° Episode - 1 °
"Apa?"
Reina Putri Tarumaharja.
Dia segera membalikkan tubuhnya cepat, beranjak dari kursi rias kemudian menghampiri Ambar, sang Mama yang saat ini tengah duduk diatas kasurnya. Tangannya masih membawa brush juga blush-on yang akan di apply kan ke pipinya. Wajahnya masih terkejut, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari sang Mama.
Reina ternganga, sulit berkata-kata. Dia menatap tak percaya Ambar. “Ini serius apa bercanda sih, Ma?” tanya Reina memastikan, dia berharap ini hanya candaan. Atau, ini hanyalah kesalahpahaman saja. Mungkin saja kan dia salah mendengar? Dan, kalau memang iya dia salah dengar, dia akan langsung pergi ke THT untuk memeriksakan kesehatan telinganya ini. Jangan sampai, permasalahan ini merusak masa depannya.
Ambar mengangguk, berdehem. “Iya, serius. Mama dengar sendiri Papa kamu ngobrol tadi sama temannya.” ucap Ambar, dia mengulum senyumnya melihat ekspresi yang ditunjukkan Reina. “Kamu mau dijodohin sama anak dari teman Papa.”
Reina memekik, dia langsung bersandar di sandaran sofa kecil yang ada di kamarnya. Wajahnya tak percaya nya kini berubah menjadi masam, kesal dengan keputusan yang diambil Papa nya. Dia sebenarnya sudah tahu masalah perjodohan ini, penolakan pun sudah dia lontarkan. Dia pikir, semuanya akan selesai begitu saja. Tapi, dia lupa. Siapa Papa nya. Mana mungkin Papa berpihak padanya?
“Ih... Papa punya masalah apa sih sama aku? Main jodoh-jodohin aku aja. Aku tahu, aku ini gak punya pacar, tapi bukan berarti aku gak punya cowok. Aku punya cowok!” ucap Reina kesal, dia menatap Ambar yang kini tersenyum geli melihatnya.
Reina mengangguk yakin, “Asli, Ma. Aku punya cowok kok! Aku masih laku kok! Tapi, Papa bersikap seakan aku ini gak laku, gak ada yang suka. Ih, nyebelin banget sih Papa.” dengus Reina, dia berdecak pelan. “Lagian nih, ya. Aku masih mau rintis usaha cafe sama kue aku. Masa nanti tiba-tiba udah ada di puncak, aku harus turun gitu aja cuma karena pernikahan? Enggak mau, ah!”
Reina beranjak, menghampiri Ambar dan duduk disampingnya sambil menggenggam erat tangan Mamanya. “Ma, bantuin dong supaya Papa gak jodohin aku.”
“Ya ampun, Rein. Kamu kayak gak tahu Papa kamu aja deh. Lagian, Mama bisa apa? Cegah? Gak bisalah. Susah tahu pengaruhi Papa kamu tuh.”
Reina membenarkan ucapan Ambar, Papa nya memang bukan tipikal orang yang mudah terpengaruh. Sulit sekali mempengaruhinya. Yang ada, justru Papanya yang mempengaruhi semua orang.
Reina mendesah pelan, “Ma, tapi aku beneran gak mau. Gimana dong?” tanya Reina frustasi, dia pura-pura terisak kini.
“Udah, kamu terima aja. Lagipula, Papa gak mungkin asal. Dia pasti pilihan calon terbaik buat kamu, gak mungkin abal-abal.”
Sungguh, saran dari Ambar yang tak memberikan efek ketenangan untuk Reina kini. Jadi, dia harus apa nanti?
***
Brak!
"Lo kenapa? Datang-datang muka udah cemberut aja, mana main banting berkas-berkas lagi. Aneh Lo!"
Dia, Maharatu—teman dekat sekaligus rekan bisnis cafe dan kue Reina. Perempuan berambut bondol itu mengerutkan keningnya menatap Reina yang baru datang dengan bibir mencebik. Sedikit terkejut saat tiba-tiba perempuan itu membanting kasar barang bawaannya, untungnya hanya setumpuk kertas-kertas berisikan deretan angka. Bukan barang mudah pecah. Kalau iya, hancur sudah!
Maha panggilan dari Maharatu.
Maha mengendikan bahunya melihat keterdiaman Reina, lebih memilih melanjutkan kembali kegiatan membuat rainbow cake. Tak mau ambil pusing, toh sebentar lagi perempuan itu pasti menceritakan permasalahannya.
"Masa gue mau di kawinin sih, Ma?"
Benar, bukan?
Maha kembali menghentikan kegiatannya, dia mengerutkan kening mendengar pernyataan atau pertanyaan yang dilontarkan Reina. "Maksudnya?" Tanya Maha, dia membalikkan tubuhnya berniat mengambil pewarna makanan gel di laci.
Reina duduk di kursi, memangku kedua pipinya menggunakan telapak tangannya, matanya terpejam beberapa saat dengan pikiran yang menerawang mengingat kembali ucapan sang Mama.
Reina menghela napas kasar. "Ayah mau jodoh in gue sama anak temennya itu. Masa gue yang masih muda udah dipaksa nikah sih, Ma? Gila gak tuh!" Tukas Reina kesal, dia berdecak.
Maha terkekeh, dia menuangkan sedikit pewarna makanan tersebut kedalam adonan cake yang sudah dibaginya kedalam beberapa wadah. Dia sebenarnya tak terlalu terkejut, pasalnya Reina sudah pernah menceritakan ini beberapa hari yang lalu mengenai rencana perjodohan itu. Hanya saja, tak menyangka jika akan secepat ini.
“Yang Lo sebut gila tuh, bokap Lo tahu!" Ucap Maha, dia mengaduk perlahan adonan tersebut agar warnanya tercampur sempurna.
Reina mencebik. Benar juga ucapan Maha. Tapi, Papa tak mungkin gila lah. Hanya saja ... Entahlah. Apa yang dipikirkan Papa saat mengambil keputusan secara sepihak itu. Bisa-juga berencana menjodohkan Reina di zaman modern seperti sekarang. Aneh.
"Gue harus gimana dong?" Tanya Reina, dia menatap setiap pergerakan Mah. "Gue benar-benar gak mau nikah karena perjodohan. Gue mau nikah, tapi sama orang yang emang benar-benar gue mau gitu." lanjutnya.
Maha tersenyum, dia menatap Reina. "Menurut gue sih, mending Lo terima dulu aja. Karena gue yakin, bokap lo gak mungkin salah pilih. Dia gak mungkin, pilih orang yang salah buat jagain putrinya. Anak satu-satunya ini. Percaya deh!" Jawab Maha.
Reina berdecak, memutar jengah bola matanya mendengar jawaban Maha. Kenapa juga harus sama seperti yang diucapkan Mamanya. “Unfaedah banget jawaban lo.” balas Reina, dia mendengus.
"Loh, emang yang faedah itu yang gimana?” tanya Maha balik, dia mengendikan bahunya. “Emang benar kok. Gak mungkin bokap Lo asal-asalan. Lagian nih, ya. Coba Lo pikir, kapan bokap Lo ngambil keputusan yang salah buat Lo? Pernah? Gak kan?” tukas Maha, dia menjentikkan jarinya melihat keterdiaman Reina. “Benar dong omongan gue ini.”
Benar memang apa ya diucapkan Maha. Papa Reina tak percaya salah mengambil keputusan untuknya. Bahkan, sering sekali disini Reina yang salah mengambil keputusan. Hal yang mungkin dia anggap, namun tidak dengan pemikiran Papa nya. Begitupun sebaliknya. Nyatanya, sang Papa selalu memberikan yang terbaik.
“Apa Papa udah bosan, ya ngurusin anak kayak gue?”
Maha mengerutkan keningnya, tak mengerti dengan pertanyaan yang dilontarkan Reina. “Maksud, Lo?" tanya Maha bingung.
“Kan, gue sedikit nackal gitu. Egois, keras kepala, batu gue tuh. Mana pecicilan lagi, terus...”
Maha mengulum senyumnya mendengar ucapan Reina. Tanpa sadar, Reina sedang mengungkapkan keburukannya sendiri.
“... Apa karena itu Papa mau jodohin gue?” tanya Reina, dia menoleh pada Maha yang kini sudah tersenyum lebar jadinya.
“Ngapain ketawa? Ini gue lagi serius.”
“Ya, abisnya Lo jujur banget sih! Lo tuh dari tadi ngomongin kejelekan Lo tahu. Kejelekan yang selalu lo sanggah kalau gue bilangin. Tapi, tadi? Lo dengan jujurnya, dengan lancarnya bilang itu semua.”
Reina sadar kini, dia malu dan gelagapan jadinya. “Apaan sih Lo? Orang enggak kok. Gue ini anak baik-baik.”
“Lo tuh—"
Reina dengan cepat beranjak dari duduknya, menatap sebal Maha yang sudah dibuat tertawa olehnya. “Udah, ah! Gak bermanfaat curhat sama Lo. Gak ada solusi! Bye!”
Maha mengendikan bahunya, dia masih juga tertawa. “Bodoh amat!” ucap Maha tak peduli. “Itu, Lo jangan lupa bekas peralatan kue nya Lo cuci sampai kinclong. Jangan lupa juga, tuh di oven 15 menit. Terus...”
“Iya, Bu bos... Iya. Siap!”
Reina sebaiknya memang menyibukkan diri dengerin pekerjaannya daripada sibuk dengan pemikirannya mengenai perjodohan yang direncanakan Papa nya.
Semangat, Reina!