Pembawa Sial

1112 Kata
Sofie meraba dahinya berulang kali, seolah ingin memastikan bahwa semuanya nyata. Kulitnya masih hangat, nadinya masih berdenyut. Ia benar-benar hidup kembali. Suara gemericik air dari kamar mandi terdengar jelas, menusuk telinganya, membuat jantungnya berdetak tak karuan. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" batinnya gelisah. Pelan-pelan, ia naik ke ranjang. Jemarinya tak bisa diam, kukunya digigiti satu per satu. Kebiasaan lamanya yang muncul saat rasa takut menelan seluruh keberaniannya. Bayangan wajah Arrash, pria yang telah mengakhiri hidupnya, kembali menghantui. "Apa aku harus kabur saja? Pulang ke rumah, lalu bilang pada Papa kalau aku ingin bercerai?" gumamnya, nyaris tanpa suara. Namun, kenangan pahit menyeruak begitu saja. Sang papa hampir meregang nyawa karena serangan jantung saat mendengar niatnya ingin bercerai dari Arrash dulu. Kini, di hari pertama pernikahannya kembali, Sofie tak sanggup membayangkan kejadian yang sama terulang. Air matanya menggenang. Ia menatap pintu kamar mandi yang masih tertutup, mendengar samar-samar suara Arrash yang tengah mandi. Rasanya ingin sekali ia berlari, tapi langkahnya terasa terikat oleh takdir. "Tidak… kali ini aku tidak boleh mengulang kesalahan yang sama," bisiknya mantap. Ia mengepalkan tangan, menelan saliva, lalu menarik napas panjang. "Aku harus bertahan. Sampai aku menemukan jalan untuk benar-benar berpisah darinya." Tatapannya mengeras, namun di dalam hatinya tersimpan luka yang belum sembuh. "Aku harus merubah takdirku. Kali ini aku akan menjadi istri yang baik. Tidak ada lagi perlawanan, tidak peduli seburuk apa pun sikapnya padaku. Karena pada akhirnya… aku yang akan mati." Dengan tekad yang dibentuk dari rasa takut dan harapan tipis akan kebebasan, Sofie akhirnya memutuskan ia akan belajar menerima Arrash tidak peduli seburuk apapun sikap Arrash padanya, setidaknya untuk sementara. Hingga saatnya tiba, ketika ia bisa benar-benar melepaskan diri dari pria yang kini masih berada di balik pintu kamar mandi. Sofie memilih merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya, berusaha menyembunyikan lingerie tipis yang membalut kulitnya. Ia tahu betul, Arrash tidak menyukai itu. Namun, sekalipun tubuhnya sudah tertutup rapat, kegelisahan masih saja menusuk dadanya. Matanya menatap kosong ke arah langit-langit kamar, pikirannya berlari ke mana-mana. Ceklek… Pintu kamar mandi terbuka, menyingkap sosok Arrash yang hanya mengenakan bathrob. Wajah pria itu sama sekali tak berubah, tetap dingin, tetap datar sama seperti sosok yang selama ini menghantui hatinya. Tanpa banyak bicara, Arrash berjalan menuju lemari, lalu mengambil pakaian tidurnya. Sofie cepat-cepat memutar tubuhnya, membelakangi pria itu. Ia ingin memberi ruang, setidaknya agar Arrash bisa berganti pakaian tanpa merasa diawasi. Tak lama, terdengar suara lemari tertutup. Setelah selesai berganti, terdengar langkah Arrash mendekati ranjang dimana Sofie masih berbaring, tangannya terulur hendak mengambil sebuah bantal. Sofie refleks bangkit. Tangannya sigap menahan bantal itu, membuat Arrash terhenti sejenak. "Ada apa?" suara Arrash terdengar datar, namun sorot matanya sedikit menyipit. Sofie menggenggam erat bantal itu. "Jangan tidur di lantai! Kau bisa sakit. Lantainya sangat dingin. Tidur saja di sampingku. Aku tidak akan mengganggumu. Bahkan… kita bisa membuat batasan di tengah," ucapnya cepat, hampir terdengar memohon. Mata Arrash melebar. Ada keterkejutan di sana, meski hanya sepersekian detik. "Bagaimana kau bisa tahu kalau aku mau tidur di lantai?" tanyanya penuh selidik. Sofie menelan ludah. Ia sendiri tidak tahu mengapa tubuhnya bereaksi secepat itu. Ingatan samar tentang kehidupan pertamanya kembali mengusik, tentang Arrash yang jatuh sakit selama dua hari hanya karena tidur di lantai yang dingin. Ia tidak ingin itu terulang lagi. Ia sudah bertekad akan mengubah takdir. "I-it... itu karena kau mengambil bantal. Dimana lagi kau bisa tidur kalau bukan di lantai?" Sofie mengangkat dagunya, berusaha terdengar meyakinkan. "Lagipula, di luar masih banyak tamu dan keluarga. Kau tidak mungkin menunjukkan pada mereka kalau kau tidak ingin tidur di ranjang yang sama denganku dimalam pertama kita kan?" Suara Sofie terdengar lantang, meski hatinya sendiri gemetar. Ia bingung dari mana keberanian itu muncul, tapi yang jelas ia tidak ingin membiarkan Arrash sampai jatuh sakit lagi. Arrash tampak terdiam, matanya menatap kosong sejenak seolah menimbang sesuatu. Namun akhirnya ia menyerah, meletakkan bantal kembali ke tempatnya, lalu naik ke atas ranjang. Gerakannya sederhana, tapi bagi Sofie itu seperti sebuah kemenangan kecil. Arrash merebahkan tubuhnya, lalu menutup mata begitu saja. Wajahnya tampak lelah, wajar saja setelah sepanjang hari melewati pesta pernikahan yang melelahkan. Sofie, di sisi lain, justru semakin sulit memejamkan mata. Jantungnya berdegup tak terkendali, matanya sesekali melirik ke arah Arrash. Ia nyaris tak percaya, pria itu benar-benar mendengarkan ucapannya. Sesuatu yang jarang sekali terjadi di kehidupan pertamanya dulu. “Rash…” panggil Sofie pelan. Arrash membuka matanya, meski tidak menoleh. Tatapannya tetap lurus ke langit-langit, dingin seperti biasanya. Sofie menggenggam selimutnya erat. “Kenapa kau mau menikahi ku, padahal… kau tidak menyukaiku?” tanyanya, suara bergetar namun terdengar jelas. Ia sendiri terkejut dengan keberanian yang keluar dari mulutnya. Di kehidupan pertama, ia tak pernah menanyakan hal itu, lebih memilih bersembunyi dalam diam lalu tidur, menelan segala sakit sendirian. Namun kali ini lidahnya seperti menolak untuk bungkam. Arrash menghela napas berat, lalu suaranya terdengar tegas, nyaris menusuk. “Aku tidak bisa menolak permintaan papamu. Beliau sudah berjasa besar padaku, juga pada mendiang orang tuaku. Itu saja alasannya. Sepertinya aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar padamu. Bukankah kau sudah tahu?” Sofie terdiam. Kata-kata Arrash menghantamnya, seperti mengingatkan kembali pada kenyataan pahit bahwa pernikahan ini bukanlah soal cinta. “Ya… aku tahu sih. Tapi kau kan bisa menolak. Papa juga akan mengerti kalau kau yang menolak. Sejak kecil, kau sudah cukup dekat dengan papa,” ujar Sofie lirih, tapi jelas. Ucapan itu membuat Arrash akhirnya menoleh. Sorot matanya dingin, menusuk ke dalam mata Sofie. “Kalau begitu, kenapa bukan kau saja yang menolak ku?” Seketika tubuh Sofie menegang. Tatapan dingin itu membuatnya kembali merasa takut, seperti dulu karena tak berdaya menghadapi tembok yang di bangun Arrash. “I-itu karena aku tidak bisa menolak… Papa terus memohon, dan aku tidak tega membuatnya sedih. Kau kan tahu sendiri, papa punya riwayat serangan jantung,” jawab Sofie terbata-bata, suaranya nyaris bergetar. Arrash terdiam sejenak, lalu seulas senyum tipis tersungging di bibirnya. Namun senyum itu bukan kehangatan, melainkan getir. “Apanya yang tidak bisa? Kau kan bisa bilang kalau aku adalah anak pembawa sial. Sama seperti rumor yang beredar sejak aku kecil. Karena aku, kedua orang tuaku meninggal. Bukankah kau bisa bilang pada papamu, kalau kau menikah denganku, mungkin kau juga akan terkena sial?” ucapnya tajam, tegas, seolah melukai dirinya sendiri. Mata Sofie membola, dadanya serasa diremas. “Jadi… kau percaya dengan rumor itu?” suaranya meninggi, penuh keterkejutan. “Rumor yang disebarkan oleh kerabatmu sendiri? Jadi karena itu juga… saat kita masih kecil kau tiba-tiba berubah jutek padaku? Kau terpengaruh dengan omong kosong tak beralasan itu!” pekik Sofie, tak mampu lagi menahan emosinya. Kamar yang semula sunyi kini dipenuhi ketegangan. Arrash dan Sofie saling beradu pandang. Mata dingin melawan mata yang bergetar penuh luka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN