° Episode - 4 °

1238 Kata
"Rein lama banget sih, Lo! Gue kelaparan tahu!" Reina mengacuhkan gerutuan Maha saat dirinya masuk ke cafe. Tanpa banyak bicara, dia menjatuhkan begitu saja bokongnya di sofa dan langsung menenggelamkan wajahnya diantara lipatan tangannya diatas meja. Hal tersebut tak lepas dari atensi Maha. Maha mengerutkan kening bingung, dia berjalan keluar dari balik etalase kue kemudian menghampiri Reina yang masih terdiam itu, meskipun pekikan pelan terdengar di telinganya. “Lo kenapa sih, Rein? Aneh banget deh!” ucap Maha, dia duduk disamping Reina. Matanya tak menemukan satu makanan apapun yang dibawa Reina. “Terus makanannya mana? Lo beli makan 'kan?” tukas Maha. Reina memekik pelan, merutuki dirinya sendiri atas kejadian yang baru saja menimpanya beberapa saat yang lalu. Dia menegakkan tubuhnya kembali, menatap sedih Maha yang masih bingung melihatnya. “Maha... ” isak Reina, dia langsung memeluk Maha yang terkejut dengan tindakannya. “Eh, eh, eh lo kenapa ini? Dih, nangis gak jelas gini.” ucap Maha, dia mencoba melepaskan pelukan Reina dengan paksa dan menatap serius sahabatnya itu yang kini mencebikkan bibirnya. “Udah telat, datang gak bawa makanan dan sekarang lo tiba-tiba nangis gitu aja? Kenapa sih, lo? Aneh tahu!” Reina mencebik pelan, “Jahat banget sih lo! Bukannya khawatir sama gue, malah marah-marah!” “Dih, gue aja gak tahu lo kenapa. Ngapain harus khawatir!” “Tapi, Ma. Gue benar-benar malu banget... “ tukas Reina, dia langsung menutup wajahnya menggunakan telapak tangannya. Maha memincingkan matanya, sebal dengan tingkah Reina. “Tuh, mulai lagi gak jelasnya! Males banget!“ kesal Maha, dia berdecak pelan. “Coba lo jelasin dulu kek sama gue. Ada apa dan kenapa lo bisa kayak gini gitu.“ ucap Maha malas, dia mencebik. Reina menengadahkan wajahnya, mengipas-ngipaskan tangannya didepan wajahnya yang terasa panas kini. Efek dari malu membuat wajahnya memerah kini. Dia menghela napas kasar, mencoba untuk tenang dan mulai menceritakan semuanya. Tak ada satupun yang terlewat, Maha harus tahu semuanya. “... Gitu, gue malu banget gila!” Seketika, tawa pun ditunjukkan Maha saat Reina selesai menceritakan semuanya. Bahkan, rasa lapar yang tadi dirasanya meluap seketika. Sedangkan, si empu yang jadi alasan Maha tertawa justru mencebik dan menatap kesal Maha. Mengapa Maha memberikan respon demikian coba! Tck! “Ih... Kebiasaan banget sih, lo! Selalu aja ketawa setiap kali gue cerita. Nyebelin banget!” dengus Reina, dia berdecak kesal karena respon Maha. Maha terkekeh, “Ya, gimana gue gak ketawa coba? Abisnya, semua hal yang terjadi sama lo tuh lucu-lucu ditelinga gue.” jawab Maha, dia terkekeh kembali. “Terus, terus, gimana? Gimana ceritanya lo bisa balik kesini? Bukannya orang itu masih ada disana?” tanya Maha, dia menaikan sebelah alisnya, ingin tahu kelanjutan dari cerita Reina. “Ya, terpaksa gue lewat dapur. Daripada gue lewat depan, terus ketemu cowok itu lagi? Aduh... Gak siap gue. Udah kena mental ini. Tengsin banget juga!“ Maha terkekeh kembali, “Makanya, jadi cewek gak usah kegeeran kenapa? Malu-maluin lo, ah!” Reina mencebik. Mendengar ucapan Maha membuatnya jadi teringat Bima, tersangka utama yang jadi sebab dirinya mengalami hal demikian. Dia mengepalkan tangannya, memicingkan mata tajam. “Awas aja si Bima! Ketemu gue, abis tuh anak! Bisa-bisa nya pengaruhi gue kayak tadi. Nyebelin banget!” “Oh, jadi karena Bima.” “Iya, si nyebelin itu!” Maha mengangguk-angguk saja. “Tapi, masih ada untungnya loh.” ucap Maha yang membuat Reina mengerutkan kening bingung. Maha mengendikan bahunya, “Iya, untungnya lo gak kenal cowok itu. Coba kalau kenal? Duh, malunya sampai ke ubun-ubun itu.” Reina menghela napas lega, dia mengangguk pelan. “Iya juga sih, untungnya gue kenal tuh cowok. Dan, kayaknya tuh cowok juga baru pertama kali kesitu deh, soalnya gue belum pernah lihat sebelumnya. Dan, semoga aja gak kesana lagi karena kalau sampai kesana lagi. Fix, gue berhenti jadi langganan di cafe Bima. ” “Terus nasib gue sekarang gimana?” Reina menoleh, mengerutkan kening bingung. “Maksudnya?” “Lapar, butuh asupan.” “Ya elah, gue juga lapar kali daritadi. Yaudah, pesan online aja kek, apa gitu.“ “Tau gitu, daritadi kek.” “Yaudah, sorry. Buruan deh pesan!” “Oke!” *** "Kamu kenapa sih tadi, kok kayak yang lagi berantem gitu." Rakabumi menatap sekilas ayahnya, dia menelan makanan yang tengah dinikmati nya. Keningnya langsung mengerut bingung mendengar ucapan ayahnya itu. “Maksudnya, Yah?” tanya Rakabumi. Reksabumi, ayah dari Rakabumi. Pria berumur yang memiliki brewok dan kumis tipis yang menghiasi wajahnya. Kumis dan brewok yang dirawat sedemikian rupa sehingga menawan terlihatnya, juga semakin menambah kesan kepemimpinan dalam dirinya. Dimana dia merupakan bos besar dari sebuah perusahaan besar yang masuk dijajaran 10 perusahaan dengan bonafit yang sangat besar. “Itu, pelayan tadi sama kamu. Ada apa sama kalian?” tanya Reksa, dia menaikan sebelah abisnya. Dia merasa perempuan muda yang sepertinya seumuran dengan putranya itu terlihat tak asing, cantik dan berkharisma pula. Rakabumi mengangguk-angguk, mengerti kemana maksud ucapan Reksa. Sebenarnya lucu jika mengingat itu, perempuan dengan kepercayaan diri yang terlalu tinggi. “Gakpapa kok, salah paham aja.” jawab Rakabumi, dia kembali menikmati makanannya. “Cantik, ya?” Rakabumi mendongak seketika, alisnya menukik tajam seketika.“Maksudnya apa, ya, Yah?”tanya Rakabumi tak suka.“Lagian, tujuan aku ketemu sama ayah, juga bukan mau bahas itu kan. Jadi, apa tujuan ayah sebenarnya?” tanya Rakabumi, dia lelah berbasa-basi. “Oke, kalau kamu emang mau langsung to the point, okay, bukan masalah. Jadi, tujuan ayah adalah mau kasih tahu kamu sesuatu. Ayah dan Om Taru udah sepakat, kalau perjodohan antara kamu dan putrinya itu akan dilaksanakan secepatnya.” Rakabumi menghela napas kasar, dia berdecak. Dilepaskan dengan kasar alat makannya, dia menatap jengah ayahnya itu. “Yah, harus berapa kali sih aku bilang? Kalau aku gak mau, aku gak Terima perjodohan ini. Lagipula, aku udah punya pilihan aku sendiri. Jadi, ayah gak perlu repot-repot cari perempuan buat aku.“ Reksa memutar jengah bola matanya, dia mencondongkan tubuhnya pada Rakabumi. “Dan, ayah juga udah pernah bilang sama kamu, kalau ayah gak minta persetujuan kamu. Lagipula, perempuan yang kamu kenalkan itu gak dapat restu dari semuanya. Seharusnya, kamu ngerti itu. Lagipula, ini semua juga demi kebaikan kamu!” Rakabumi menarik sinis sudut bibirnya mendengar ucapan ayahnya itu. “Kebaikan aku? Yakin?” tanya Rakabumi meremehkan, dia tahu semuanya. “Aku atau perusahaan? Ayah pikir aku gak tahu semaunya? Aku tahu, Yah! Ayah mau perusahaan kita semakin berkembang pesat dan itu semua bisa terjadi dengan mudahnya kalau kita punya hubungan dengan orang punya pengaruh besar dan Om Taru salah satunya. Benar, kan?” Rakabumi tahu semuanya. Perempuan yang akan dijodohkan dengannya merupakan putri tunggal dari keluarga itu, keluarga yang dia maksudkan punya pengaruh besar. Pemilik perusahaan itu membutuhkan laki-laki yang nantinya akan menjadi suami dari putrinya juga penerus dari bisnis besar itu. Dan, ayahnya yang tahu mengambil keuntungan dari itu semua. Dengan bermodalkan kata 'Teman', ayahnya itu mencoba menjodohkan dirinya dengan putri dari sahabat sekaligus rekan kerjanya itu. Alhasil, pernikahan bisnis pun terjadi yang menguntungkan kedua belah pihak keluarga, namun menyengsarakan pengantinnya. “Jangan bicara kamu, Raka!” “Nyatanya begitu, Yah!“ “Terserah apa kata kamu, ayah gak peduli! Yang jelas, kamu harus terima perjodohan ini. Karena kalau kamu menolak, gak ada satupun yang akan ada di pihak kamu, bahkan Bunda kamu sekalipun. Dan, juga kamu tahu kan akibatnya apa sama wanita yang kamu agung-agungkan itu? Paham?” Dan, Rakabumi hanya bisa menahan kemarahan itu saja karena nyatanya dia tak bisa berbuat apa-apa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN