° Episode - 6 °

1457 Kata
"Jadi, Rein. Bisa kamu jelasin, ada apa tadi? Kenapa bisa, kamu kayak tadi?” Reina mendongak, meringis pelan. Dia menatap kakinya yang baru saja diobati oleh tenaga medis yang disediakan di kantor ini. Dia melirik bergantian semua orang disini. Dia bergumam pelan, tersenyum kikuk. “Tadi, gak sengaja jatuh aja kok, Pa.” jawab Reina. Benar kok. Reina memang tak sengaja jatuh tadi. Coba saja kalau pria yang ada satu ruangan dengannya kini tak menampakkan diri dihadapannya, mungkin dia tak akan terkejut dan berakhir jatuh seperti tadi. “Tunggu! Papa? Maksudnya?” Reina meringis kembali, menutupi wajahnya perlahan menggunakan telapak tangan saat ingat akan kebodohannya kali ini. Dia yakin, jika pria paruh baya yang ada di hadapannya kini akan mengatakan apa yang mereka bicarakan sebelumnya. Taru mengerutkan kening bingung melihat respon yang diberikan Reksa, sahabat sekaligus rekan kerjanya. “Ada, apa? Dia anak aku. Terus, kenapa?” tanya Taru bingung sekaligus aneh. “Anak kamu?” tanya Reksa memastikan yang diangguki Taru, dia melirik pada Reina yang diam seribu bahasa, terkekeh kemudian. “Padahal tadi ketemu dia. Dan, saat aku tanya, dia bilang bukan anak kamu dan justru lagi cari kerjaan disini.” jelas Reksa, dia terkekeh saat mengingat itu semua. Taru terkejut, dia seketika menatap Reina. “Rein, banyak hal yang harus kamu jelaskan disini. Papa tunggu sekarang!” tuntut Taru, dia butuh penjelasan untuk semua hal. Reina mendengus pelan. Dia mendongak menatap semuanya, senyum paksa pun tercetak di bibirnya. “Aduh, maaf ya Om. Bukan bermaksud mau berbohong atau apa. Saya cuma takut aja kalau Om ini orang jahat, salah satu musuh Papa saya. Makanya, saya gak jawab jujur tadi pas Om tanya siapa saya. Sorry, ya, Om.” ucap Reina, dia meringis pelan. Reksa terkekeh, “Gimana bisa kamu berpikir kalau saya ini orang jahat? Apa wajah saya ini seperti orang jahat?” tanya Reksa, dia menaikan sebelah alisnya. Reina menggeleng cepat, “Enggak, Om, enggak kok. Cuma saya takut aja kalau orang-orang tahu saya ini anak dari Tarumaharja. Dunia bisnis kan kejam, Om.” balas Reina, dia terkekeh kembali. Reksa kembali terkekeh mendengar alasan yang diberikan Reina, sedangkan Taru justru menunduk sambil memijit pelipisnya, tak menyangka Reina akan melakukan hal demikian. Lain halnya dengan Rakabumi yang sejak tadi hanya diam. Pria itu tak bersuara sedikitpun, merespon pun seadanya saja. Rakabumi yang melihat senyuman lebar dari Ayahnya, mengerutkan kening bingung. Tak pernah dia melihat ayahnya senyum selebar ini. Dan, juga alasan senyumannya itu biasa saja menurutnya. Tapi, kenapa ayahnya memberikan respon berlebihan? Atau, ini salah satu dari cara yang tengah dijalankan ayahnya? Ya, mungkin saja. Rakabumi mendengus, dia memilih mengalihkan pandangannya. Tak tertarik dengan percakapan yang tengah dilontarkan dua pria paruh baya dan seorang wanita muda. Pikirannya saat ini masih melayang, masih memikirkan bagaimana keadaan Renata. Apakah wanita itu baik-baik saja? Apakah makanannya dihabiskan? Bagaimana kalau wanita itu sedang menangis kini, siapa yang akan menghapus air matanya itu? Segala pertanyaan mengenai Renata terlintas dan terus saja berputar di benaknya. “Kamu kok bisa, punya anak yang cantik kayak gini tapi malah ngeles kalau dia ini jelek.” “Oh, ya?” “Iya, tadi saya tanya. Apa dia benar anaknya kamu. Tapi, kata dia, gak mungkin. Kamu yang ganteng banget, gak mungkin punya anak sejelek dia, katanya." "Ya, gitulah. Anak aku sudah merendah aja nih." Reina hanya bisa terkekeh pelan mendengar obrolan mereka, dia menunduk melirik Rakabumi lewat ekor matanya. Tak bisa dipungkiri, meskipun dia mencoba acuh namun pesona pria itu tak bisa diacuhkan. Pesonanya terlalu kuat, membuat dia tak bisa menahan untuk tak melirik sekilas saja. “Raka." Entah ada apa dengan Reina kali ini. Hanya mendengar itu saja sudah bisa membuat dirinya tersenyum, bibirnya tertarik membentuk senyuman hanya karena pria itu dipanggil namanya. “Kamu kenalan, dulu.” Rakabumi menatap Reina dan Taru bergantian, senyum tipis dia tunjukkan. Tangannya terulur pada Taru, “Hallo, Om. Saya Rakabumi.” ucap Rakabumi singkat. Taru tersenyum lebar, membalas uluran tangan Rakabumi, mereka berjabatan. “Kamu pasti sudah tahu siapa saya. Benar, bukan?” tanya Taru, dia menaikan sebelah alisnya, tersenyum angkuh. Rakabumi mengangguk. “Tentu. Siapa yang gak kenal dengan seorang Bapak Tarumaharja?” tanya Rakabumi, dia mengerutkan keningnya bingung. “Saya rasa, semua orang pasti tahu bapak.” lanjut Rakabumi, diakhiri senyuman lebar. Taru terkekeh, membenarkan ucapan Rakabumi. “Bisa aja kamu.” Dan sekarang, Rakabumi menata Reina yang perlahan menatapnya. Dia melirik ayahnya yang mengangguk pelan, seolah membenarkan apa yang harus dilakukannya saat ini pula. Dan saat matanya bertemu dengan Taru pun, dia mendapatkan tatapan yang sama seperti yang ayahnya berikan padanya. Rakabumi berdehem, dia mengulurkan tangannya pada Reina. "Perkenalan, saya Rakabumi." Reina terdiam, dia menatap uluran tangan tersebut. Dengan tangan bergetar, dia membalas uluran tangan tersebut. Percaya atau tidak, hanya karena sentuhan seperti ini saja sudah bisa membuat tubuhnya bergetar hebat. Bagaimana jadinya kalau ... Ewh, ada apa dengan otaknya sejak tadi. Rasa-rasanya seperti ada sesuatu yang salah sehingga menyebabkan otaknya bisa korslet seperti ini. "Reina," jawab Reina cepat, secepat dia menarik kembali tangannya dari jabatan tangan diantara mereka. Rakabumi mengangguk-angguk, dia menarik tangan dan kembali menautkan jemari tangannya. Dia tak menyangka akan mendapat respon demikian. Maksudnya, baru kali ini dia melihat perempuan yang terlihat gugup secara langsung. Apalagi saat mereka berjabat tangan tadi, dia bisa merasakan bagaimana dingin dan bergetar nya perempuan itu. Aneh, tapi sedikit membuat senyum tipis tercetak di bibirnya hanya karena hal kecil itu. "Saya gak nyangka, kamu anaknya Taru. Tapi, kenapa kamu memilih jadi pelayan di cafe tadi?" tanya Reksa, dia mengerutkan keningnya melihat Reina yang lagi-lagi terdiam. Hal sama yang sebenarnya ingin ditanyakan Rakabumi, namun lebih dulu di tanyakan ayahnya. Ya, setidaknya itu lebih baik. "Reina ini punya cafe, dia itu gak mau ikut saya terjun ke dunia bisnis seperti kita. Dia lebih enjoy bisnis cafe kecil-kecilan sama temannya. Dan, saya gak bisa memaksakan. Mungkin, itu yang terbaik buat dia." jawab Taru, dia mengendikan bahunya. Reksa mengangguk-angguk. "Tapi, dia gak seperti yang punya cafe itu. Dia justru seperti pelayan disana." "Rein?" tanya Taru bingung, dia menatap Reina. Reina tersenyum kikuk. "Oke, Rein jelasin dulu ya. Tadi, tuh sebenarnya aku cuma lagi bantuin Bima, Pa. Soalnya tadi dia keteteran gitu di cafenya. Udah, gitu aja." Jelas Reina, dia melirik sekilas Rakabumi yang tak menatapnya, pria itu lebih memilih menatap lurus kedepan ke jendela besar di ruangan ini yang langsung menembus gedung-gedung pencakar langit yang lain. Pria itu acuh padanya. Btw, Reina tak mungkin menjelaskan secara rinci. Menurutnya, apa yang baru saja dijelaskan pada kedua orang tua itu sudah cukup. Setidaknya, Reina menjelaskan apa yang memang perlu dijelaskan. Masalah tentang dia yang terlalu kegeeran itu... Tak usahlah diceritakan. Dia malu. Jangankan menceritakan, mengingatnya saja sudah membuat dia ingin menenggelamkan wajahnya sekarang juga. "Terus, kenapa kamu tadi kayak berdebat sama Raka?" Bola mata Reina rasanya ingin keluar. Kenapa pula, Om Reksa harus menanyakan hal yang sejak tadi ingin di tutupinya. Bagaimana pula, pria paruh baya itu masih ingat. Dia menggigit pelan bibirnya, bingung harus menjelaskan bagaimana. "Itu ... Sebenarnya, saya—" "Bukan apa-apa, yah. Cuma salah paham biasa." Reina terkesima mendengar pembelaan Rakabumi. Tunggu! Itu memang pembelaan bukan? Atau memang pria itu menjelaskan yang sebenarnya? Masalahnya apa yang diucapkan pria itu memang benar ada. Itu hanya kesalahpahaman yang diciptakan Reina dan si Bima biang utamanya. Reksa mengangguk-angguk, dia kemudian menatap Taru di sampingnya. "Oh, iya, Tar. Aku lupa, tujuan kita ketemu kan untuk membahas perjodohan." "Iya, benar. Aku juga udah membicarakannya dengan Reina. Dan, dia menerimanya." "Sama, Raka juga setuju." Mereka yang sibuk dengan pikirannya hanya bisa terdiam. Reina yang sibuk dengan perkara tadi di cafe Bima, sedangkan Rakabumi yang sibuk memikirkan keadaan Renata disana. Keduanya sibuk, sampai-sampai tak sadar kalau mereka lah yang tengah dibicarakan kedua orangtua itu. Reksa menatap bingung Rakabumi, begitupun Taru yang menatap aneh Reina. Kemana penolakan mereka berdua? Padahal, jelas sekali kalau beberapa saat yang lalu keduanya sibuk memproteskan apa yang telah direncakan ayah mereka. Tapi, kenapa sekarang mereka hanya diam, tak ada penolakan? "Raka, Reina." Mereka menoleh, terkejut mendengar panggilan Taru yang lumayan keras. Mereka tersadar dari lamunannya, menatap bergantian dua pria paruh baya itu. "Kita lagi obrolin perjodohan kalian." "Maksudnya, Pa?” tanya Reina, dia baru sadar kini dari lamunannya. "Papa mau jodohin kamu sama Rakabumi." Reina terkejut, bola matanya melebar seketika. “What? Aku dijodohin sama dia?" tanya Reina tak percaya, dia yang tadi diam kalem kini menunjukkan siapa dia sebenarnya. Suaranya yang tadi terdengar pelan, kini kembali ke aslinya, keras dan cempreng. "Iya dan gak ada penolakan." "Pa ... Gak bisa gitu dong!" Ucap Reina, dia beranjak dari duduknya dan berdiri menatap sebal mereka semua yang hanya diam, namun dia lebih sebal lagi pada Papa nya. "Papa gak bisa paksa aku gitu aja. Lagi pula, belum tentu dia juga setuju dengan perjodohan ini." "Saya setuju." "Hah?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN