5

1766 Kata
“Mr. Dahl, mau keluar?” Mary bisa mendengar suara itu dengan tidak terlalu jelas. Namun, ia mengenali suara itu. Itu adalah pria yang sama dengan yang tadi berkunjung ke rumahnya. Apa ia benar-benar akan lolos kali ini? Pria itu tampak menyeramkan, mungkin saja ia akan memeriksa setiap sudut mobil yang ada dan akhirnya akan menemukannya. “Menengok anakku,” jawab John dengan tenang. “Apa kalian akan menginap?” “Ya.” “Selamat bersenang-senang. Sampaikan salamku untuk anak kalian. Semoga hari kalian menyenangkan,” kata pria itu lagi sebelum Mary merasakan mobil kembali bergerak. Apa artinya dia sudah aman sekarang? Apa mereka benar-benar lolos dari pemeriksaan itu? Kenapa ia bahkan tidak mendengar pintu-pintu yang dibuka tutup? Apa ini bukan jebakan? Dan jika memang mereka sudah lolos, kenapa Viona belum juga membukakan bagasi rahasia ini? Mary sudah merasa kegerahan, lengket, dan pegal di kedua kakinya. Sebuah lubang udara kecil yang ada di bawah hidungnya sama sekali tidak membuat banyak udara masuk. Bahkan mungkin itu hanya cukup untuk memberi suplai oksigen beberapa menit lagi. Jika harus berada di dalam sini lebih lama lagi, Mary yakin ia akan pingsan. “Mary, kau bisa mendengarku?” Apa ia harus menjawab? Salah. Apa dirinya bahkan bisa menjawab pertanyaan Viona itu? Bibirnya terasa kaku. Entah mengapa. Jadi, Mary memilih untuk diam dan berharap jika Viona mengira dirinya pingsan hingga wanita itu segera membuka bagasi ini untuknya. Mary merasakan getaran keras di tubuhnya ketika seseorang, melompat?, ke sampingnya. Tidak lama, bagasi terbuka dan ia menghirup udara dengan rakus. Ia menatap wajah Viona yang menunduk padanya. Tangan Viona meraihnya dan membantu Mary untuk duduk. Mary duduk dengan linglung dan memandang sekeliling. Benarkah jika mobil bahkan tidak berhenti? Bagaimana Viona bisa berada di bagian belakang mobil seperti ini jika mobil tidak berhenti? Seakan tahu pertanyaan yang tidak Mary ucapkan itu, Viona terkekeh dan berkata, “aku meloncat setiap jok. Salah satu keuntungan berbadan kecil.” Mary tersenyum. Dulu, ia sering melakukan itu jika berkendara dengan Zoe dan Sue. Sekarang senyumnya menjadi begitu sedih. Ia merindukan mereka berdua. Mary berharap bisa datang dan tinggal dengan salah satu dari mereka, tetapi tahu jika itu bukan pilihan yang tepat. Gideon pasti akan tahu jika ia bersama salah satu dari mereka. “Ayo, duduklah di jok yang empuk. Perjalanan kita masih panjang.” Viona kembali meloncat jok tengah, dan terus ke depan hingga ia kembali duduk di samping John. Setelah menggerakkan kakinya yang terasa kaku, Mary mengikuti apa yang Viona lakukan dan menghela napas lega saat akhirnya ia bisa duduk dengan nyaman di jok empuk itu. “Mereka tidak memeriksa ke dalam? Aku tidak mendengar suara pintu dibuka.” Viona menoleh padanya dan tersenyum. “Jika Mark yang berjaga, ia hanya melihat lewat jendela-jendela. Dia sangat percaya pada kami.” “Pria kulit hitam itu?” “Bukan. Yang satunya lagi. Dia tidak pernah berpatroli ke rumahmu. Mark adalah satu-satunya yang tidak setuju dengan suamimu. Tetapi, seperti kami, dia tidak bisa berbuat apa-apa.” Yah, tidak ada yang bisa berdaya jika dihadapkan pada kenyataan akan diusir dari rumahnya sendiri atau kehilangan pekerjaan. Mungkin kepergiannya ini memang yang terbaik karena secara tidak disadarinya, keberadaan Mary di sana telah menyusahkan begitu banyak orang. “Aku minta maaf telah menyulitkan hidup kalian semua di sana.” “Bukan salahmu, Sayang. Ini semua ulah suami gilamu itu.” Mary menatap John yang mengucapkan itu dengan penuh emosi meskipun ia tetap fokus pada jalanan di depannya. “Ke mana kita akan pergi?” “Kami akan mengantarmu ke terminal bus di luar Seattle, dan setelah itu kau sendiri yang memutuskan ingin pergi ke mana. Jangan beritahu kami ke mana kau pergi.” Mata Mary membelalak. Jadi mereka akan ‘melepasnya’ begitu saja? Namun bagaimana ia bisa bertahan hidup nanti? Mary tidak membawa uang sepeser pun, juga semua pakaian yang ia miliki masih ada di rumah Gideon. Bagaimana mungkin ia bisa melanjutkan hidupnya? “Jangan khawatirkan apapun. Pakaian sudah aku siapkan di koper. Juga uang tunai agar kau bisa membeli tiket bus dan mencari rumah sewa di sana.” “Viona…” Air mata Mary merebak. Bagaimana mungkin Viona sebaik ini padanya? Mereka tidak pernah saling mengenal selain menatap dari balik jendela dapur dan tersenyum sesekali. Kenapa Viona mau membantunya seperti ini? “Kenapa kalian mau menolongku?” Viona mencari sesuatu di tasnya sebelum menoleh kembali kepada Mary dan mengulurkan sebuah foto padanya. Lagi-lagi mata Mary membelalak saat menatap foto yang ada di tangannya. Gadis itu benar-benar mirip dengannya. Yang membedakan hanyalah rambut pirang wanita itu, yah meskipun sekarang sama karena ia juga berambut pirang, juga mata hitam besar yang tampak ceria. Gadis ini terlihat begitu muda dan mirip dengan Viona. “Si…siapa dia?” “Valerie. Dia putri kami.” Mary tahu jika seseorang memang memiliki setidaknya tiga orang yang mirip dalam hidup meskipun tidak ada hubungan darah. Namun, saat melihat bahwa dirinya juga memiliki orang yang benar-benar mirip, rasanya agak…aneh. Myra yang jelas-jelas kakak kandungnya saja tidak mirip dengannya. “Di mana dia sekarang?” Viona menghela napas sedih. “Dia meninggal beberapa tahun lalu.” Sial! Itulah alasan mengapa John menatapnya dengan sedih. Itulah alasan mengapa Viona sering menatapnya dari jendela dapur milik wanita itu. Itulah alasan mengapa mereka mau bersusah payah menolongnya. Karena ia mirip putri mereka yang sudah tidak ada lagi di dunia ini. “Aku…aku ikut berduka untuk kalian.” Meskipun mungkin sudah beberapa tahun berlalu, Mary tahu jika luka karena kehilangan seorang anak tidak akan pernah hilang. Luka itu akan terus ada dan menganga. “Itu sudah lama berlalu, tetapi kami tidak bisa melupakannya. Dan hari ini…” mata John meliriknya dari spion, “adalah hari kematiannya.” Mary ingin menangis sekarang. Ini pasti begitu berat bagi mereka berdua. Kehilangan anak saja sudah menjadi pukulan terberat yang tidak akan pernah bisa disembuhkan, kini mereka malah harus melihat orang lain yang begitu mirip dengan putri mereka. “Valerie meninggal karena menerima siksaan dari suaminya.” Meskipun pelan, ucapan Viona itu mampu membuat Mary sangat terkejut. Bagaimana mungkin kisah mereka begitu mirip? Apa ini hanya kebetulan? Atau memang ini bagian dari takdir hidup? “Awalnya, kami kira pernikahan mereka bahagia. Valerie selalu tampak riang jika kami menelepon, tetapi ternyata itu karena Allen mengancamnya.” “Pria itu benar-benar psikopat gila! Aku menyesal membiarkan putriku menjalin hubungan dengannya!” Tangan John mencengkeram stir mobil dengan erat. “Jika aku tidak tertipu dengan sikap santun itu, aku pasti tidak akan mengorbankan nyawa putriku seperti ini.” “Allen memiliki gangguan jiwa sadisme dan kami tidak mengetahuinya. Valerie menerima perlakuan yang begitu buruk selama dua tahun pernikahannya. Pria itu menyembunyikannya dengan sangat baik ketika mereka menjalin hubungan.” “Bagai…bagaimana dia meninggal?” “Satu hari dia meneleponku dan berkata sudah tidak kuat lagi. Ia ingin kami ke rumahnya.” Viona mengusap pipinya yang basah. “Seharusnya kami datang lebih cepat.” Kini suaranya hanya berupa bisikan lirih diiringi suara sesenggukan. “Kami menemukan dia dalam kondisi penuh darah dan pukulan. Allen baru saja menyiksanya habis-habisan karena Valerie bilang akan lari dari rumah jika pria itu terus menyiksanya,” sambung John pelan. Satu tangannya turun dari setir dan menggenggam tangan Viona. “Kami sempat membawanya ke rumah sakit, tetapi dia tidak bisa bertahan. Organ-organnya rusak parah karena penyiksaan yang diterimanya.” Air mata Mary meluncur ke pipinya. Dadanya terasa begitu sesak membayangkan nasib Valerie yang begitu menyedihkan. Bagaimana jika hal itu juga terjadi padanya satu saat nanti jika ia tetap berada di rumah itu? Tidak akan ada orang yang bisa menolongnya seandainya Gideon berniat membunuhnya. “Apa polisi berhasil menangkap Allen?” “Dia ditangkap di Kansas, tiga minggu setelah kematian Valerie,” jawab John dengan suara serak. “Ia dijatuhi hukuman seumur hidup dan mati dua tahun lalu karena penyakit.” “Kami pindah ke Seattle setelah kematian Valerie dan berharap bisa melupakan peristiwa buruk itu.” “Sayangnya kalian malah bertemu denganku.” Viona menoleh padanya. “Dan bagi kami itu seperti kesempatan kedua. Kami tidak bisa menyelamatkan putri kami, tetapi kami bertekad harus menyelamatkanmu apapun caranya, Nak.” “Kau pasti selalu mengamati rumah kami.” Viona mengangguk. “Aku selalu menunggu kapan suamimu itu benar-benar pergi. Pria sukses seperti dia seharusnya biasa pergi ke luar negara bagian. Aku hanya tidak menyangka harus selama ini waktuku menunggu.” Mary tersenyum muram. Selama ini, urusan bisnis di luar Seattle memang selalu diserahkan Gideon pada orang lain. Jadi, ketika hari ini dia pergi, itu pasti adalah memang cara Tuhan membantunya untuk pergi. Cara yang Tuhan kirimkan lewat pasangan ini. “Aku tahu pasti dia menakutimu dengan berkata bahwa ia akan menyiksa orang-orang yang kau sayangi jika kau kabur atau menceritakan apa yang kau alami pada orang lain. Percayalah padaku itu hanya ancaman. Orang semacam itu terlalu takut jika kebusukannya terbongkar di depan umum.” Viona menatapnya. “Jadi menurutmu dia tidak akan menyiksa ibuku?” “Dia tidak akan berani menyentuhnya seujung kuku pun. Aku jamin itu. Yang aku takutkan, dia justru akan mencarimu,” jawab John. Mary menangkap mata sedih John yang menatapnya dari balik spion. “Karena itulah kau harus pergi jauh dari Seattle.” Viona menyerahkan tas kecil padanya. “Di situ ada uang dan tanda pengenal milik Valerie. Kau bisa menggunakannya nanti di tempatmu tinggal. Mungkin Val memang lebih tua beberapa tahun darimu, tetapi aku yakin itu tidak akan terlalu terlihat. Dia meninggal di umur dua puluh tujuh, sekitar empat tahun lalu.” “Viona…ini…” Air mata Mary kembali merebak. “Bagaimana aku bisa membalas kebaikan kalian?” “Hanya berjanjilah pada kami kau akan pergi sejauh mungkin dan hidup dengan bahagia sesudah itu. Hanya itu yang bisa kami lakukan untuk menebus kesalahan kami pada Val dulu.” “Bagaimana jika aku ingin menghubungi kalian?” Suatu saat nanti, Mary tahu ia pasti akan merindukan mereka. Kini, setelah tahu bahwa ia mirip dengan putri mereka yang sudah meninggal dan memiliki kisah hidup yang juga sama dengannya, Mary merasa memiliki ikatan yang kuat dengan John dan Viona. “Ada nomor telepon kami di situ, tetapi jangan hubungi kami sampai kau benar-benar hidup dengan aman. Aku akan berasumsi tidak ada kabar berarti kabar baik. Kau mengerti?” Walaupun berusaha mengatakan itu dengan tegas, air mata meluncur mulus di pipi kurus Viona. Mary mengangguk. Ia sangat ingin memeluk Viona dan mengucapkan terima kasih. Namun itu bisa ia lakukan nanti saat mereka akan berpisah. Satu hal yang harus ia pikirkan sekarang adalah, ke mana ia akan pergi? ==== Yuhuuuu...Mamak kambeekkk lagiii.. Maapin yaaakk yang nunggu luaaamaaa bangett... Mudah-mudah Mei ini bisa update tiap hariii... hihihi...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN