Sejak kecil aku dan Arrash tumbuh berdampingan. Kami sama-sama anak tunggal yang kerap merasa kesepian. Hingga akhirnya papaku memutuskan untuk pindah rumah, dan kebetulan rumah baru kami berdiri tepat di sebelah rumah Arrash. Sejak saat itu, halaman rumah kami seakan tak lagi memiliki batas. Tempat di mana kami berbagi mainan, menyimpan rahasia, dan menuliskan tawa bersama.
Persahabatan keluarga kami bukanlah sebuah kebetulan. Semua itu berawal dari ikatan lama antara papaku dan papa Arrash, yang sudah bersahabat sejak duduk di bangku sekolah. Persahabatan mereka menjelma menjadi jembatan yang menautkan masa kecil kami, membuatku dan Arrash seolah tumbuh dalam satu keluarga yang sama.
Keluarga Arrash hidup sederhana. Berbeda dengan keluargaku yang sejahtera karena warisan dari kakek-nenekku, namun persahabatan papa kami tak mengenal hitung-hitungan. Karena percaya penuh pada kecerdasan papa Arrash, papaku menyerahkan seluruh hartanya untuk mendirikan sebuah perusahaan pembuatan game. Papa Arrash, yang memang jenius, menciptakan game demi game yang meledak di pasaran. Dalam sepuluh tahun perusahaan itu tumbuh pesat, nyaris menjadi kerajaan kecil yang mengubah nasib dua keluarga sekaligus.
Perubahan itu tidak hanya soal uang. Hubungan antar keluarga ikut berubah. Papaku memberi setengah saham perusahaan pada papa Arrash, sebuah simbol kepercayaan yang membuat mereka berdua memimpin perusahaan dengan kepemilikan yang sama. Aku dan Arrash tetap berteman dengan baik. Dia selalu baik, sering mengalah padaku, padahal kami hanya terpaut satu tahun. Namun hidup tak selamanya berjalan mulus.
Suatu hari, kecelakaan menimpa kedua orang tua Arrash. Kematian mereka menjadi pukulan yang tak terduga. Kehilangan tragis dan mendalam bagi Arrash. Keluarga besar Arrash segera berkumpul, dan satu per satu dari mereka mengajukan niat mengadopsi Arrash. Papaku tahu betul motif di balik kepedulian itu, semuanya karena saham perusahaan yang besar dan kilau kekuasaan membuat banyak orang berpaling pada keuntungan. Di tengah kabut duka, Arrash menjadi incaran.
Usianya baru 14 tahun ketika rumor jahat mulai beredar. Ia dianggap pembawa sial. Tekanan itu membuat Arrash rapuh, nyaris runtuh oleh beban yang terlalu berat untuk anak seusianya. Melihat itu, papaku memutuskan untuk mengambil langkah berisiko yaitu dengan mengadopsi Arrash sendiri. Mama juga setuju, karena bagi mereka Arrash seperti anak kandung mereka. Namun keluarga Arrash tak mudah menyerah. Mereka menuduh papaku berambisi menguasai seluruh saham perusahaan.
Untuk melindungi perusahaan dan juga menjaga Arrash dari tangan-tangan yang licik, papaku mengambil keputusan lain yang mengejutkan, ia mengumumkan bahwa ketika Arrash berusia 25 tahun, ia akan menikahkannya denganku, putri kandungnya. Aku tahu betapa berat keputusan itu. Bukan hanya karena pernikahan diatur seperti transaksi, tetapi karena hal itu menempatkan ku putrinya sendiri di persimpangan antara cinta, loyalitas keluarga, dan keadilan.
Papa juga memutuskan untuk membawa Arrash ke rumah kami, karena papa sendiri yang ingin merawat Arrash, sayangnya Arrash menolak pindah ke rumah kami. Dia ingin tetap di rumah orang tuanya, tak ingin melupakan kenangan bersama mereka. Papaku menghormati itu, namun menempatkan beberapa pelayan kepercayaannya di rumah itu untuk menjaga dan mengawasi Arrash.
Sedangkan aku yang sangat peduli dengan Arrash, hampir setiap hari berkunjung ke rumah Arrash, berharap luka anak itu bisa berkurang. Tapi Arrash berubah. Ia membenci kehadiranku, mendorongku, bahkan memaki ku agar aku pergi. Suatu hari ia melemparkan gelas hingga aku terluka. Di matanya ada kilasan penyesalan, namun ia tidak pernah meminta maaf. Ia memintaku pergi. Aku menyerah karena rasanya lebih pedih kehilangan seorang teman daripada menghadapi luka di tubuhku.
Waktu berlalu. Arrash tumbuh menjadi lelaki tampan dan berbakat, mengikuti jejak papanya. Sebelum menyelesaikan S1, beberapa game ciptaannya sudah laku keras. Setelah lulus, papaku mengangkatnya menjadi wakilnya di perusahaan. Langkah wajar karena Arrash memang satu-satunya ahli waris dari pemilik saham, namun hal itu menimbulkan kegegeran di keluarga besar Arrash. Mereka menuntut kewenangan, ingin menjadi wali, ingin merebut kembali putra yang kini berdiri di puncak. Papaku membaca maksud mereka yaitu keserakahan yang dibalut nama keluarga.
Akhirnya janji pernikahan terpaksa ditegaskan. Arrash akan menikah denganku pada ulang tahunnya yang ke-25 tahun, sedangkan aku berusia 24 tahun.
Aku menolak keras. Aku tahu betul Arrash tidak menyukaiku. Walaupun aku tahu juga menyatukan kami seperti itu adalah upaya melindungi saham dari siapapun yang hendak merampasnya. Namun penolakan ku hampir merenggut nyawa papaku karena beliau terkena serangan jantung. Tekanan dan ancaman dari pihak keluarga Arrash pun tidak main-main. Dalam situasi genting itu, aku menyerah demi nyawa seorang yang ku panggil papa. Aku menerima pernikahan yang bukan keinginanku sendiri.
Pernikahan itu bukan akhir dari luka, melainkan awal kehancuran yang pelan. Menjadi istri Arrash bukan seperti dongeng yang sering kubayangkan ketika masih kecil. Tak ada kehangatan yang mengisi rumah bersama, tak ada pengertian yang menambal masa lalu. Aku hidup di bawah bayang-bayang perjanjian, dicintai oleh harapan keluarga kami tetapi tidak oleh pria yang menjadi belahan hidupku. Setiap senyum yang ku lempar padanya dibalas dengan dingin. Setiap usahaku mendekat berakhir pada penolakan yang membuat rapuh harga diriku. Hingga akhirnya aku frustasi dan memilih melakukan hal-hal yang tidak baik. Aku mengabaikan Arrash, tidak melakukan tanggung jawabku sebagai istri, dan yang paling parah aku berselingkuh dengan sepupu Arrash, Andreas. Padahal aku tahu Andreas adalah anak dari paman Arrash yang selama ini ingin merebut saham dari perusahaan kami dengan dalih dia adalah adik dari papa Arrash.
Kini, ketika aku menengok kembali, kami berdua adalah hasil dari keputusan-keputusan yang dibuat untuk melindungi sesuatu yang lebih besar dari hidup kami yaitu Saham, nama, dan warisan.
Keputusan itu menyelamatkan perusahaan dari tangan-tangan rakus, tetapi menghancurkan dua hati yang tak pernah bisa bersatu. Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah segala pengorbanan ini layak? Jawabannya masih terselubung, tertumpuk pada hari-hari sepi setelah pesta, pada malam-malam ketika aku dan Arrash tidur di ranjang yang sama tetapi berada di dunia yang berbeda.
Setelah melewati kematian yang begitu mengerikan, aku akhirnya sadar bahwa aku hanya perlu melakukan yang terbaik sekarang. Walaupun suatu saat nanti aku dan Arrash mungkin memang harus bercerai karena aku tahu sejak awal ia tidak pernah benar-benar menginginkanku apalagi mencintaiku.
Malam ini adalah malam pertama kami sebagai pengantin baru. Malam pertama tidur di ranjang yang sama sebagai sepasang suami-istri. Namun, sama seperti kehidupan pertama ku, ia membelakangi ku. Yang terlihat hanyalah punggungnya yang bidang dan kaku, seolah menjadi dinding yang sengaja ia bangun untuk menjauhiku.
"Apa sebenarnya yang membuatmu begitu membenciku, Arrash?" bisik hatiku lirih. "Bukankah kau tahu pernikahan ini demi melindungimu? Mengapa kau memperlakukanku seolah akulah penjahatnya? Tak bisakah kau sedikit saja ramah, atau kembali bersikap baik seperti dulu?"
Tanganku sempat tergerak, hampir ingin meraba punggungnya yang kaku, seakan berharap sentuhan itu bisa meruntuhkan dinding dingin di antara kami. Namun keberanian itu menguap. Aku hanya menatap punggungnya dalam hening, lalu menarik napas panjang, menelan perih yang terasa menyesakkan.
Malam pertama ini bukanlah awal yang indah, melainkan pengingat pahit bahwa aku akan kembali berjalan di jalan yang penuh luka seperti kehidupan pertama ku. Tapi aku bertekad akan merubah itu semua. Dan yang paling pertama akan aku rubah adalah diriku sendiri. Aku tidak akan menjadi istri durhaka seperti dulu.