Abbey meletakkan sayuran diskon yang dia beli saat perjalanan pulang ke dalam kulkas yang isinya nyaris kosong melompong. Dia harus berhemat. Keuangan sedang sangat kritis. Usaha katering mama dan tante sedang mengalami kerugian besar, sehingga mama belum bisa mengirimkan uang untuk membayar uang SPP. Padahal tagihan itu harus segera dibayar.
Abbey tinggal sendiri di rumah sejak awal semester tiga. Papa sudah tiada sejak dia SMA, sehingga mama sendirian yang menjadi tulang punggung keluarga. Kebutuhan ekonomi semakin meningkat sejak Abbey kuliah, sehingga mama memutuskan bekerja di luar kota bersama tante untuk membangun bisnis katering bersama. Terkadang mama pulang lima hari sekali, terkadang ketika pesanan sepi, mama bisa pulang tiga hari sekali.
Selama seharian ini, sebentar-sebentar, dia melirik ponselnya, berharap ada panggilan dari seseorang yang berminat menyewa rumah atap miliknya. Namun ponsel itu masih saja tergeletak membeku di atas meja.
Kamar di rumah atap yang akan disewakan itu sebenarnya miliknya. Namun, sudah berhenti dia tempati semenjak mama bekerja di luar kota. Dia pindah ke lantai bawah untuk menjaga rumah.
Abbey tinggal di kawasan yang tenang meski berada di tengah kota. Tetangga tidak terlalu bising karena rata-rata pekerja yang pulang larut malam, serta dia termasuk beruntung tinggal di kawasan pemukiman yang orang-orangnya tak suka ikut campur dengan aktivitas tetangganya.
Halaman rumah Abbey cukup asri, berumput, penuh dengan tumbuhan, dan berpagar tinggi. Sedangkan bangunan rumahnya berbentuk persegi panjang, yang separuh bagian atapnya dicor. Sebuah kamar dibangun di atap beton itu. Rumah atap bukan lah kamar di loteng seperti rumah bertingkat dua pada umumnya, melainkan benar-benar rumah mungil yang dibangun di atap. Dengan halaman dari lantai semen dan sepetak taman yang diisi bunga-bungaan dalam pot.
Abbey menyukai rumah atap itu sejak kecil. Dia menyukai ayunan kayu yang diletakkan di salah satu sudut halaman rumah atap, bau bunga-bungaan yang ditanam ibunya, pagar besi yang dirambati tumbuhan yang berbunga di bulan-bulan tertentu, dan tangga besi melingkar menuju halaman depan serta semilir angin dingin di malam hari.
“Seperti tinggal di menara Rapunzel,” ucapnya sering kali kala itu.
Namun sekarang, dia harus merelakan rumah atap itu untuk disewakan sebagai tambahan uang kuliah. Ide itu dia cetuskan beberapa hari yang lalu, dan mama mengijinkan asal si penyewa adalah cewek.
Ponselnya berdering, Abbey segera menyambar ponselnya di meja. Sebuah pesan masuk. Dari Casandra. Cewek itu mengirim foto bersama Egra di sebuah kafe. Egra terlihat sedang mengantre di kasir, sepertinya cewek itu mengambil foto tanpa sepengetahuan Egra.
“Kencan pertama bersama Egra.” Tulisnya, disertai banyak emoji berbentuk hati. Cewek itu selalu berusaha mencari gara-gara dengannya.
Abbey mengela napas. Dia memang meyakini bahwa Egra menyukai Casandra, tapi dia tak sepenuhnya yakin jika si mak lampir itu juga balas menyukai Egra sebanyak Egra menyukainya.
Terkadang, Abbey merasa, Casandra hanya mempermainkan Egra demi menyakiti hatinya. Namun terkadang pula, Abbey melihat cara Casandra menatap Egra seperti cewek yang benar-benar kasmaran. Entahlah. Padahal saat kelas sepuluh, Casandra juga sering mengolok-olok Egra karena cowok itu bersahabat dengan Abbey, tapi sejak drama Putri Tidur itu, segalanya berubah. Casandra mendadak menetapkan pikiran bahwa Egra cowok yang lumayan baginya dan Egra menyukai hal itu.
Abbey juga selalu menyukai Egra, sebagai sahabat dan mungkin lebih dari itu. Dia sendiri tak yakin akan perasaannya.
Jendela mulai menunjukkan langit yang menggelap di luar sana. Abbey menghidupkan lampu-lampu ruangan selagi berjalan ke kamar. Hari ini terasa begitu panjang. Menyebar selebaran, Egra berkencan dengan Casandra, terlambat di kelas Miss Erma, nyaris dipecat dari perpustakaan dan berinteraksi dengan cowok aneh bernama Eidwen Saki.
Mengingat kejadian di perpustakaan tadi, membuat Abbey mendadak mengamati lengannya. Sendi pergelangan tangannya tampak begitu menonjol, serta lingkar lengannya sangat kecil. Sepertinya dia memang kehilangan banyak berat badan semenjak awal semester. Dia harus lebih banyak makan makanan yang bergizi mulai sekarang jika dia tidak ingin membuat mama khawatir. Tapi di samping itu, dia juga harus berhemat. Lalu bagaimana caranya bisa makan banyak sekaligus berhemat?
Ah, memusingkan.
***
Ketika Eidwen turun dari kamarnya pagi ini, rumah terlihat lengang. Sepertinya ayahnya sudah berangkat ke kantor. Membuatnya sedikit lega karena tidak harus bertemu dengan pria itu setelah pertengkaran di mobil kemarin. Eidwen bergegas berangkat ke kampus karena terlalu lama berada di dalam rumah mewah di kawasan elit ibu kota ini membuatnya merasa sesak.
Eidwen melangkah menuju garasi kemudian terkejut ketika melihat mobil miliknya tidak berada di tempat. Semua mobil cadangan juga tidak ada, bahkan motor miliknya ikut menghilang. Garasi kosong melompong.
Selama sesaat, dia dilanda kebingungan, ke mana semua kendaraan pergi? Sekarang bukan waktunya untuk membayar pajak kendaraan, kan? Lalu secara perlahan dia sadar. Seusai pertengkaran kemarin, ayahnya tidak mungkin hanya diam dan duduk-duduk saja. Pria itu pasti melakukan sesuatu.
Jika Eidwen tidak mau pindah jurusan atau pindah ke luar negeri, itu berarti dia tidak bisa melanjutkan kuliah.