Reina masih senantiasa memusatkan atensinya pada pria di hadapannya, masih tak percaya jika pria itu ada di hadapannya kini. Mata tertuju kesana, namun mulut dan tangannya tak henti menyuapkan makanan yang seharusnya dia nikmati kini. Namun, melihat ini semua membuka selera makannya berkurang, bahkan rasa dari makanannya saja biasa saja menurutnya.
Reina masih tak habis pikir, bagaimana mungkin dia bisa berjodoh dengan pria itu. Pria yang punya ketampanan diatas rata-rata, menurutnya. Memang sih, mereka bukan murni berjodoh karena saling cinta atau apa. Mereka berjodoh karena hasil perjodohan yang dilakukan dua keluarga, yaitu keluarganya juga keluarga pria itu. Tapi, intinya tetap sama kan? Takdir membuat mereka berjodoh kini.
“Kamu gak bosan tatap saya terus?”
Reina tersentak seketika, dia menegakkan tubuhnya dan mendongak angkuh dengan kening yang dibuat mengerut seolah bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan Rakabumi, pria itu. Meskipun dia malu sebenarnya, tertangkap sedang menatap pria itu secara terang-terangan.
“Siapa yang tatap kamu? Jangan terlalu percaya diri deh.” balas Reina, dia memicingkan matanya sinis.
Rakabumi memutar jengah bola matanya. Dia menatap datar Reina kini. Percaya tidak, jika bukan karena ada hal yang harus Rakabumi sampaikan kini, mungkin dia tak akan mengajak Reina untuk bertemu sekarang. Sayangnya, ada hal urgent yang memang harus dibicarakan sebelum akhirnya mereka resmi dalam suatu hubungan.
Rakabumi berdehem, masih menatap datar Reina yang menatapnya dengan sebelah alis terangkat.
“Ada apa? Ngomong, ngomong aja sih.”
“Kamu terima perjodohan kita?”
Reina terdiam sejenak, menatap lekat Rakabumi. Entah ada apa dengan dirinya kini. Ada sesuatu yang dia rasa berbeda, dia yang biasanya heboh kini sedikit kalem. Atau sebenarnya ini memang sudah hukum alam bahwa orang akan bersikap berbeda dalam situasi yang juga berbeda yang tak memungkinkan orang tersebut untuk bersikap biasa. Karena hanya untuk menjawab tidak saja, Reina tak bisa.
“Kamu sendiri, gimana?”
“Kamu tahu jawabannya.”
Benar juga. Reina sudah tahu jawabannya tanpa harus lagi bertanya, keputusan Rakabumi kemarin cukup menjawab bahwa Rakabumi menerima perjodohan ini. Dan, hal tersebut justru membuat Reina bingung. Alasan apa yang membuat Rakabumi dengan mudahnya menerima itu semua. Secara, di jaman modern seperti sekarang ini, perjodohan terdengar tak lazim, terdengar kuno untuk terjadi sekarang. Namun, dengan santai dan tenang tanpa ada beban sedikitpun, Rakabumi menerima itu semua.
“Alasan kamu terima perjodohan ini apa?” tanya Reina, dia butuh jawaban dari pertanyaannya itu.
Rakabumi mengedikkan bahunya, dia bersandar kini. “Saya gak bisa nolak, itu keputusan keluarga saya. Mungkin dengan begitu, mereka bahagia?” tukas Rakabumi, dia acuh.
Dan, jawaban Rakabumi itu sekali membuat Reina bingung. Jawaban yang diberikan seolah mengatakan bahwa tak pernah ada kebahagiaan di keluarga Rakabumi. Seolah kata bahagia itu akan tercipta jika memang mereka menikah nantinya. Apa segampang itu membuat orang bahagia?
Rakabumi mengambil gelas minumannya, menyesap minuman tersebut dan meletakkannya kembali. Oh, iya! Saat ini mereka berada di sebuah cafe kecil yang tak jauh dari cafe yang jadi tempat pertemuan pertama mereka. Reina sendiri yang memilih tempat ini. Dan, saat cafe kecil biasa didatangi oleh pria tampan dengan penampilan menawan sudah pasti akan menjadi pusat perhatian. Tak ayal, semua mata kini tertuju pada mereka.
“Kamu sendiri, apa alasan kamu terima perjodohan ini?”
Reina mengerutkan keningnya mendengar ucapan Rakabumi itu. “Aku? Terima perjodohan ini?” tanya Reina, dia menunjuk dirinya sendiri dan tersenyum miris. “Aku bahkan belum jawab apa aku terima atau enggak. Bahkan kamu tahu kalau kemarin aku tolak kan. Kenapa bisa kamu justru ngomong kayak gitu seakan-akan aku terima perjodohan ini.“ ucap Reina, dia menggeleng tak habis pikir.
Rakabumi menarik sudut bibirnya, membentuk senyuman sinis. “Saya yakin, kamu terima.”
Reina tersenyum meremehkan, percaya diri sekali Rakabumi. Apa Rakabumi berpikir setelah dia melihat langsung pria itu, dia akan menerima begitu saja? Mentang-mentang mempunyai wajah tampan diatas rata-rata, jadi seenaknya dalam berucap.
“Lagipula, siapa sih yang bisa menolak keinginan seorang Tarumaharja.” lanjut Rakabumi yang seketika melunturkan senyum Reina.
Rakabumi benar sekarang. Lagipula, siapa yang bisa menolak keinginan Papanya? Sampai kapanpun Reina yakin, perjodohan ini akan tetap terlaksana dengan atau tanpa ada persetujuan darinya. Kecuali, Papanya sendiri yang memutuskan rencana ini.
“Saya cuma mau kasih tahu kamu. Kalau sampai nanti kita benar menikah, satu hal yang harus kamu ingat.”
Reina diam, dia menunggu kalimat apa yang akan dilanjutkan pria tersebut.
“Jangan pakai perasaan.”
***
“Woy!”
Reina yang seharusnya terlonjak kaget kini justru menatap malas Bima dihadapannya. Bahkan, dia menatap malas Bima yang seperti ingin sekali berbicara dengannya. Bahkan, saking malasnya, dia lupa kalau belum mencaci maki Bima atas kejadian kemarin siang.
Pikiran Reina masih memikirkan tentang pertemuan dirinya dengan Rakabumi. Ucapan atau kalimat yang dilontarkan pria itu kini senantiasa mengganggu pikirannya. Sedangkan, Bima kini mengerutkan keningnya bingung. Bima pikir, akan ada suara melengking dan bakat rapper Reina yang akan keluar. Berhubung dia tahu dari Maha bahwa perempuan itu akan mencaci makinya karena kejadian kemarin siang. Namun, kenapa justru sebaliknya. Reina terlihat diam.
Maha tak masuk cafe hari ini, perempuan itu ada keperluan katanya. Jadi, tak ayal kalau dia tak menemukan keberadaan Maha disini dan hanya menyisakan Reina yang sedang tak mood untuk diajak bicara.
Bima menarik kursi, duduk di hadapan Reina yang masih juga diam. “Asli, Rein. Mending lo caci maki gue, dari pada diam kayak gini. Bukan lo banget!” ucap Bima, dia berdecak pelan.
Reina menatap Bima cukup lama, sedangkan yang ditatap kini menunjukkan senyum dengan deretan giginya. Dia mencebik pelan, wajahnya sedihnya terlihat.
“Masa, cowok yang kemarin ternyata cowok yang dijodohin bokap sama gue. Ajaib gak tuh?”
“Cowok? Yang mana?”
“Yang di cafe lo, yang gue ceritain itu, yang lo kasih ide gila ke gue dan bikin gue malu. Cowok itu.“
Bima tahu sekarang, dia mengangguk-angguk. “Kok bisa sih?” tanya Bima heran.
“Apanya?”
“Kok Lo bisa tahu gitu, kalau tuh cowok adalah calon suami lo.”
Bima sudah tahu, dia dan Maha tahu akan rencana perjodohan Reina dengan anak seorang pengusaha rekan bisnis Papanya itu. Reina sudah lama sekali mengeluh-ngeluhkan tentang perjodohan ini dan akhirnya apa yang dikeluhkannya selama ini terjadi.
Reina mulai menceritakan semuanya, sebab dia sampai tahu bahwa pria tersebut adalah lelaki yang akan dijodohkan dengannya. Sedangkan, Bima hanya mendengarkan dan sesekali mengangguk. Dia mendengarkan dengan serius, tak mau sampai ada yang terlewat sedikitpun.
“ ... Jadi, menurut Lo gue harus gimana? Terima atau jangan.”
Bima menghela napas kasar, sebenarnya Reina tak patut bertanya demikian. “Emang dalam opsi bokap Lo, ada pilihan buat nolak?” tanya Bima, dia menggeleng pelan. “Enggak kan?” tukas Bima, dia tahu semaunya tentang Reina dan keluarga nya itu.
“Iya, juga.”
Bima tersenyum, tangannya terulur menggenggam erat jemari tangan Reina. Matanya bersitatap dengan mata perempuan itu, seolah tengah menyalurkan kekuatan. “Di coba aja, Rein. Gue yakin, pilihan bokap Lo gak mungkin salah.” ucap Bima.
Reina menghela napas pelan, sekarang dia yakin, memang pilihan Papanya tak mungkin salah. Terbukti, sejak kemarin dia mempertanyakan ini semua. Jawabannya pasti sama, yaitu pilihan Papa tak mungkin salah.
“Lagi pula, gue kok rasa kayaknya emang kalian berjodoh.”
“Hm?”
Bima mengangguk. “Iya, gue rasa kalian emang udah ditakdirin buat jadi pasangan deh. Terbukti, kemarin kalian di pertemukan padahal Lo gak tahu kan kalau ternyata cowok yang Lo bilang natap Lo lumayan lama adalah calon suami Lo sendiri.” jelas Bima yang membuat Reina tersadar akan sesuatu.
“Lagipula, gue yakin. Takdir mempertemukan kalian kemarin pasti karena sesuatu. Dan sesuatunya itu, ya Lo berjodoh sama dia.” lanjut Bima, dia tersenyum lebar sambil mengendikan bahunya.
Bima tersenyum, lain lagi dengan Reina. Perempuan itu langsung melepaskan tangan Bima yang menggenggam tangannya. Dan tanpa apa-apa, satu pukulan pelan dia layangkan pada Bima yang langsung meringis kesakitan.
“Apa-apaan sih Lo! Gue kan udah kasih wejangan, malah di pukul. Gila dasar!”
Reina tersenyum meremehkan, dia melipat tangan didepan d**a. “Iya, gue gila. Gila karena percaya sama omongan Lo yang udah bikin gue malu seumur hidup.”
“Apaan?” tanya Bima bingung, dia merasa tak membuat kesalahan.
“Pikir aja sendiri!”
“Ya ampun, Rein. Maaf ...”