6

1558 Kata
“Ke mana lagi kau akan pergi setelah ini? Apa selamanya kau akan menjadi manusia gua seperti itu? Rumahmu pasti sudah menjadi rumah hantu sekarang ini.” Benjamin Anderson tertawa mendengar kata-kata yang diucapkan dengan sinis itu. “Aku bukan manusia gua, Sayangku. Rumah-rumah yang kusewa masih memberikan kenyamanan yang kubutuhkan. Dan jelas aku berpakaian lengkap tidak seperti manusia gua yang kau ketahui.” Sue mencibir. “Tetap saja itu bukan rumahmu. Apa enaknya berada di tempat asing tanpa satu orang pun yang kau kenal. Aku tahu persis bagaimana rasanya hidup melarikan diri seperti itu.” Nada getir terdengar di akhir kalimat Sue. Ia tahu bahwa apa yang dilakukannya sekarang dianggap ‘melarikan diri’ oleh para keluarga dan juga sahabatnya. Akan tetapi, hanya itu yang bisa Ben lakukan untuk menikmati hidupnya. Atau setidaknya, mencoba menikmati hidup dan kesendiriannya. Apa kalian tahu jika menjadi single terakhir itu ternyata sangat tidak menyenangkan? Oke, mungkin memang ia bukan pria yang tergila-gila pada ikatan pernikahan, tetapi melihat orang-orang di sekelilingnya selalu bertingkah layaknya burung-burung yang tengah kasmaran, lama-lama Ben menjadi iri juga. Kenapa Tuhan suka sekali bercanda dengannya? Ia pernah kehilangan orang yang sangat dicintainya. Yah, bukan seorang kekasih karena sebelum itu memang Ben tidak pernah ingin jatuh cinta apalagi menikah. Saat itu. Beberapa tahun lalu, Sally, adiknya meninggal saat hamil karena pendarahan yang dialaminya. Hidup Ben hancur ketika itu. Sally adalah hidupnya. Tujuan hidup Ben hanyalah membuat dan melihat Sally hidup bahagia bersama keluarga yang gadis itu idamkan. Namun semua itu tidak lagi berarti ketika Sally menutup mata untuk selamanya. Lalu, ia jatuh cinta pada Sue yang jelas-jelas mencintai pria lain. Meskipun pada akhirnya Ben sadar jika perasaannya pada Sue tidak bisa disebut cinta, tetap saja ia pernah berharap bisa menua bersama wanita itu. Terakhir, ia sempat jatuh cinta pada Mary, sahabat Sue. Perasaan itu memang hanya sesaat karena gadis itu juga akhirnya menikah dengan pria lain. Jadi, Ben memilih mematikan rasa yang sempat ia miliki untuk Mary. Akan lebih baik melupakan dan pergi daripada terus bertahan menyukai orang yang jelas-jelas tidak akan menjadi milik kita. Lalu di mana letak keadilan Tuhan untuknya? Di saat semua orang hidup bahagia dengan pasangan mereka, ia menjadi seorang yang menyedihkan dengan selalu menjadi penonton. Tentu saja itu bukan soal seks. Ia memiliki kehidupan seks yang rutin meskipun itu dengan wanita yang selalu berbeda. Yeah, dirinya bukan orang suci. Dan seks adalah kebutuhan yang tidak bisa ia tinggalkan. Masa terlama ia tidak berhubungan seks adalah ketika ia memiliki perasaan pada Sue. Ia adalah jenis pria yang setia. Jadi, ketika menyukai seorang wanita, Ben hanya akan memandang wanita itu saja. Ini adalah tentang memiliki seseorang untuk pulang. Zac punya Sue jika ia pulang dari penerbangannya yang panjang. Byron memiliki Zoe jika ia lelah karena pekerjaannya di hingar bingar Hollywood. Dan Mary…yah, ia memang tidak mengenal siapa suami wanita itu, tetapi jelas orang itu juga sudah menemukan rumahnya. ‘Rumah’ yang seharusnya menjadi milik Ben. Jadi, sebagai seseorang yang tidak memiliki ‘rumah’, Ben rasa itu wajar jika ia pergi ke mana saja dirinya ingin pergi. Mencari foto-foto bagus. Itu alasan yang Ben katakan pada Sue ketika pertama kali mengatakan pada wanita itu bahwa ia akan ‘bertualang’. Tentu saja Sue mencegahnya pergi. Akan tetapi, tidak ada yang bisa wanita itu lakukan untuk mencegahnya pergi di saat ayah dan ibunya sendiri juga sudah memberikan ijin penuh. Ia pria dewasa yang tidak butuh persetujuan siapapun untuk bertahan ataupun pergi. Beberapa bulan sekali ia akan pulang ke Portland untuk mengunjungi Sue dan keponakan-keponakannya yang lucu. Zach yang kini berusia lima tahun, dan Killian, yang dua tahun lebih muda dari kakaknya. Oh, dan satu tambahan calon bayi yang sedang Sue kandung sekarang. Kenapa Zac suka sekali menghamili istrinya? Apa dua anak saja tidak cukup bagi pria itu? Ia tahu bagaimana kehamilan pertama Sue dulu dan bersyukur karena sekarang Zac selalu ada di samping istrinya itu. Karena jika tidak, Ben tidak akan pernah pergi ke mana-mana. Sue selalu mengingatkannya pada Sally, dan selamanya, ia akan menyayangi Sue seperti ia menyayangi adiknya. “Benjamin! Aku bicara padamu!” Kembali Ben menyeringai pada Sue yang melotot padanya. Wanita itu menyurukkan kakinya lebih dekat lagi hingga Ben kembali melanjutkan memijit kaki Sue. Kehamilan Sue belum cukup tua, tetapi tampaknya wanita itu sudah kepayahan dengan tubuhnya. Apa karena ini kehamilan ketiganya? “Sial! Aku merindukan pijatanmu,” erang Sue sambil menjatuhkan kepalanya di sandaran sofa. Sue bergerak untuk membuat posisinya lebih nyaman. Ben tersenyum. Sue tampak berbeda. Sue tidak terlihat seperti ini saat hamil Zac dulu. wanita ini bahagia, dan Ben ikut bahagia untuknya. “Zac tidak pernah melakukannya padamu?” “Aku sering memijat kakinya! Hanya saja dia bilang pijatanku tidak seenak pijatanmu.” Protes Zac sambil menurunkan Killian dari gendongannya hingga anak itu duduk di karpet disusul oleh Zach. Sue terkekeh menatap suaminya. “Untuk yang satu itu, aku minta maaf, kau memang tidak berbakat seperti Ben.” Zac cemberut dan duduk di lantai, di dekat Sue, mengamati anak mereka bermain. Tangannya meraih tangan Sue lalu memijatnya lembut. “Nah, sekarang kau bisa membandingkan pijatan kami secara langsung.” “Kau benar-benar tidak mau kalah ya?” ejek Ben sambil menekan lembut telapak kaki Sue. Ben tahu jika kehamilan memang tidak pernah mudah. Kenaikan berat badan yang dialami akan membuat otot-otot menjadi tegang karena bertambahnya tekanan. Dulu, setiap kali suami Sally bekerja, Ben yang akan memijit kaki adiknya itu. “Jadi dari negara bagian mana kau kemarin? Tampaknya kau sangat betah berada di sana sampai tidak pulang selama…berapa lama, Sayang?” Zac mendongak pada Sue. “Tujuh bulan dua puluh tiga hari.” Ben tertawa. Itu memang kepergiannya yang paling lama. Biasanya, ia akan pulang ke Portland setiap tiga atau empat bulan sekali. Hanya saja, tempat terakhir yang ia kunjungi telah membuatnya jatuh cinta dengan kondisi alamnya yang luar biasa. “Alabama,” jawab Ben dengan riang. “Neversink Cave benar-benar luar biasa, Man! Kau harus ke sana suatu saat nanti.” Bagi Ben, tempat itu terasa seperti surga. Gua itu adalah bebatuan kapur yang berada 162 kaki di bawah tanah. Dan potret yang bisa diambil Ben di tempat itu benar-benar menjadi foto-foto paling indah yang pernah diambilnya. Sapuan sinar mentari yang menerangi gua, pemandangan sinar yang terlihat seperti pintu ke dimensi lain, juga batu-batuan yang berserakan dan berkilau di bawah kakinya. “Dan meninggalkanku sendirian di sini?” Sue melotot. “Coba saja kalau kau berani, Zac!” Zac mencium tangan Sue yang digenggamnya kemudian menatap istrinya itu. “Aku tidak akan ke mana-mana tanpamu.” Yah, ini adalah bagian yang paling Ben benci jika ia harus kemari. Cara dua manusia itu saling menatap, tidak pernah berubah selama bertahun-tahun. Dirinya masih bisa mengingat saat pertama kali melihat Zac menatap Sue setelah perpisahan mereka. Tatapan itu masih sama. Bahkan mungkin, bukan mungkin lagi, Ben sangat yakin, tatapan itu bermakna jauh lebih dalam sekarang. Ia berpaling menatap Killian dan Zach yang asyik bermain lego yang tadi dibawanya. Lebih baik menonton anak-anak itu daripada melihat dua orang dimabuk asmara yang ia yakin akan berciuman sebentar lagi. Ben mengerang saat tebakannya benar-benar terjadi beberapa saat kemudian. Ia melepas kaki Sue dan meluncur turun ke lantai. “Cari kamar sana!” gerutunya masam. Zac tertawa. “Titip mereka ya,” katanya sambil menggendong Sue yang cekikikan. Lihat kan? Ini benar-benar buruk. Seharusnya ia memang tidak kemari di saat Zac ada di rumah. Akan tetapi, ia benar-benar merindukan dua bocah ini. Jika ada satu hal yang membuatnya berat untuk pergi, itu adalah Zach. Zach telah menjadi bagian hidup Ben semenjak anak itu terlahir ke dunia ini. Ia tahu bagaimana saat Zach lahir, ketika bocah itu masih seorang bayi merah. Ia akan ikut terbangun tengah malam ketika Zach kecil rewel dan Sue tidak bisa menenangkannya. Ia yang mengajari Zach berjalan. Ia yang mendengar kata pertama yang Zach ucapkan. Meskipun bukan anaknya, Ben benar-benar menyayangi Zach dengan sepenuh hatinya. Ia adalah pria pertama yang Zach kenal dalam hidupnya. Hingga saat ini, meskipun sudah ada Zac, anak itu akan selalu ikut pulang bersamanya setiap kali Ben berkunjung. “Kenapa Paman sekarang tidak pernah datang lagi?” tanya Zach sambil mendongak dari keasyikannya menyusun lego. “Paman sibuk bekerja.” Hanya itu yang bisa Ben katakan setiap kali Zach bertanya. Zach menatapnya dengan sedih. “Aku hanya bermain dengan Killian setiap kali Pa terbang. Aku merindukan Paman.” Ben tersenyum dan mencium kening Zach. “Paman juga merindukanmu, Nak.” “Aku juga merindukan Paman.” Killian menimpali sambil tersenyum menampilkan gigi ompongnya. Ben membuka lengannya sebelum anak itu menghambur ke dalam pangkuannya. Zach yang tidak ingin kalah dari adiknya, ikut merangsek ke sisi badan Ben yang lain. Meskipun ada Byron, ia selalu menjadi paman favorit dua anak ini. Begitu juga mereka yang akan selalu menjadi keponakan favoritnya. Anak-anak ini akan selalu menjadi hidupnya. Mungkin Tuhan memang tidak memberikannya pasangan seperti orang-orang di sekelilingnya. Akan tetapi, Ben mendapatkan dua malaikat ini, yang akan segera menjadi tiga. Dan meskipun itu tidak cukup, Ben bersyukur untuk mereka. Zach dan Killian telah memberikan lagi hidup di keluarganya yang sempat mati karena kepergian Sally. Dulu, ibunya bahkan tidak lagi memiliki semangat hidup setelah kepergian Sally. Kini, keceriaan orang tuanya bangkit lagi karena kehadiran anak-anak ini. Tuhan memang tidak memberi apa yang ia inginkan, tetapi Ben tahu jika Tuhan memberikan apa yang ia butuhkan. Ia tahu itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN