° Episode - 2 °

1311 Kata
Pria dengan perawakan tinggi jangkung, bertubuh atletis dengan wajah tampan di atas rata-rata, senyuman yang tak pernah terlukis di bibirnya, tak lupa juga tatapan tajam yang selalu terlihat dari sorot matanya. Kini berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Sebuket bungan dibawanya, sengaja dibawa untuk dia berikan pada orang yang dikunjungi nya di sini. Rakabumi Putra Bangsa. Dia menghentikan langkah nya didepan pintu ruang Anggrek nomor 4, tempat yang jadi tujuan utamanya datang kesini. Seulas senyum pun ditunjukkannya bersamaan dengan didorong nya pintu tersebut. Senyuman semakin tercetak lebar dibibir Rakabumi saat dirinya mendapati sang kekasih yang saat ini tengah duduk diatas ranjang rumah sakit dengan makanan yang ada diatas meja dihadapan nya. Hal tersebut, sudah dilihatnya beberapa hari terakhir sejak kekasihnya di rawat disini. “Raka,” Rakabumi melangkahkan kakinya menghampiri wanita tersebut, memberikan pelukan singkat juga kecupan di puncak kepalnya. “Hai, sayang... “ balas Rakabumi, dia menyerahkan buket bunga yang dibawanya. Renata, kekasih dari Rakabumi yang kini tersenyum manis di bibirnya yang pucat. Sudah beberapa hari ini dirinya dirawat disini karena penyakit yang dideritanya, sedih saat tahu itu semua. Namun, senang dan bersyukur karena ternyata masih ada Rakabumi yang senantiasa bersamanya, mendampinginya. Renata menerima buket bunga tersenyum, menghirup wangi dari bunganya dan tersenyum menatap Rakabumi yang tengah memperhatikannya. “Wangi banget, aku suka. Makasih, ya.” ucap Renata, dia tersenyum kembali. Rakabumi mengangguk, tersenyum pada Renata. Dia memang hanya menunjukkan senyumannya itu pada beberapa orang saja, tak sembarang orang bisa melihat senyumnya. Jadi, tak ayal jika dirinya dianggap sombong dan angkuh hanya karena itu semua. Rakabumi menarik kursi dan duduk disana. “Kamu suka kan?“ tanya Rakabumi yang sudah pasti mendapat anggukan dari Renata. Dia kini menggengam tangan Renata yang terbebas dari infus, mengecupnya tanpa henti punggung tangan perempuan itu. “Sorry banget, ya aku telat datang kesini. Hectic banget tadi di kantor, banyak kerjaan juga meeting yang gak bisa di wakilin. Makanya, aku telat datang kesini.“ Renata tak masalah sebenarnya, dia juga memaklumi itu semua. Rakabumi bukan orang biasa, sudah pasti dia akan sibuk dengan perusahaan keluarga yang dipimpinnya. Jadi, tak aneh jika Rakabumi sibuk orangnya. Tapi, dia ingin menggoda pria itu saat ini. Renata menggeleng, mengerucutkan bibirnya seperti biasa jika dirinya merajuk. “Gak mau dimaafin. Kamu gak kasih kabar ke aku, jadinya aku nungguin deh.“ Rakabumi justru tersenyum melihat Renata yang merajuk padanya. Sifat seperti ini yang dia suka dari Renata. Tak sedikitpun dia merasa risih atau terganggu dengan sifat yang ditunjukkan Renata, namun justru sebaliknya. Dia suka dan senang akal hal itu. Justru, dia akan merasa aneh dan kehilangan jika Renata tak seperti sekarang. Ada yang kurang menurutnya. "Kalau di kasih ini, masih ngambek gak?" Cup. Renata terkekeh, tak terkejut sama sekali. Toh, memang ini tujuan utamanya, mendapatkan kecupan di pipinya dari Rakabumi. Meskipun sebenarnya, tanpa cara apapun dia bisa saja memintanya. Lagian, Rakabumi sering juga menciuminya. Hanya saja, dia sedang ingin menjahili Rakabumi, sedikit. "Bilang aja kali, kalau mau di cium." "Apaan sih!" Rakabumi hanya bisa tersenyum lebar mendapati wajah kemerahan dari kekasihnya, dia senang sekali melihat kebahagiaan itu. Setidaknya, perempuan itu masih bisa bahagia setelah selama ini selalu merasa bersedih. Apalagi saat mendengar vonis yang diberikan dokter padanya. "Ya udah, mending sekarang kamu lanjutin aja makannya. Biar aku suapi ya?" Dan tanpa menunggu lama, Rakabumi sudah mengambil alih piring saji berisikan makanan milik Renata. Pria itu menyuapi dengan telaten dan penuh perhatian pada kekasihnya. Sedangkan, Renata hanya bisa diam menerima dengan senyuman di wajahnya. Dia bersyukur, memiliki Rakabumi di hidupnya. Setidaknya, takdir masih memberikan kebahagiaan bukan kesedihan semata. Renata terdiam, dia teringat sesuatu. Keterdiaman wanita itu membuat Rakabumi mengerutkan keningnya bingung, menatap penuh tanya pada wanita yang tengah memakan makanan yang disukainya dengan kedua tangan yang memegang erat buket bunga yang dibawanya. "Kamu kenapa?" Renata mendongak, menatap sendu Rakabumi. "Gimana sama perjodohan kamu? Masih berlanjut?" Tanya Renata, dia sebenarnya sakit setiap kali bertanya demikian. Dia tak rela, kebahagiaannya nanti akan pergi. Tentu saja, dia tak mungkin menjalin hubungan dengan suami orang. Wajah Rakabumi berubah masam, dia paling tidak suka jika diingatkan pada hal demikian. "Ngapain sih obrolin yang begituan? Udahlah, mending kita ngobrol tentang kita aja." "Tapi, aku pengen tahu." Rakabumi menghela napas pelan, dia menyimpan piring saji tersebut diatas nakas kemudian menatap intens Renata. "Aku gak mau, kamu terluka cuma karena dengar ini." ucap Rakabumi tulus, dia memang tak ingin Renata terluka karena keputusan yang telah diberikan keluarganya. "Tapi, aku bakal jauh lebih terluka kalau tahu kenyatannya setelah kamu jadi milik orang lain." Rakabumi berdecak, tangannya menggenggam tangan Renata. "Apapun yang terjadi nangis, Aku tetap milik kamu, selamanya." ucap Rakabumi yakin, dia seyakin itu. Renata menarik tangannya dari genggaman Rakabumi, dia menggeleng pelan. "Enggak, setelah kamu menikah sama dia." balas Renata sendu. "Jadi, gimana keputusan Ayah kamu?" tanya Renata, lagi. Dia butuh jawaban. Rakabumi menghela napas kasar. "Masih sama, ayah masih sama pendiriannya. Tetap kekeh mau jodohin aku sama anak temannya." Benar, bukan? Firasat Renata selama ini benar adanya. Entah apa, dia sendiri tak tahu. Ketidaksukaan ayah Rakabumi padanya membuat dia yang sudah menjalin hubungan cukup lama dengan Rakabumi tak pernah bisa berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Tak pernah ada celah sedikitpun untuknya bisa mendapatkan restu keluarga Rakabumi, terutama ayah dan nenek pria itu. Sulit sekali rasanya, bahkan dia menyerah sekarang saat tahu rencana keluarga Rakabumi itu. Renata mencebikkan bibirnya, dia mencoba menahan sesak di dadanya. "Mending sekarang kamu pulang aja, aku mau istirahat." ucap Renata dengan senyuman lebar yang terkesan dipaksakan di mata Rakabumi. Rakabumi menghela napas kasar, benar bukan prediksinya tentang sikap yang akan diberikan Renata padannya. Makanya, dia tak pernah mau membahas hal ini. Tapi, wanita itu selalu saja memaksanya. Padahal jelas-jelas, dia sendiri yang merasa sakit. "Ren," "Aku capek, mau istirahat aja." "Udah aku bilang, kita jangan bahas ini lagi. Aku—" Drtt ... Getaran di ponsel Rakabumi membuat Renata menatap pria itu, dia tahu siapa penelpon itu. Sedangkan, Rakabumi menatap layar ponselnya. Dia tak berniat mengangkat sedikitpun panggilan tersebut. Sehingga, ponsel tersebut lebih dia pilih untuk diletakkan diatas nakas. Dia butuh bicara dengan Renata. "Ren—" "Angkat telponnya! Aku gak mau, ayah kamu salahin aku lagi cuma karena kamu gak nurut sama dia." Huh! Rakabumi menghela napas kasar. Dengan malas, dia mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan benda pipi tersebut di telinganya. "Hallo, yah?" "Kamu dimana? Jangan bilang kamu lagi ketemu sama pacar kamu itu." "Enggak, aku lagi makan siang di luar." "Jangan bohong sama Ayah. Jujur, kamu dimana? Ayah gak suka ya, kamu masih berhubungan sama perempuan itu. Udah berapa kali ayah bilang, jangan pernah kamu berhubungan sama dia. Dia itu bukan perempuan baik-baik, dia—" Rakabumi memutar jengah bola matanya. "Ayah ada apa telpon aku?" potong Rakabumi, dia tak mau lagi mendengar cacian Ayah tentang kekasihnya. Sudah cukup. "Kamu temuin ayah di cafe Kokkie sekarang juga, ada yang mau ayah bicarakan sama kamu." "Apa harus sekarang juga?" tanya Rakabumi malas, dia masih ingin bersama Renata. "Iya, ayah tunggu kamu secepatnya." Rakabumi hanya berdehem sebelum akhirnya panggilan tersebut diputus sepihak oleh ayahnya. Dia memasukkan kembali ponselnya ke saku celana bahan berwarna hitam yang dikenakannya kemudian menatap Renata. Renata tersenyum pilu. "Gakpapa, kamu pergi aja. Kan udah biasa." "Ren—" "Sini!" titah Renata, dia meminta Rakabumi untuk memajukan tubuhnya dan hanya dalam hitungan detik kecupan pelan di pipi lelaki itu di berikan nya. "Dah, sana! Kasihan ayah kamu tungguin kamu." "Bener?" Renata mengangguk yakin, meskipun sebenarnya bukan itu yang diinginkannya. "Iya, udah sana." jawab Renata yakin. "Yaudah, aku pergi dulu ya." ucap Rakabumi, dia beranjak berdiri. "Kamu abisin makanannya terus minum obat. Nanti aku balik lagi kesini." sambung Rakabumi yang diangguki Renata. "Aku pergi, ya." "Hati-hati." Cup. Renata hanya bisa tersenyum mendapat kecupan dari Rakabumi, dia hanya menatap kepergian pria itu. Dan, tepat saat Rakabumi hilang dibalik pintu, saat itu juga dia menunduk menyembunyikan air matanya. Dengan sekali kedipan mata, air matanya luruh juga. "Kenapa sih, hubungan kita kayak sulit banget gini?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN