Bab 4 : Satelit Salah Orbit

1326 Kata
“Ini Abbey lagi sarapan kok, Ma. Nggak makan mie instan. Makan nasi sama─ rendang. Iya, Abbey beli di warung biasanya. Mama kapan balik? Lusa? Oke. Hati-hati Ma, Abbey baik-baik aja kok. Belum ada yang serius sewa rumah atap. Iya, baru kemarin Abbey tempel selebarannya. Kalau memang uangnya belum ada, nggak usah dipaksain, Ma, Abbey bentar lagi gajian kok dari perpus. Oke, nanti Abbey telepon lagi, Ma.” Abbey, menutup sambungan, lalu melanjutkan sarapan dengan senyum miris. Pagi ini dia memang sarapan rendang, tapi dalam bentuk mie instan dan nasi sisa kemarin. Dan, gaji dari perpus tidak akan dia terima di akhir bulan. Melainkan di pertengahan bulan, yaitu nyaris tiga minggu lagi. Dua minggu lebih lambat dari batas waktu pembayaran SPP. Namun, mama tak perlu tahu akan hal itu. Terkadang untuk membuat segalanya terlihat baik-baik saja, kebohongan kecil memang diperlukan. Ponselnya kembali berbunyi, Abbey segera mengangkatnya. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. “Halo.” “Ini benar Abbey, ya?” Suara cowok terdengar dari seberang sana. “Ya.” “Bey, mau tanya, nih. Sewa rumah atap lo kalau semalam aja berapa? Atau tarifnya perjam?” Sejak tadi malam, beberapa telepon dan pesan mulai masuk ke ponsel Abbey, tapi tak satu pun dari mereka terdengar serius untuk menyewa. Kebanyakan hanya cowok-cowok iseng dan cewek-cewek yang mengikik seperti mak lampir– yang dipercayai Abbey sebagai teman-teman Casandra sang ratu mak lampir─ sampai akhirnya, Abbey lelah dan mematikan ponselnya setelah membuat status jika semua pesan yang masuk akan dibalas esok hari. “Rumah atap disewakan dalam jangka waktu minimal satu bulan, kalau lo mau yang perjam, lo bisa sewa hotel,” balas Abbey sedikit kesal. Terdengar tawa dari seberang sana. “Ketus amat sih, mbak dukun. Ya udah deh, semoga cepat laku ya rumah atapnya.” Sambungan terputus, dan Abbey mengela napas lelah. Sepertinya, menyewakan rumah memang tak semudah yang dia bayangkan. Abbey bangkit dari kursi, mencuci piring lalu bergegas berangkat ke kampus. Dalam perjalanan mengendarai motor matic-nya, Abbey menyusun rencana. Hari ini dia akan menemui Miss Erma untuk mencoba meminta gaji lebih awal, jika dia gagal, dia akan mencari Egra dan mendiskusikan masalahnya dengan cowok itu. Omong-omong, Egra sama sekali tidak menghubunginya sejak pertemuan mereka di koridor kemarin pagi. Sepertinya kencannya berjalan mulus, sehingga Abbey terlupakan. *** “Sesuai kebijakan yang sudah dibuat, Bey, gaji karyawan bisa diambil maksimal tiga hari lebih awal dari tanggal pembayaran. Jadi, saya nggak bisa ngasih kamu pengecualian. Nanti petugas yang lain bisa salah paham. Dan sama sekali nggak sesuai dengan peraturan. Maaf ya, Bey.” Jawaban Miss Erma barusan membuat tangan Abbey berkeringat karena cemas. Sebenarnya dia sudah tahu, dan bersiap dengan jawaban Miss Erma, namun tetap saja dia merasa kecewa. Dari mana dia mendapat uang untuk membayar SPP semester ini agar tidak ketinggalan ujian tengah semester? Harapan satu-satunya tinggal lah Egra. Abbey berjalan menyusuri koridor menuju kelas Pak Haryadi─ yang terletak berseberangan dengan koridor Fakultas MIPA, sembari menyapukan pandangan mencari Egra. Sepagian ini cowok itu belum menampakkan batang hidungnya dan pesan Abbey juga belum dibalas. Di mana Egra berada? Abbey berharap dia segera menemukan Egra di antara mahasiswa-mahasiswa yang berlalu lalang di koridor. Kemudian pandangannya terpaku pada sosok cowok berambut panjang yang berdiri menyamping di depan mading Fakultas MIPA. Ditilik dari bentuk rambut yang panjang dan dikuncir separuh, kemudian headphone yang melingkari lehernya, jelas dia Eidwen Saki. Si cowok aneh. Eidwen tampak tak menyadari pandangan Abbey karena cowok itu sedang terlihat serius mengamati mading. “Bey,” panggil seseorang. Abbey menengok, memutus pandangannya dari Eidwen Saki kepada Egra yang datang dari arah yang berlawanan. Cowok itu berhenti di hadapan Abbey, tersenyum lalu mengelap setetes keringat yang membasahi dahinya. “Egra, gue nyariin lo. Lo udah udah terima pesan gue, kan?” cerocos Abbey langsung. Setitik rasa lega menjalari hatinya setelah melihat sahabatnya itu. “Sori, gue dari gedung rektorat. Lo mau ngomong apa?” Abbey menarik lengan Egra, menariknya menepi agar tidak menghalangi jalan. “Jadi gini, lo tahu kan kalau gue belum─” Kalimat Abbey terpotong oleh ponsel Egra yang berbunyi. Cowok itu dengan tangkas mengecek ponselnya. “Bentar, Bey,” ucapnya lalu menjauhi Abbey. Setelah berbicara selama beberapa menit dia kembali menghampiri Abbey dengan langkah tangkas. “Bey, gue harus pergi. Ada urusan di gedung teater.” Cowok itu tersenyum kecil lalu menambahkan. “Sama Casandra.” “Tapi, Gra─” “Nanti gue telepon, lo. Oke?” Tanpa menunggu jawaban Abbey, Egra berlalu begitu saja menuju gedung teater. Meninggalkan bau parfum yang menyengat seperti kemarin. Sepagi ini, Egra sudah mulai berkencan dengan Casandra? Dan di gedung teater? Abbey mengamati koridor yang baru saja ditinggali Egra dengan pikiran kosong. Entah mengapa, dia merasa sedikit ditinggalkan. Abbey mengela napas dalam. Akhir-akhir ini, dadanya terasa berat. Cewek itu berbalik, dan pandangannya langsung bertemu dengan Eidwen Saki yang tengah mengamatinya dari jauh. Ada apa dengan cowok itu? Kenapa memandanginya seperti itu? Abbey mengacuhkannya lalu masuk ke dalam kelas. *** Gedung teater tampak ramai ketika Abbey melintas setelah menyelesaikan tugas jaga perpustakaan. Pintu kembar terbuka dua-duanya. Beberapa mahasiswa berkumpul di dekat pintu masuk. Abbey menengok ke dalam gedung. Terlihat beberapa mahasiswa yang sedang bersiap berlatih tari daerah. Beberapa mahasiswa mengisi kursi penonton di bagian depan, dan sisanya berdiri menyamping di tembok. Menonton sambil bercakap-cakap. Dan salah salah satu dari mereka adalah Egra dan Casandra. Tampak sedang asik mengobrol, melupakan dunia sekitar. “Casandra sama Egra pacaran, ya?” Salah satu cewek yang berdiri di dekat pintu masuk bertanya kepada cewek berambut pendek. “Gue sering lihat mereka riwa-riwi barengan.” “Dengar-dengar gitu sih. Egra kayaknya udah lama naksir Casandra.” “Kirain Egra pacaran sama anak seni murni. Si Ab–“ kalimat cewek itu terpotong karena pandangannya menemukan Abbey berdiri tak jauh darinya. Abbey yang merasa namanya disebut meski tak tuntas, menoleh kepada mereka. Dua cewek itu langsung buru-buru tersenyum karena terkejut. “Bey, mereka beneran pacaran, ya?” tanya si cewek rambut pendek. Abbey menjawab hanya dengan gelengan kepala. “Gue kira Egra pacar lo.” “Dia sahabat gue,” balas Abbey cepat dengan pandangan kembali kepada Egra dan Casandra yang masih asik melupakan dunia dengan saling bertukar kata-kata mesra. “Egra terkenal tuh, di antara anak-anak pertunjukan. Calon bintang. Bakat teaternya bagus. Casandra juga keren. Cocok memang mereka berdua. Menurut lo, mereka jadian nggak?” Sekali lagi Abbey menggelengkan kepalanya. “Menurut lo gimana?” Dia balik bertanya. Dua cewek di dekat pintu masuk itu saling bertukar pandang. “Casandra unggah foto bareng mereka di i********:. Kayaknya emang pacaran. Ada emoji hati pula di caption-nya,” balas si cewek rambut pendek. Abbey mendengus pelan mendengar kalimat itu. Jadi mereka sudah resmi? Pantas saja Egra melupakannya. Namun seharusnya cowok itu tidak melupakannya. Egra tidak boleh melupakannya gara-gara Casandra. Karena Egra adalah sahabatnya. Tanpa sadar, kedua tangan Abbey mulai mengepal. Pasangan kasmaran di dekat panggung itu semakin terlihat tersesat di dunia mereka sendiri. Tak ingin membuat perasaannya lebih kacau lagi, Abbey segera meninggalkan gedung teater menuju tempat parkir. Jika cinta Egra semakin berapi-api seperti ini, Abbey tak mungkin lagi mengharapkan cowok itu untuk menghubunginya. Atau peduli dengan masalahnya. Entah bagaimana lagi caranya dia bisa mendapatkan uang SPP itu. Di perjalanan, ponsel Abbey berbunyi. Nomor tak dikenal. Kalau dia mendapatkan telepon dari cowok iseng lagi, dia akan segera menutupnya. Selain itu, beberapa cewek juga mulai menghubunginya; mereka menanyakan tarif, rumah atapnya boleh ditinggali bersama pacarnya atau tidak, dan lain sebagainya. Namun, belum ada satu pun yang kembali menghubungi untuk benar-benar menyewa atau sekedar meninjau rumah atap. Padahal Abbey membutuhkan uang secepatnya. “Halo,” jawab Abbey ketika ponselnya berdering untuk ketiga kalinya. “Abbey?” terdengar balasan dengan suara cowok. Abbey bersiap mematikan sambungan. “Ya,” Abbey menjawab dengan kening berkerut. “Lo, lagi di mana?” “Gue? Gue di kampus. Ini siapa ya?” “Lo buruan cepat pulang. Gue mau sewa rumah atap lo. Gue sekarang udah ada di depan rumah lo.” “Hah? Sebentar, tapi ini siapa?” “Gue, Eidwen Saki.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN