Gelora Terlarang
Brak!
Pintu kamar terbuka keras ketika Arrash menendangnya dengan seluruh amarah yang tak bisa ia kendalikan lagi.
Sofie dan Andreas, yang baru saja terhanyut dalam gelora terlarang, sontak terlonjak kaget. Selimut yang menutupi tubuh mereka tersingkap, memperlihatkan pengkhianatan yang tak terbantahkan.
Mata Arrash memerah, melotot lurus ke arah Sofie, istrinya sendiri.
Alih-alih merasa bersalah, Sofie justru menghela napas kasar dengan tatapan menantang. Sementara itu Andreas hanya bisa membeku, tubuhnya kaku, karena pria yang berdiri di hadapannya bukan hanya suami dari wanita yang dipeluknya, tapi juga sepupunya sendiri.
"Apa yang kau lakukan! Tidak sopan!" bentak Sofie, seolah dialah yang tersakiti.
Arrash mengepalkan kedua tangannya, rahangnya mengeras. "Dasar wanita jalang! Berani sekali kau melakukan hal b***t di kamarku!" teriaknya penuh amarah.
Dengan berani, Sofie turun dari ranjang tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Arrash refleks menutup mata, tak sanggup menatap pemandangan itu.
Tawa Sofie pecah, dingin dan penuh ejekan.
"Lihatlah, Arrash! Kau bahkan tak mau menatap tubuh bugil istrimu sendiri! Kau pengecut b******k yang tak pernah mau menyentuhku. Jangan salahkan aku bila mencari kehangatan dari pria lain."
Ia melirik ke arah Andreas, yang kini berusaha tersenyum meski wajahnya pucat.
Kata-kata itu bagaikan bensin disiramkan ke dalam bara di d**a Arrash. Nafasnya memburu, darahnya mendidih. Perlahan ia mengeluarkan pistol dari saku jasnya, lalu menodongkannya tepat ke arah Sofie.
Seketika wajah Sofie berubah, senyum sinisnya lenyap, berganti dengan ketakutan. Andreas pun terperangah, tak menyangka sepupunya membawa senjata.
"A-apa yang kau lakukan?! Kenapa kau membawa benda mengerikan itu!" teriak Sofie panik.
Namun Arrash bergeser. Moncong pistol itu kini diarahkan ke Andreas. Tanpa ragu, tanpa jeda, jari Arrash menarik pelatuk.
Dor!
Peluru menembus dahi Andreas. Darah memuncrat, tubuhnya terbaring tak berdaya di atas ranjang dengan kedua mata masih terbuka, wajahnya berlumuran merah pekat.
Sofie menjerit histeris, menutup mulut dengan kedua tangannya.
"A-Apa yang kau lakukan, b******k! Kenapa kau membunuh Andreas?!"
"Sekarang kau yang akan kukirim ke neraka menyusul b******n itu!" desis Arrash, matanya menyala dengan amarah yang tak terbendung. Tatapannya menusuk tajam, penuh jijik, seolah Sofie bukan lagi manusia di hadapannya, melainkan hanya sosok hina yang layak dimusnahkan.
Sofie bergidik. Napasnya tercekat saat ia melangkah mundur, beberapa langkah hingga punggungnya hampir menyentuh dinding dingin yang tak memberinya ruang lagi untuk kabur. Tangannya bergetar, hatinya berdegup kencang, berharap ada satu keajaiban yang datang untuk menolongnya.
"Ku-kumohon, Rash… tolong, tenangkan dirimu..." suaranya parau, hampir tak terdengar, bercampur rasa takut dan penyesalan.
Namun, doa itu terputus seiring suara memekakkan telinga.
Dor!!!
Waktu seakan berhenti. Dunia membisu. Peluru panas itu menembus dahi Sofie, menyisakan jejak merah yang segera mengalir deras di wajahnya. Matanya membelalak, lalu perlahan meredup, kehilangan cahaya terakhirnya. Tubuhnya terkulai, jatuh menghantam lantai dengan dentuman yang mengerikan.
Arrash berdiri kaku. Senjata masih tergenggam erat, asap tipis mengepul dari moncongnya. Wajahnya tetap dingin, tanpa penyesalan sedikit pun, seolah ia baru saja menyelesaikan sebuah kewajiban.
Tubuh Sofie yang terkulai lemah itu perlahan terasa ringan, seakan ditarik oleh kekuatan tak kasatmata. Kegelapan menelannya, lalu cahaya putih merambat masuk, membutakan pandangannya sejenak.
Ketika ia membuka mata, yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit kamar yang berwarna putih bersih. Nafasnya memburu. Ia terbangun bukan di lantai yang berlumur darah, melainkan di atas ranjang empuk dengan seprai bersih yang beraroma wangi mawar.
“Ap… apa ini?” bisiknya lirih, menatap sekeliling dengan mata terbelalak.
Ruangan itu, begitu familiar. Lampu-lampu gantung berkilauan, kelambu tipis berayun lembut, dan dinding kamar yang dihias dengan bunga mawar segar. Sofie menelan ludah, hatinya berdegup semakin kencang. Semua ini persis seperti lima tahun lalu. Malam pengantinnya dengan Arrash.
Dengan tubuh bergetar, ia bangkit dan melangkah menuju cermin besar di sudut kamar. Kedua tangannya refleks menyentuh wajahnya sendiri. Terlihat jelas pantulan seorang wanita muda dengan kulit segar, mata berbinar, dan senyum yang dulu sering ia lihat di masa lalunya. Wajahnya… lebih muda. Sama persis seperti lima tahun lalu.
Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Dan yang membuatnya semakin yakin bahwa ia bukan bermimpi adalah pakaian yang ia kenakan. Lingerie putih lembut, yang dulu ia kenakan di malam pertama pernikahan mereka. Ia bahkan masih bisa merasakan detail renda dan harum parfum bunga yang sama.
Sofie terdiam, dadanya sesak. “Apakah… aku benar-benar kembali? Apakah aku diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki segalanya?”
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Ingatan Sofie melayang pada malam pertama mereka di kehidupan pertamanya dulu. Saat itu Arrash memilih mengabaikannya dan justru tidur di lantai.
Kini, jantung Sofie berdetak kencang ketika tubuh Arrash benar-benar melangkah masuk ke kamar pengantin. Ia tak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi, tetapi berusaha keras menampilkan ketenangan di hadapan pria itu.
Sosok tinggi dengan wajah tampan itu berdiri tegak. Sosok Arrash masih sama dengan ingatan Sofie di kehidupannya yang pertama. Arrash menatap Sofie yang masih terpaku di depan cermin.
"Arrash..." sapanya lirih, suaranya bergetar.
Arrash menutup pintu pelan. Ia masih mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Sofie tahu, ia baru saja pulang dari bertemu teman-temannya yang menghadiri pesta pernikahan mereka.
Sofie bahkan dapat mencium aroma alkohol dari tubuh Arrash sama seperti di kehidupan pertamanya.
Tubuh Sofie menggigil. Bayangan kelam itu kembali menghantam benaknya. Bagaimana pria bengis di hadapannya ini pernah membunuhnya dengan tragis.
Tatapan Arrash dingin menusuk.
"Ke-kenapa kau belum tidur? Dan-" suaranya tercekat. Ia buru-buru memalingkan wajah ke arah lain ketika menyadari lingerie tipis membalut tubuh wanita yang kini sah menjadi istrinya. Rahangnya mengeras, nada bicaranya meninggi.
"Kenapa kau memakai pakaian tipis seperti itu!"
"Ka-karena hanya pakaian ini yang ada di lemari. Mana mungkin aku memakai gaun pengantin," jawab Sofie gugup. Memang begitulah kenyataannya dulu.
Arrash berdehem pelan, lalu suaranya terdengar dingin.
"Sudahlah. Aku mau mandi dulu. Kau tidur saja lebih dulu. Tidak perlu menungguku, karena malam ini tidak akan terjadi apa-apa antara kita. Jadi jangan harap apapun dariku."
Tanpa menunggu jawaban, pria itu melangkah cepat dan masuk ke kamar mandi.
Begitu pintu kamar mandi tertutup, Sofie langsung menjatuhkan bokongnya di atas ranjang. Nafasnya memburu, tangannya refleks menekan d**a yang terasa sesak.
"A-aku benar-benar kembali ke kehidupanku yang dulu... Semua ini persis sama. Itu artinya, lima tahun lagi aku akan mati di tangan Arrash?" bisiknya dengan wajah pucat.
Tubuh Sofie bergetar hebat. Ia menggeleng keras, seolah menolak kenyataan itu.
"Tidak! Aku tidak mau mati lagi!" serunya lirih, penuh kepanikan. "Aku harus mengubah nasibku... Aku tidak boleh mengulang kesalahan yang sama. Aku harus melakukan sesuatu, apa pun, untuk menghindari takdir burukku!"