° Episode - 5 °

1472 Kata
“Papa gak terima penolakan!” Reina ternganga, tak percaya dengan keputusan sepihak yang diambil Papanya itu. Dengan cepat, dia beranjak menghampiri Papanya yang tengah fokus pada layar laptop yang entah menampilkan apa, Reina tak tahu. Dia duduk di hadapan Papanya dan menatapnya penuh keseriusan. Tarumaharja, pria berumur yang merupakan pimpinan sekaligus pemilik perusahaan TMH’corp yang merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri. Dia menatap datar putrinya, tak peduli dengan penolakan yang terus menerus diberikan. Yang jelas, tujuannya harus terlaksana. “Apa?” tanya Taru datar, dia mengendikan dagunya. Reina mencebik, dia langsung menunjukkan wajah sedihnya. “Papa... Rein kan masih muda. Aku masih, masih mau rintis karir aku. Aku masih mau have fun, masih mau cari jati diri aku yang sebenarnya. Aku belum mau nikah, aku belum siap. Lagipula, buat apa sih Papa repot-repot cariin aku jodoh? Papa gak percaya, anaknya ini bisa cari jodoh sendiri? Atau, Papa—” “Rein, jangan bicara omong kosong! Udah, terima aja keputusan Papa ini.” “Tapi, Pa—“ “Sutt... Jangan berisik, Papa gak fokus nih kerjanya.” Reina mencebik, dia menghela napas kasar. “Fix, ini serius kalau Papa tuh sebenarnya gak percaya sama aku. Papa gak percaya kalau anak Papa yang cantik ini gak bisa dapatkan cowok. Iya, kan? Udah, deh, Pa. Jujur aja!” Taru terkekeh mendengarnya, dia menggeleng pelan dan Reina semakin kesal dibuatnya. “Pa... Aku serius, ih!” “Lah, kamu pikir Papa gak serius? Papa jauh lebih serius dari kamu.” balas Taru, dia tersenyum lebar. Dia menyingkirkan berkas-berkas dihadapannya, kemudian menarik tangan Reina dan menggengam erat tangan putrinya yang satu ini. “Dengerin, Papa.“ Reina menatap Taru sendu. “Papa percaya, sangat percaya sama putri Papa ini. Papa percaya kalau putri Papa yang cantik ini bisa dengan mudahnya mendapatkan laki-laki mana pun.” ucap Taru, dia dengan cepat melanjutkan ucapannya saat melihat Reina yang hendak memotong ucapannya itu. “Tapi, sayang... Papa cuma mau yang terbaik buat kamu, udah itu aja. Dan, salah satu caranya ya, dengan ini. Papa jodohkan kamu dengan anak dari sahabat Papa.” “Kamu juga kan, siapa keluarga kita ini? Bukan bermaksud merendahkan atau apa. Tapi, kita realistis aja, udah itu doang. Papa mau, kamu mendapatkan pria yang memang benar-benar cinta sama kamu. Bukan, cinta dengan kekayaan kita.“ Reina menghela napas berat, "Papa... " Taru mengibaskan tangannya, “Lagian nih, ya. Apa pernah Papa salah pilih? Kamu bahkan tahu, semua pilihan Papa itu selalu yang terbaik buat kamu. Gak mungkin dong, Papa sembarangan? Iya, gak?" tanya Tatu yang sebenarnya dibenarkan oleh Reina. “Papa mau, pria itu nantinya akan jadi pendamping, pelindung, pemimpin kamu. Sama seperti ayah pada kamu selama ini. Benar?“ Reina menatap haru Papanya yang berkata demikian, dia mengangguk, membenarkan ucapan Papanya itu. Taru yang melihat itu tersenyum lebar, dia beranjak dengan cepat dari duduknya. “Deal! Kamu terima perjodohan ini!” “Hah?” "Kamu baru aja ngangguk, itu artinya kamu mengiyakan perjodohan ini. Jadi, pembahasan kita selesai, gak ada lagi yang perlu dibahas, kecuali tentang pernikahan kamu nantinya.Oke?“ “Apaan sih, Pa? Gak, gak. Aku tadi—“ “No... No... Gak ada lagi pembahasan ini. Semuanya selesai dan pernikahan akan dilaksanakan secepatnya.“ “Pa!” *** Dengan kesal, kakinya melangkah pergi meninggalkan perusahaan milik Papa nya. Reina benar-benar kesal dan marah dengan segala keputusan sepihak yang dilakukan Taru, tanpa pernah mau mendengar keputusannya sendiri. Bagaimana mungkin Taru bersikap demikian pada Reina coba? Ya, meskipun Reina tahu jika Papanya itu sulit sekali dipengaruhi, tak pernah mau perintahnya dibantah. Hanya saja... Tck! Entahlah, Reina kesal dengan keputusan Taru yang selalu seenaknya itu. Bruk! "Eh ... Maaf, maaf, saya gak sengaja." Reina meringis pelan saat bahunya tanpa sengaja menabrak seseorang, entah siapa yang salah disini, namun sakitnya sungguh berasa. Dia mendongak menatap pria paruh baya yang ada di hadapannya, dia mengerutkan kening bingung saat melihat pria itu yang tak asing dimatanya. Serasa pernah melihat, tapi dimana dan kapan? Entah. “Loh, kamu yang di cafe itu, ya? ” Cafe? Oh, Reina ingat sekarang. Dirinya pernah bertemu dengan pria paruh baya itu. Lebih tepatnya tadi, di cafe Bima saat dirinya membantu-bantu disana, juga saat insiden itu terjadi. Aish, mengingatnya membuat dia kembali dirasa malu. Reina terkekeh pelan, menunjukkan senyum tipisnya. “Iya, pak.” jawab Reina sambil mengangguk singkat. “Terus, kamu ngapain disini?” Pernah bertemu sekali, namun pria paruh baya itu sudah bertanya demikian. Untuk apa coba? Maksudnya apa bertanya seperti itu? Membuat Reina yang sedikit punya jiwa-jiwa was-was jadi curiga. Meskipun sebenarnya, pertanyaan itu masih masuk akal dan tak mengandung curiga, seharusnya demikian. “Saya baru ketemu sama pemilik perusahaan nya, pak.” “Tunggu! Kamu, anaknya Taru?” Reina bingung jadinya, apakah dia harus menjawab jujur atau bagaimana pertanyaan itu. Dia baru bertemu sekali, namun orang asing di hadapannya ini sudah bertanya banyak hal padanya. Dia sebenarnya mudah mengiyakan pertanyaan itu, hanya saja... Tidak! Dia tak mau melakukan itu. Bagaimana kalau ternyata, pria paruh baya ini adalah musuh dari Papanya yang bisa saja melakukan hal jahat padanya? Tidak, Reina tak mau! Dunia bisnis kejam tahu. Dan, Reina tak mau berakhir tragis. Dengan cepat, Reina menggeleng. “Bukan lah, Pak. Mana ada anaknya Pak Taru, pemilik perusahaan ini punya anak modelan kayak saya. Lagipula, saya cuma pelayan cafe aja. Juga, kedatangan saya kesini mau melamar pekerjaan. Cuma, gak ada lowongan disini.“ “Oh... Gitu. Saya pikir, kamu anaknya.“ “Bukan, Pak.” “Yasudah, saya permisi. Maaf ya tadi saya menabrak kamu.“ “Eh, enggak pak. Saya yang salah. Saya yang harusnya minta maaf. Karena jalan gak lihat-lihat, jadi saya nabrak bapak deh. Maaf, ya, pak.” “Iya, gak papa. Saya permisi.” Setelahnya, Reina menghela napas lega karena kepergian pria paruh baya itu. Senyum lebar tercetak di bibirnya, kelegaan terpancar dari aura wajahnya. Terbebas dari satu musuh Papanya membuat dia lega sekarang. “Untung aja, otak cemerlang gue ini berfungsi dengan baik. Ada-ada aja juga. Udah tua, tapi mainnya masih main kotor. Dasar!” gumam Reina, matang masih menatap kepergian pria paruh baya itu. Dan, saat pria itu hilang dibalik lift, Reina berniat kembali melanjutkan langkahnya keluar dari perusahaan ini. Baru saja kakinya menapaki anak tangga, dia dikejutkan dengan kedatangan seseorang dari balik mobil mewah yang kini berhenti di hadapannya. Reina yang terlalu terkejut dan fokus pada orang itu, dibuat tak sadar. Menyebabkan kakinya gagal menapaki anak tangga, membuat tubuhnya jadi tak seimbang dan berakhir dengan dia yang terjatuh dan justru wajahnya berhenti di hadapan sepatu mengkilap milik pria itu. Reina membulatkan matanya, meringis kesakitan. Dan, perlahan wajahnya mendongak, menatap pria itu yang sama terkejutnya seperti dirinya. Yakin, wajah Reina memerah kini. Dia malu, sangat. *** Rakabumi terkejut, sungguh. Bagaimana tak terkejut coba, seseorang tiba-tiba jatuh di anak tangga dan tersungkur di hadapannya. Dia tak bisa menyembunyikan keterkejutan nya itu, bahkan tangannya sudah terulur hendak membantu. Namun, saat melihat wajah yang tak asing itu membuat mengerutkan bingung jadinya. Perempuan itu... Adalah perempuan yang sama yang ditemuinya di cafe tadi. Perempuan dengan tingkah kepercayaan diri yang terlalu tinggi sehingga bisa berpikir jika dirinya akan mengajak makan bersama tadi. Padahal sebelumnya mereka tak kenal, jangankan kenal, bertemu saja baru tadi. Dan, dengan percaya dirinya perempuan itu bersikap seakan dia tertarik. Padahal, tidak sama sekali. Hatinya sudah dimiliki Renata dan juga sangat sulit mendapatkan hatinya jika dia sudah serius pada satu wanita. Lagipula, mereka baru pertama kali bertemu, oke dua kali maksudnya dengan sekarang. Jadi, akan sangat mustahil rasanya tumbuh rasa dihatinya. “Okay?” “Oke darimana nya sih, pak? Jatuh kayak gini masih aja ditanya Oke? Sakit tahu, banget malah! ” Bahkan, Rakabumi bertanya baik-baik. Padahal biasanya dia tak peduli, namun kali ini dia berbesar hati bertanya demikian yang justru dibalas dengan jawaban yang ketus. Harus sekali, begitu? Tck. Ya, meskipun sebenarnya tak salah juga menjawab demikian karena pertanyaan yang dilontarkannya yang mungkin dinilai tak bermutu. Bertanya tentang keadaan seseorang yang dia sendiri jelas-jelas tahu bagaimana kondisi nya. Tapi, harus ketus, gitu? Rakabumi masih tak terima dengan itu. Rakabumi menghela napas kasar. Entah dorongan darimana, tangannya kembali terulur memberikan bantuan pada perempuan itu. “Ayo, bangun!“ Perempuan itu terdiam beberapa saat, menatap lekat Rakabumi yang memberikannya bantuan. Dengan terpaksa juga mau, dia menerima uluran tangan Rakabumi. Namun, saat mencoba berdiri, rasa sakit kembali terasa di kakinya. Akhirnya, dia terjatuh kembali. Beruntungnya, Rakabumi dengan cepat menahannya, tak lagi membuat perempuan itu kembali mencium lantai. "Aduh ... Sakit, banget." Rakabumi bingung harus melakukan apa. Tak pernah dia merasa kasihan seperti ini, masalahnya dia bukan seseorang yang akan langsung iba, apalagi pada orang asing yang baru ditemuinya. Tapi, sepertinya tidak untuk saat ini. Demi, kemanusiaan, pikirnya. Ya, dia menolong perempuan itu hanya demi kemanusiaan. Belum sempat dia melakukan apa yang seharusnya dilakukannya, namun suara seseorang mengalihkan perhatiannya—perhatian perempuan itu pula. "Raka?" "Rein?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN