° Episode - 7 °

1232 Kata
Reina berjalan lunglai memasuki rumahnya, sedikit tertatih-tatih karena rasa sakit di kakinya masih belum sembuh juga. Mata itu masih menatap nyalang dengan pikiran yang masih berkelana memikirkan apa saja yang baru terjadi kepadanya. 2 Januari 2021 Kenapa dengan tanggal itu. Kenapa di tanggal itu dia diberikan banyak kejutan bertubi-tubi. Mulai dari rencana perjodohan, adegan memalukan di cafe Bima dan juga kantor, bahkan sampai pertemuan tak sengaja nya dengan seorang pria yang ternyata adalah calon suaminya. Pria yang sama yang ditemuinya di cafe Bima. Ah... Menyebutnya saja, dia masih enggan. Tapi, mau bagaimana lagi. Pria itu memang calon suaminya. Iya, masih calon. Semua kejutan itu terjadi di awal tahun 2021. Padahal, jelas-jelas itu bukanlah hari kelahirannya atau hari spesial dalam hidupnya sehingga harus banyak kejutan didapatnya. Tapi, kenapa tanggal tersebut banyak sekali kejutan. Entah apa lagi yang akan terjadi nanti. "Rein, kenapa?" Reina mendongak, dia mengerucutkan bibirnya menatap Ambar—Mama nya yang baru saja menuruni anak tangga dengan floral dress yang membalut tubuhnya. Dia enggan menjawab sekarang, dia memilih langsung menjatuhkan bokongnya di sofa ruang depan. Ambar mengerutkan keningnya, bukan hanya karena wajah masam Reina, tapi juga karena jalan putrinya itu yang tertatih-tatih. Ambar segera melangkahkan kakinya menghampiri Reina, duduk di samping putrinya yang kini langsung memeluk tubuhnya. Ambar terdiam sejenak, dia menghela napas pelan. Tangannya terulur membelai lembut puncak kepala Reina di pundaknya. "Kenapa, mau cerita?" tanya Ambar lembut, dia tahu ada sesuatu luar biasa terjadi hari ini yang menimpa putrinya. "Aku ketemu sama cowok yang mau Papa jodohin sama aku, Ma." Ambar sedikit terkejut, ternyata seniat itu suaminya menjodohkan putri mereka. Dia pikir, mungkin beberapa hari lagi putrinya akan dipertemukan dengan pria yang menjadi pilihan suaminya. Namun, ternyata dia salah. Dia lupa, kalau suaminya memang akan melakukan apapun dengan begitu cepatnya. Apapun yang menurutnya baik, akan dia lakukan saat itu juga. Suaminya, tipe orang yang tak mau membuang waktu. Meskipun, sebenarnya tergesa-gesa bukanlah tindakan yang benar. Tapi, percaya lah. Kecepatan yang dilakukan suaminya memang karena keuletan dan mendatangkan hasil yang baik, bukan kecepatan karena tergesa-gesa dan berakibat buruk akhirnya. "Terus, gimana?" Reina mendongak, dia masih dalam posisi memeluk Ambar. "Gimana, apanya?" tanya Reina bingung, dia mengerutkan keningnya. "Ya, orangnya." "Ganteng, Ma." Ambar tersenyum lebar, kenapa juga Reina harus memberikan jawaban seperti itu. Memang sih, tak salah. Hanya saja, bukan itu maksud dari pertanyaannya. Pertanyaannya lebih menjurus pada pribadi pria itu jika dilihat dari first immpresion mereka. Tapi, ternyata putrinya malah berbeda. "Kamu kan suka sama yang ganteng-ganteng. Pasti, sekarang juga suka kan?" Reina melepaskan pelukannya, dia menatap serius Ambar yang terkekeh. "Ma, aku emang suka yang ganteng-ganteng. Tapi, dia itu gantengnya berlebihan banget. Kayak gak cocok banget sama aku yang kayak upik abu ini." Ambar mencebik, selalu seperti ini. "Merendah untuk meroket." cibir Ambar, dia mengulum senyumnya dan mengacak pelan puncak kepala Reina. Reina terkekeh, bukan itu maksudnya. Memang benar kok, ketampanan pria itu melebihi rata-rata. Seperti tak nyata, karena ketampanan pria itu hanya ada dalam dunia halunya. Dan ketampanan dalam dunia halunya itu, tak pernah dia bawa dalam dunia nyata. Rasanya, mustahil. Tapi, ternyata tidak. Ketampanan itu memang ada. Rakabumi, contohnya. "Terus, menurut kamu orangnya baik gak?” Reina mengendikan bahunya. “Baik, mungkin. Soalnya tadi dia bantu aku gitu, pas jatuh.” jawab Reina. “Jadi, alasan kamu tertatih-tatih karena jatuh?” Reina mengangguk cepat, dia menatap intens Ambar. “Iya. Dan lebih parahnya lagi, aku jatuh pas banget di depan cowok itu. Sumpah, Ma. Aku tengsin banget dong.” jelas Reina, dia tak bisa menahan tawanya. Dia tertawa pelan kini, menertawakan kebodohannya. Kocak memang jika mengingat itu. “Ada-ada aja kamu! Mama bisa nebak, pasti first immpresion dia sama kamu pasti gak banget deh.” Reina menggeleng, menggerakkan telunjuknya membantah ucapan Ambar. “Sebenarnya, kejadian di kantor itu bukan yang first immpresion banget, Ma. Soalnya, sebelum itu aku udah ketemu dia di cafe Bima. Dan—” “Wait! Biar, Mama tebak!” potong Ambar, dia sudah bisa membaca pikiran Reina. Bukan membaca sih sebenarnya, lebih ke dia tahu sifat Reina. “Pasti kamu ngelakuin hal bodoh lagi kan?” Reina terkekeh, dia menjentrikan jarinya. “That's right! Dan itu semua, gara-gara Bima. Pokoknya besok aku bakal marah-marah sama dia, mau caci maki dia, terus— Ih ... Pokoknya aku sebel banget sama Bima!” tukas Reina kesal, dia sedang membayangkan wajah Bima yang tengah berbicara padanya siang tadi. Menyebalkan. Ambar terkekeh, dia sendiri bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Reina besok pada Bima. Dia sendiri sudah tahu siapa Bima. Karena beberapa kali bertemu setiap kali dia menemui Reina di cafe. Bima dan Maha, orang-orang yang paling dekat dengan Reina juga keluarganya. “Yaudah, kita lanjut lagi nanti. Mending sekarang kamu bersih-bersih dan makan! Okay?” “Oghey.” *** Rakabumi menatap lurus kedepan, kedua tangannya bertumpu pada pagar pembatas di balkon rumahnya. Pemandangan rumah-rumah dengan cahaya lampu di setiap penjuru nya menjadi fokus utamanya, meskipun sebenarnya pikirannya bukan tertuju kesana. Tentu saja, siapa yang akan repot-repot memikirkan tentang lampu-lampu itu? “Bumi.” Rakabumi terlonjak saat pundaknya disentuh, otomatis tubuhnya dia putar menatap orang yang ada dihadapannya. Shara, istri dari Reksa juga Bunda nya yang masih memiliki wajah cantik meskipun sedikit kerutan halus mulai terlihat jika bundanya tak mengenakan make-up. Dia tersenyum, menatap bundanya. “Tadi, bunda nyariin kamu. Mau ajak makan malam. Kok malah disini?” tanya Shara lembut, memang perawakan Shara itu lemah lembut membuat siapa saja pasti akan terpesona hanya karena mendengar suaranya. Beruntungnya ayahnya bisa mendapatkan bundanya ini. Rakabumi menyandarkan tubuhnya pada pembatas itu. “Gakpapa, kok.” Shara tersenyum, dia menatap cukup lama Rakabumi. Dari wajahnya saja, terlihat jelas ada sesuatu yang menjadi beban pikiran putranya. Dia kenal betul, tak mungkin salah prasangka. Dia terkekeh pelan, mengusap pelan lengan atas Rakabumi kemudian berjalan lebih maju sampai ke pembatas. “Apa kamu masih pikirin tentang perjodohan kamu itu?” tanya Shara, dia melirik Rakabumi lewat ekor matanya. Rakabumi tak bisa berbohong, sulit sedikitpun menyimpan kebohongan dari bundanya. Dia pasti luluh, tak bisa. “Gitulah, bun.” jawab Rakabumi, dia tersenyum pilu. Shara tersenyum, dia memutar tubuhnya sehingga menatap Rakabumi kembali. “Ada apa?” tanya Shara. “Kenapa sih, Bun. Ayah sama nenek gak pernah setuju aku sama Renata. Apa alasan mereka gak pernah suka sama Renata, padahal jelas-jelas Renata itu wanita baik, Bun. Bahkan, saking gak sukanya mereka sama Renata. Mereka jodohin aku, meskipun aku tahu. Tujuan utama perjodohan itu untuk apa.” Shara terdiam kini, pertanyaan Rakabumi sukses membuat senyuman di bibirnya perlahan memudar. “Sebenarnya, bunda juga gak tahu alasan ayah sama nenek gak suka sama Renata. Dan, benar kata kamu. Sebenarnya, bunda melihat Renata itu seperti perempuan baik-baik. Tapi, sekali lagi enggak dengan penglihatan ayah dan nenek kamu itu.” jawab Shara, dia terdiam sejenak membuat Rakabumi ikut terdiam. “Tapi, percaya. Ayah dan nenek pasti punya alasan kuat, cuma mungkin kita belum tahu aja. Dan, soal perjodohan kamu. Bunda rasa, gak ada salahnya juga. Kamu udah cukup dewasa, sudah cukup umur untuk kamu membina rumah tangga. Dan, bunda yakin. Perempuan yang dipilih ayah dan nenek, pasti perempuan baik-baik. Buktinya, mereka suka.” lanjut Shara. Rakabumi masih terdiam, dia bingung harus menanggapi seperti apa ucapan bundanya. Meskipun sebenarnya, tak ada keharusan menanggapinya karena apa yang diucapkan bundanya seperti wejangan sebenarnya. Shara menarik kembali kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. “Yaudah, ayo. Kita makan malam. Ayah sama nenek udah nungguin.” Dan, Rakabumi hanya mengangguk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN