakan Leabert. Di membawakan anak serigala untukmu” Chaning kembali bersuara untuk memancing ketertarikan Ferez.
Kali ini Ferez berhenti melangkah, anak itu berbalik dan menunjukan sepercik ketertarikan, dengan cepat Ferez kembali turun dari tangga untuk melihat anak serigala yang kini tengah meringkuk di dalam sebuah kandang kawat kecil.
Ada senyuman senang yang terlukis di bibir Ferez begitu melihat anak serigala yang yang di berikan oleh Leabert.
“Terima kasih Leabert,” ungkap Ferez terdengar senang.
Leabert tertawa pelan melihat binar di mata Ferez yang jarang dia tunjukan. Meski Ferez dingin dan bersikap lebih dewasa, namun tidak bisa di pungkiri bahwa dia tetaplah anak kecil.
“Kali ini kau bisa dengan bebas membawanya keluar.”
Ferez mengangguk dengan senyuman. Sebelumnya, Ferez juga sempat mendapatkan hadiah dari Chaning berupa anak macan, namun anak macan itu harus ditahan ketika Ferez lengah dan membuat orang melaporkannya karena memiliki satwa dilindungi.
***
Sore yang cerah telah berlalu, kini berganti malam yang dingin dan sepi.
Leary kembali duduk di sisi ranjangnya sambil memperhatikan potret wajah Olivia saat bersamanya. Gumpalan rasa rindu yang menyiksa semakin membesar di hati Leary, rasa sedih harus Leary terima karena kerinduan itu.
Leary ingin pulang dan tinggal di rumah lamanya, dia ingin di sana meski harus tinggal sendiri daripada harus berada di rumah indah dan banyak orang, namun keberadaannya di perlakukan seperti orang asing.
Rasa sedih dan sesak membuat Leary diam-diam menangis dalam kesendirian, bayang-bayangan perkataan menyakitkan, tatapan kebencian yang mengasingkan keberadaannya dan tamparan Petri datang menyerang pikiran Leary dan mendesaknya untuk menangis.
Leary tidak ingin mengeluh dan merengek meski hatinya begitu sakit. Namun di bandingkan dengan sakit hati, Leary lebih takut di tinggalkan seperti apayang sudah di lakukan bibi Willis kepada dirinya.
Leary takut, jika keluarga McCwin membuang dan meninggalkannya, kemana lagi nantinya Leary akan singgah?.
Beberapa kali Leary mengusap air matanya begitu mendengar Burka memanggilnya dari luar. Leary menyembunyikan barang-barang ibunya di kopernya lagi, anak itu segera keluar menemui Burka yang kini mengajaknya pergi ke perpustakaan.
Burka tahu Leary telah menangis, namun Burka tidak memiliki kata-kata penghiburan untuk Leary karena Burka tidak tahu kapan Darrel dan Petri akan membuka hatinya untuk Leary. Satu-satunya yang menjadi harapan Burka hanyalah Mirels McCwin, Burka sangat menantikan Mirels menerima suratnya dan segera datang.
Burka sangat yakin jika Mirels akan sangat menyayangi Leary.
Membawa Leary ke perpustakaan nampaknya sedikit membuat Leary tenang, anak itu mengenyahkan kesedihannya dengan duduk di lantai, membuka beberapa buku-buku berwarna yang cantik, sementara Burka menyingkirkan banyak debu di rak.
Sudah cukup lama Leary duduk, anak itu memutuskan mendekati meja dan tanpa sengaja melihat buku-buku juga alat tulis milik Petri masih berada di atas meja.
“Burka,” panggil Leary.
“Ya, Nona.” Burka muncul di balik rak.
Leary menunjuk. “Alat tulis milik tuan Petri ada di sini.”
Burka terdiam beberapa saat, tidak berapa lama Burka menyunggingkan senyuman lebarnya. “Nona, malam ini saya harus pergi ke rumah karena keluarga saya menunggu. Bagaimana jika Anda mengantarkan buku dan alat tulis milik tuan Petri ke kamarnya?”
Leary terdiam dalam kebingungan. “Aku sangat ingin, namun bagaimana jika nanti tuan Petri marah? Aku tidak ingin berbuat lancang.”
“Nona” Burka langsung membungkuk dan mengusap bahu Leary agar gadis kecil menurunkan ketegangannya. “Nona, saya sangat yakin jika tuan Petri tidak akan marah. Ini kesempatan untuk Anda agar bisa memperbaiki hubungan Anda dengan tuan Petri.”
“Tapi, tuan Petri membenciku.”
“Tuan Petri hanya belum mengenal Anda dengan baik. Percayalah.”
Leary mengangguk ragu menyetujui perkataan Burka, dia sendiri sangat ingin tahu kondisi Petri sekarang seperti apa.
Dengan segenap keberanian yang terkumpul akhirnya Leary memberanikan diri untuk pergi menuju kamar Petri. Sempat beberapa kali Leary melihat ke belakang dan sekitar untuk memastikan tidak ada yang melihat keberadaannya, apalagi harus berpas-pasan dengan Ellis.
Beberapa ruangan Leary lewati akhirnya kini anak itu berdiri di depan pintu kamar Petri. Tangan mungil Leary terangat, Leary mengetuk pintu. “Tuan, saya membawa alat tulis Anda yang tertinggal.”
Tidak ada jawaban apapun.
Sekali lagi Leary mengetuk pintu, namun masih tidak ada jawaban juga.
Leary sempat diam di depan pintu terlihat bimbang dengan apa yang harus dia lakukan sekarang. Beberapa pertimbangan tengah di pikirkan anak itu sampai akhirnya dia memutuskan untuk membuka pintu kamar Petri dengan hati-hati.
Begitu daun pintu terbuka, Leary di mendapati Petri yang kini tengah terbaring di ranjangnya tengah tengah tertidur.
Leary mendekat dan dengan hati-hati anak itu meletakan alat tulis di atas meja belajar Petri.
Suara racauan yang lemah terdengar di atas ranjang, Petri tertidur dalam kegelisahan dan beringat dingin meminta minum, demam yang di deritnya sejak malam kemarin masih belum membaik.
Tanpa pikir panjang Leary langsung mengambilkan gelas minum yang tersedia di atas meja, anak itu bersimpuh di lantai dan mengguncang lengan Petri. “Tuan, bangunlah, ini minuman Anda.”
Mata Petri setengah terbuka, bibirnya yang pucat menggigil dan meracau tidak jelas, samar dia melihat sosok Leary yang berada di sampingnya tengah mengguncang Petri agar bangun.
Rasa sakit dan pusing hingga menggigil terasa menyiksa Petri dan membuat dia tidak memiliki kekuatan berbicara apalagi duduk.
Bayangan Leary yang samar berada di depan mata hilang secara perlahan karena kini anak itu berlari pergi keluar kamar Petri.
Malam yang sudah larut mempermudah Leary bepergian karena kebanyakan orang-orang yang bekerja sudah pergi beristirahat dan sebagian dari mereka pergi keluar rumah untuk menikmati waktu istirahat mereka.
Leary menyelinap pergi ke dapur mengambil sendok dan sebaskom air hangat dari termos juga kain.
Leary bertindak tidak sembarangan, hal seperti ini sudah sering terjadi padanya ketika ibunya terserang demam.
Kaki Leary bergerak cepat membawa baskom berisi air, tampak terlihat jelas kekhawatiran di mata anak itu karena demam Petri yang tidak membaik dan semua orang sibuk dengan diri mereka masing-masing.
Leary kembali dengan cepat, dengan kesulitan anak itu memeras air di dalam baskom dan meletakannya di dahi Petri.
Suara erangan Petri terdengar lebih jelas, anak itu bergerak gelisah kembali membuka matanya hanya untuk melihat siapa yang datang. Bibir Petri yang pucat gemetar, tenggorokannya semakin kering membuat dia sangat lemas.
Leary mengambil air dalam sendok dan menyuapi Petri sedikit demi sedikit.
Keringnya mulut Petri erasa sedikit basah karena suapan Leary.
Petri berkedip begitu lemah, melihat samar bayangan Leary yang bersimpuh di lantai dan terus menyuapinya minum hingga mengganti air kompresan yang mulai dingin dan air minum dalam gelas kosong.
Sesak..
Itulah yang Petri rasakan sekarang, anak itu sadar siapa yang mengurusnya sekarang. Dia adalah Leary, anak yang Petri benci, anak yang Petri hindari dan anak yang sudah beberapa kali di perlakukan dengan buruk olehnya.
Anak itu tidak beranjak pergi meski waktu sudah larut, dia tidak berhenti memeriksa suhu tubuh Petri untuk memastikan bahwa Petri baik-baik saja.
Di jam dua malam Petri terbangun dan demamnya sudah turun, Petri terduduk dari tidurnya, melihat Leary yang kini masih duduk bersimpuh di lantai terlihat ketiduran.
“Bangunlah,” suara serak Petri yang terdengar keras membuat Leary langsung terbangun.
Leary bergeser seketika menjauh dari ranjang Petri, anak itu menatap waspada dan takut. Leary takut Petri akan memukulnya karena sudah lancang tertidur bersandar pada ranjangnya.
Pandangan mereka bertemu, wajah Leary langsung pucat ketakutan dan tangannya gemetar meremas gaun yang dia kenakan.
Pupil mata Petri melebar, hatinya tertohok melihat ketakutan yang begitu besar di mata anak itu terhadap dirinya.
“Anu, saya-saya mengantarkan alat tulis Anda yang tertinggal di perpustakaan dan tidak sengaja melihat Anda sakit. Saya-saya,” Leary tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena napas yang tersenggal. “Saya tidak bermaksud lancang, saya akan membereskan semuanya.”
Dengan tertatih dan kaki gemetar kesemutan, Leary bangkit mengambil baskom. “Saya permisi,” pamit Leary bergegas pergi dengan langkah terseok-seok hingga akhirnya tubuh kecilnya itu tersungkur di lantai dan membuat air di dalam baskom tumpah.
Petri turun dari ranjangnya, namun Leary segera bangkit dan membungkuk. “Saya akan membereskannya, jangan pukul saya,” lirih Leary penuh dengan permohonan belas kasihan.
Petri yang hendak membantu dibuat membatu di tempatnya, anak itu mengepalkan tangannya dengan begitu kuat. perkataan Leary menohok hati terdalamnya. “Tinggalkan saja itu, akan ada pelayan yang membereskan.”
Perlahan Leary mengangkat wajahanya dan memberanikan diri untuk menatap mata Petri untuk memastikan kebenaran bahwa Petri tidak marah kepadanya. “Terima kasih,” kaki Leary bergerak cepat memutar dan berlari pergi keluar dari kamar Petri yang masih mematung di tempatnya.
“Seharusnya aku yang berterima kasih dan meminta maaf,” lirih Petri terdengar di penuhi penyesalan.
To Be Continued..