Bab 5 : Meteor Jatuh

1178 Kata
“Lo ngapain di sini?” Bola mata Abbey membesar karena heran. Bagaimana tidak, ketika sampai di rumah, dia benar-benar melihat Eidwen Saki berdiri di muka pagar. Cowok itu duduk di atas koper ukuran besar, punggungnya memanggul ransel yang terlihat begitu berat, tangan dilipat di d**a dan ekpresi wajahnya terlihat bosan. Seperti calon penumpang pesawat yang hendak melakukan perjalanan jauh namun mendadak penerbangan ditunda. Eidwen menyipit ke arah Abbey yang masih melongo menatap cowok itu. “Lo lama banget,” katanya dengan nada menyalahkan. Abbey membuka mulut lalu menutupnya lagi. Kehilangan kata. Apa yang dilakukan cowok itu di rumahnya? Abbey turun dari motor, membuka pagar lalu mendorong masuk motornya ke halaman. Cowok itu mengikutinya sambil menarik koper. Abbey mencopot helm lalu berbalik menatap Eidwen yang matanya sedang menjelajah area rumah. “Jadi begini, Eidwen─” “Itu rumah atapnya?” potong Eidwen. Tangannya menunjuk ke arah rumah atap yang kini bangunannya terlihat berkilau bermandikan cahaya matahari. Abbey mengiakannya, lalu melanjutkan dengan hati-hati. “Tapi begini, kayaknya lo salah informasi, deh. Rumah atap memang disewakan tapi cuma buat cewek, bukan cowok.” “Gue udah tahu. Tapi kenapa?” Eidwen menatap Abbey. Angin lembut menerbangkan helai-helai rambut depannya dengan dramatis. Sesaat, hal itu membuat Abbey terkesima dengan ketampanan cowok itu. “Ya, emang nggak disewakan buat cowok. Gue kan tinggal sendirian di rumah,” balas Abbey kemudian. “Lalu?” Lalu, katanya? Abbey memasang wajah heran. “Ya, gue nggak bisa tinggal bareng sama cowok, dong.” “Lo juga tinggal di rumah atap?” “Ya nggak lah. Gue tinggal di bawah.” Eidwen mengangguk-angguk seolah mengerti. “Baguslah. Nggak ada masalah kalau gitu. Berapa tarifnya perbulan?” lanjut cowok itu. Abbey berdecih. “Eid, gue benaran nggak bisa menerima penghuni kos cowok. Ya ampun, ngerti nggak sih?” “Tapi gue butuh tempat tinggal.” Abbey memutar bola matanya. “Banyak tempat kos di luar sana yang menerima penghuni cowok. Lo juga bebas mau ngapain. Sekos bareng pacar lo atau gabung sama teman-teman lo juga bisa.” Eidwen kembali mengamati Abbey. Kepalanya sedikit ditelengkan, lalu matanya mengerjap perlahan. Ekspresinya menyiratkan kebingungan. “Tapi gue suka di sini,” balasnya dengan ringan. “Gue nggak punya pacar dan gue nggak punya banyak teman. Dan kos-kosan biasanya berisik. Jadi, gue pengin sewa rumah atap lo.” Nada Eidwen terdengar seperti pernyataan, bukan pertanyaan. Abbey sedikit mengentakkan kakinya dengan gemas. Entah apa yang ada di pikiran cowok di hadapannya ini? Dia mengerti bahasa manusia atau tidak sih? Dan lihat itu, matanya masih menatap tajam Abbey seakan dia adalah cewek aneh. Padahal yang aneh adalah dia sendiri. “Eid, lo mau gue kasih alamat tempat kosan lain nggak?” balas Abbey dengan sabar. Cowok itu menggeleng. “Kalau gitu, sori ya, gue nggak bisa sewain rumah atap ke lo.” “Gue bayar dua kali lipat,” balas Eidwen dengan cepat. Mendengar itu Abbey mendadak berhenti bernapas. “Sori?” “Gue bayar dua kali lipat, kontan.” Detak jantung Abbey meningkat. “Lo serius? Maksud gue, dua kali lipat buat sebulan?” Eidwen mengangguk dengan serius. Sejenak Abbey berpikir, kalau Eidwen membayar tarif sewa dua kali lipat, berarti dia bisa membayar lunas tagihan SPP tanpa perlu mencari pinjaman lagi. Tapi konsekuesinya, dia bakal tinggal serumah dengan cowok yang… Abbey mengamati Eidwen dari ujung kepala sampai kaki. Tatanan rambut cukup oke, meski dikuncir mirip cewek. Kemeja rapi, barang-barang terlihat bermerek, tubuh tampak terawat dengan baik, masalah fisik lumayan banget. Tidak terlihat seperti cowok urakan. Tapi bagaimana dengan perilaku? Abbey hanya mengenal Eidwen sebagai cowok pendiam yang suka membaca buku di perpustakaan, terkadang dia berpapasan di koridor kampus, tapi cowok itu terlihat selalu sendirian. Abbey tidak tahu cukup banyak mengenai cowok itu, kecuali… Abbey mengingat kejadian di perpustakaan bersama cowok itu kapan hari. Si cowok tidak sabaran dan tukang paksa. Oh tunggu, ada lagi. Jangan-jangan dia adalah cowok pendiam yang─ terlintas adegan-adegan film psikopat yang pernah Abbey tonton. Si sosok poendiam, aneh dan tak punya teman. Tepat seperti Eidwen. Tampilan urakan jelas bukan salah satu ciri-ciri psikopat elegan yang ada di film-film. Mereka rapi, termotifasi, sopan dan tenang. Tapi Eidwen jelas bukan seseorang yang sopan mengingat dia memaksa memasukkan pesanan buku keingininannya langsung ke komputer serves perpustakaan. “Lo bukan pembunuh berantai, kan?” Abbey bertanya dengan suara lirih. Ekspresi wajah Eidwen yang cantik itu mulai menunjukkan keheranan. “Maksud lo?” “Gue perlu mengecek latar belakang calon penyewa, dong.” “Lo pernah lihat ada pembunuh berantai yang ngaku kalau mereka pembunuh berantai?” Abbey menggeleng. Merasa bodoh dengan pertanyaannya sendiri. Lalu bagaimana sekarang? Begitu saja menerima cowok untuk tinggal di rumah atap? Sedangkan dia sering ditinggal sendiri di rumah. Kalau ada apa-apa bagaimana? Di sisi lain, tagihan SPP semester ini terus menggaruki isi dompetnya yang kosong untuk segera dilunasi. Pilihannya adalah bayar SPP atau tidak ujian? “Lo nggak suka mabuk-mabukan, kan? Atau suka ngundang cowok-cowok atau cewek-cewek? Ngadain party gitu?” Abbey terus ingin dipastikan. “Gue bilang, gue nggak punya banyak teman,” balas Eidwen. “Dan gue nggak suka kebisingan.” Oke, kalimat terakhir itu bisa diterima. Sejauh yang Abbey ketahui tentang Eidwen, dia memang terlihat seperti seseorang yang suka berkonsentrasi dan berada di tempat yang tenang. Dia selalu berada di pepustakaan yang jelas pengunjungnya dilarang berisik dan menutup telingannya dengan headphone saat membaca. Seakan enggan membiarkan kebisingan apa pun mengganggu konsentrasinya. Kecuali mulutnya saja yang memang agak kurang ajar. “Jadi gue bisa tinggal di sini kan?” Suara Eidwen membuyarkan lamunan Abbey. Abbey menengadahkan tangannya. “Bayar dulu.” Eidwen menanyakan total yang harus dia bayar, mengambil sejumlah uang kontan di tasnya ranselnya tanpa sedikit pun mencoba melakukan penawaran, lantas, dia menyerahkan uang itu kepada Abbey. Namun cewek itu tak segera menerimanya. Abbey kembali mengamati Eidwen penuh pertimbangan. “Lo kenapa bawa uang kontan sebanyak ini di tas lo?” tanya Abbey penuh curiga. Meski berlembar-lembar uang Eidwen yang sangat dia butuhkan sudah berada tepat di depan matanya. Eidwen mengerutkan dahinya. Mungkin sedang menganggap pikiran cewek itu sedikit merepotkan. “Lo bukan p**************a, kan? Atau pembobol ATM? Ngomong-ngomong rumah lo aslinya di mana? Gue juga pernah lihat lo bawa mobil ke kampus. Terus mobil lo sekarang di mana? Oh ya, omong-omong lagi, kenapa lo langsung bawa barang-barang lo ke sini? Kan belum tentu gue setuju terima lo di sini. Lo minggat ya?” Eidwen memejamkan mata sesaat, tampak terganggu karena diberondong pertanyaan oleh cewek kecil dan kurus yang merepotkan di hadapannya. “Gue bayar setengahnya lagi kalau lo berhenti tanya-tanya,” sembur Eidwen. Abbey melongo. “Serius?” Eidwen, membuka tasnya lagi lalu menyerahkan semua sisa uang yang dimilikinya kepada Abbey. Jumlahnya pas dari setengah tarif harga sewa. Abbey mau tak mau tersenyum dengan senang saat menerima uang itu. “Oke Mister, gue bantu bawain barang lo ke atas,” balas Abbey dengan semangat setelah menerima puluhan lembar uang berwarna merah dari Eidwen. Untuk saat ini, Abbey merasa kesulitannya secara ajaib teratasi begitu saja. Namun, dia belum tahu masalah apa yang akan menimpa dirinya selanjutnya gara-gara menampung cowok bernama Eidwen Saki di rumahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN