° Episode - 3 °

1525 Kata
“Yaudah, biar gua aja yang beli makan siangnya.“ Reina melepas apron berlogo kan cafe nya, menyimpannya ditempat biasa kemudian menghampiri Maha yang saat ini tengah menikmati segelas ice coffee latte. “Mau makan apa?“ "Gue pengen chicken teriyaki sama udang gorengnya." "Oke." "Lo yang traktir kan?" Baru saja hendak meminta uang belanjanya, namun Naha sudah lebih dulu melontarkan pertanyaan demikian. Apalagi, Maha bertanya dengan wajah sok manis yang perempuan itu buat. Membuat Reina jadi sulit menolaknya, mengingat jika kemarin dirinya juga ditraktir oleh perempuan itu. Alhasil, Reina mengangguk sebagai jawaban yang sontak menciptakan senyuman lebih dibibir Maha. “Thank you bestie... Terbaik deh, traktir gue mulu!“ Reina memutar jengah bola matanya, dia beranjak berdiri. “Terpaksa sebenarnya.“ jawab Reina, dia sudah melangkah pergi. Maha terkekeh, “Jangan gitu lah. Oh, iya! Hati-hati kalau ke cafe Bima, banyak cogan seliweran disana. Siap-siapin hati aja, takut ada yang nyantol satu gitu.“ Reina terkekeh mendengar peringatan yang diberikan Maha, dia mengangguk-angguk. “Amin... Semoga aja ada yang nyantol satu. Siapa tahu bisa jadi cara gagal in perjodohan gue kan? Alhamdulillah.“ Maha terkekeh mendengarnya Ada-asa saja Reina ini. Meskipun banyak hal aneh, sifat aneh dan ajaib dari Reina, tak bisa dimungkinkan jika Maha amat bersyukur bertemu Reina. Setidaknya, perempuan itu benar-benar mengubah nasibnya. *** Reina melangkahkan kakinya memasuki tempat yang disebut cafe—namun menurutnya lebih ke restoran, entah dia tak tahu—yang berada tepat didepan cafenya. Sebenarnya antara tempat ini dan cafenya tak pernah sepi pelanggan, hanya saja bedanya beberapa orang yang ingin menikmati makanan berat akan datang kesini, sedangkan mereka yang hanya sekedar ingin memakan sesuatu yang manis dan segar pasti akan datang ke cafe nya. Dan juga, dia sudah hapal betul dengan pemiliknya. Bima, si pemilik tempat ini yang merupakan teman dekatnya juga Maha. Mereka bertiga dekat bukan main, meskipun antara Maha dan Bima selalu saja ada yang jadi permasalahan. "Wah ... Kebetulan banget, Lo datang Rein." Reina mengerutkan keningnya bingung mendengar ucapan Bima—si pemilik cafe ini. Dia yang baru saja sampai, hendak memesan makanan malah dikejutkan dengan pernyataan yang dilontarkan pria itu. "Kenapa emangnya?" Bima menggaruk ujung alisnya, dia berdecak pinggang dan tersenyum bahagia melihat kedatangan Reina. "Gue benar-benar keteteran banget sekarang, banyak banget pesanan sama pelanggan disini.” ucap Bima yang di angguki Reina. “Berhubung lo datang kesini, sekalian aja lo bantuin gue disini.“ "Dih, ogah banget. Lo kan punya banyak karyawan, ya udah lo tinggal suruh mereka." Bima berdecak, dia memutar malas bola matanya. Tangannya terulur mencubit gemas kedua bola pipi Reina yang tak seberapa itu. "Kalau emang semua karyawan gue ada disini, gue juga gak bakal ikut keteteran kayak gini. Reina sayang ..." Reina berdecak, dia memukul kasar kedua tangan Bima yang masih bertengger manis di pipinya. Benar juga sih ucapan Bima. "Mau, ya?" Reina terdiam, berpikir sejenak. Dia melirik cafenya di depan, tak seramai cafe Bima. Sehingga, dia pikir Maha masih bisa menghandle semuanya disana seorang diri. "Please, Rein ..." Reina menghela napas kasar. "Ada bayarannya gak?" tanya Reina, dia becanda loh. "Ada." Namun, dibalas serius oleh Bima. Akhirnya, Reina mengangguk mengiyakan membuat senyuman lebar tercetak di wajah tampan Bima. Pria itu segera menariknya, memakainya apron yang sama dimana semua karyawan disini mengenakan itu semua. "Makanya, karyawan tuh di gaji. Supaya gak kabur-kaburan." ucap Reina, dia terkekeh. Sedangkan, Bima yang tengah mengikat tali apron yang dikenakan Reina hanya bisa berdecak sambil berdehem. Beruntung, Reina datang kesini. *** Rakabumi segera melangkahkan kakinya memasuki tempat yang dimaksud ayahnya. Dia yang terlihat paling formal diantara orang-orang yang berpakaian santai kini menjadi pusat perhatian, wajah tampannya pun semakin membuat orang-orang penasaran dengan dirinya. Matanya dia edarkan, mencari keberadaan ayahnya. Namun, dia tak menemukannya juga. Daripada dia berdiri kaku, lebih baik dia mencari tempat duduk. Toh, tak nyaman rasanya menjadi pusat perhatian. Meskipun, ini bukanlah yang pertama kalinya. Karena menjadi pusat perhatian sudah sering dialaminya sejak duduk di bangku sekolah dasar. "Mau pesan apa, Pak?" Rakabumi mendongak, kesal dengan panggilan yang baru di lontarkan pelayan cafe disini. Apa dia setua itu sehingga dipanggil dengan embel-embel bapak? Namun, dia tak mau mempermasalahkannya. Tak ada gunanya, pikirnya. "Yang paling direkomendasikan disini apa?" tanya Rakabumi, dia baru pertama kali datang kesini. "Semuanya di rekomendasikan, pak." Rakabumi mendongak, menatap wajah cantik pelayan tersebut. Dia terdiam sejenak, merasa tak asing dengan wajah itu. Namun, cepat-cepat dialihkan pandangannya saat tiba-tiba perempuan tersebut berdehem. "Jadi, bapak mau pesan apa?" Rakabumi menyerahkan kembali daftar menu yang tadi di lihat-lihat nya. "Terserah kamu aja, pilih buat porsi dua orang." ucap Rakabumi acuh, dia memilih membuka ponselnya berniat menghubungi ayahnya. "Ya udah, pak. Saya permisi dulu." Rakabumi hanya berdehem, dia segera menempelkan benda pipi tersebut ke telinganya. Panggilan sudah tersambung, namun ayahnya masih belum juga mengangkat panggilannya. "Ayah kemana sih? Gak jelas banget. Minta ketemuan, tapi dihubungi gak diangkat." Sedangkan, di lain tempat. Reina berdecak sebal, bersandar pada kitchen set menatap Bima yang tengah memasak beberapa hidangan. Reina masih sebal dengan sikap acuh pelanggan tadi, apalagi saat tatapan pria itu tertuju padanya. Dia juga wanita biasa yang bisa terpesona, apalagi pria tadi memiliki wajah yang luar biasa. Bima melirik Reina. "Lo kenapa?" tanya Bima, dia mengangkat wajan berisikan nasi goreng kambing yang baru selesai dibuatnya, menuju piring yang sudah disiapkannya sebelumnya. Reina menoleh, memutar tubuhnya menghadap Bima. “Masa tadi ada cowok, pakai jas datang kesini. Eh, pas gue tanya mau pesan apa, dia malah lihatin gue terus. Mana lama pula. Pas gue tanya lagi mau pesan apa, dia malah jawab terserah. Mana pesan dua porsi lagi. Padahal jelas-jelas dia datang sendiri kesini. Aneh banget!” Bima terkekeh. "Suka kali sama Lo." "Dih, mana ada? Gue tau, gue belum punya pacar. Tapi, gue sadar diri ya. Dia itu bagaikan langit dan gue bumi. Dia yang wow banget gak mungkin sama gue yang ewh banget." ucap Reina, dia menggeleng tak percaya. Dia tak mau langsung baper jadinya. "Jangan ngaco kalo ngomong, kalau di aminin malaikat, gimana? Mau tanggung jawab?” "Ya bagus, lah." timpal Bima, dia menyerahkan makanan tersebut ke karyawannya yang lain. "Nomor, 13 ya." ucap Bima yang diangguki karyawan tersebut. "Ya, tapi mana mungkin gitu. Lagian, halu kok ketinggian." "Dih, justru kalau Lo halu tuh jangan tanggung-tanggung. Wajib dan mesti banget tinggi kalau berhalu tuh. Namanya juga halu." Reina berdecak. "Dasar! Udahlah, mending cepatan Lo bikinin tuh pesanan cowok itu. Daripada nanti dia marah-marah karena lama nunggu." Tukas Reina, dia memilih berjalan menuju makannya yang telah dibuatkan Bima namun belum sempat disentuhnya. "Rein, jangan makan dulu!" Belum sempat makanan itu masuk ke mulutnya suara Bima lebih dulu mencegahnya. Kening Reina sudah mengerut bingung, tak mengerti kenapa pria itu melarangnya. "Kenapa? Gue lapar." ucap Reina. Bima terkekeh. "Siapa tahu, tuh cowok mau ajak Lo makan berdua lagi." tukas Bima yang semakin membuat kerutan di kening Reina semakin dalam. Bima terkekeh, senang sekali menjahili Reina. "Ya, kan Lo sendiri yang bilang. Katanya dia lihatin Lo mulu, terus pesen makanan buat dua porsi sedangkan dia datang sendiri. Siapa tahu, kan?" Reina terdiam, otaknya yang pas-pasan justru malah memikirkan ucapan Bima yang bisa dibilang masuk akal. Hanya saja ... Mana mungkin! *** Reina melangkahkan kakinya menuju meja pria berjas itu dengan nampan berisi makanan beserta minumannya. Entah kenapa, memikirkan ucapan Bima membuat setiap langkah kakinya terasa berat dengan debaran aneh di dadanya. Dia mencoba yakin, tak mungkin ini debaran jatuh cinta. Mana mungkin dia bisa langsung jatuh cinta begitu saja, bahkan dengan orang yang sama sekali tak dikenalnya. Jangankan di kenal, melihatnya saja dia baru kali ini. "Maaf ini pesanannya." Pria yang tak lain adalah Rakabumi itu mendongak, menatap Reina yang telaten memindahkan piring dan gelas dari nampan keatas meja. Hal tersebut tak lepas dari Reina yang bisa merasakan tatapan Rakabumi. "Permisi," Baru saja tubuh Reina berbalik, berniat pergi meninggalkan Rakabumi. Suara bariton Rakabumi menghentikan langkah nya, meminta Reina untuk tak langsung pergi. "Sebentar! Saya—" Cepat-cepat Reina membalikkan tubuhnya, menatap cemas dengan wajah memerah karena malu. Entah kenapa wajahnya harus blushing saat ini juga, karena orang asing pula. "Aduh ... Sorry, ya pak. Kita baru ketemu, saya gak kenal bapak begitupun sebaliknya. Jadi, bapak jangan berharap saya mau makan temenin bapak disini." Rakabumi terlonjak kaget, berkerut bingung mendengar penuturan Reina yang begitu cepat. "Maksud kamu?" tanya Rakabumi, dia tak mengerti maksud ucapan Reina. "Bapak sengaja kan, pesan dua porsi makanan buat saya juga kan? Tadi juga bapak terus perhatiin saya. Please deh, pak. Kita baru ketemu, saya—" "—Raka!" Mereka mengalihkan atensinya pada seorang pria paruh baya dengan jas yang melekat di tubuhnya. Sedikit kumis dan brewok tipis yang menghiasi wajah pria itu, namun tak mengurangi ketampanannya sedikitpun. Meskipun Reina tahu, pria itu sudah berumur. Terlihat jelas dari garis-garis yang tercetak di wajah itu. "Ada apa?" Reina menatap pria yang dipanggil Raka, hatinya berkata ada yang tak beres dan dia baru saja melakukan kesalahan. "Enggak ada kok, Yah. Cuma ada cewek yang ke ge-er gitu. Tapi, udahlah bukan masalah besar juga." jawab Rakabumi, dia melirik sekilas Reina yang mengedarkan pelukannya pada nampan. "Oh iya, mbak. Saya mau tanya, toilet dimana?" sambung Rakabumi melanjutkan maksudnya. Reina yang sadar apa yang terjadi sekarang, merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia kegeeran seperti tadi coba? Tck!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN