Setelah mendengar kalimat itu, seketika Ikfan terdiam dan membisu. Sementara Alysa yang melihat reaksi Ikfan yang langsung terdiam tanpa kata setelah mendengar jawabannya, langsung saja ia memutuskan untuk pamit.
"Yaudah kalau gitu ana pamit, a*s—"
"Tunggu sebentar," tahan Ikfan memotong ucapan Alysa.
Tak dapat dipungkiri lagi, kini jantung Alysa semakin berdetak kencang. Setelah mencegahnya pamit, sesaat Ikfan kembali terdiam, ia bingung harus berkata apa.
"Apa kabar?" tanya Ikfan setelah lama terdiam.
"Baik," jawab Alysa singkat tanpa bertanya balik.
Ikfan melirik ke arah kiri dan kanannya melalui ekor matanya. Ia merasa canggung.
"Eumm.. maaf," ucap Ikfan kemudian dan itu membuat Alysa bingung.
"Maaf untuk apa?"
"Kamu kuliah di ITB, 'kan?" tanya Ikfan mengalihkan pembicaraan—tak menghiraukan pertanyaan Alysa—dan mengganti gaya bicara "anti" menjadi "kamu".
Merasa aneh namun tak mau ambil pusing, sebagai jawaban Alysa hanya bisa mengangguk.
"Sama siapa tinggal di Bandung?" tanya Ikfan lagi.
"Ortu," jawab Alysa cepat dan singkat.
Melihat gelagat Alysa yang terkesan dingin—tanpa berniat untuk bertanya balik—Ikfan pun kembali bingung harus bertanya apa lagi.
Satu menit.
Dua menit.
Tiga menit.
Keduanya masih hening.
Hingga akhirnya...
"Kamu tinggal dimana?" tanya Ikfan memberanikan diri. Jujur sejak awal memang pertanyaan ini yang ingin Ikfan tanyakan kepada Alysa.
Merasa perasaannya semakin bergemuruh, Alysa terdiam sesaat sebelum menjawab pertanyaan dari lelaki itu.
"Di jalan Natuna,"
Tak puas dengan jawaban itu, Ikfan kembali bertanya. "Natuna nomor berapa? Yang dekat mall besar itu bukan?" tanya Ikfan—terkesan bawel.
Bukan sembarang Ikfan menebak letak rumah Alysa seperti itu, hanya saja dirinya tadi saat sedang browsing menggunakan google maps selama berkeliling di kota Bandung, ia tak sengaja sempat melihat nama jalan yang Alysa ucapkan, yang letaknya memang dekat dengan sebuah mall besar.
Sekali lagi, Alysa mengangguk sambil menundukkan pandangannya dari Ikfan. "Nomor 12," cicitnya menjawab dengan suara amat pelan.
Setelah berhasil mengetahui kediaman gadis yang ada di hadapannya ini, tanpa Alysa sadari Ikfan tengah tersenyum senang.
"Yaudah kalau gitu ana pamit, assalamu'alaikum." Pamit Alysa seraya bergegas pergi dari hadapan Ikfan. Sedangkan Ikfan hanya diam menatap kepergian Alysa.
"Wa'alaikumussalam," lirih Ikfan menjawab salam Alysa. Sungguh, saat itu suasana hatinya tengah bersorak ria.
▪▪▪▪▪▪
Sesampainya Ikfan di villa, sikap Ikfan berubah menjadi lebih banyak diam. Namun tak jarang dalam diamnya juga ia sesekali tersenyum sendiri. Andre yang melihat sikap aneh sahabat dekatnya itu yang setibanya dari jalan-jalan pagi tadi, ia pun mulai menebak-nebak apa yang terjadi dengan Ikfan.
"Gian, lo liat kagak si Ikfan?" bisik Andre pada Gian—mereka sedang ada di meja makan memperhatikan Ikfan yang tengah duduk di ruang tamu sendirian sambil memainkan ponselnya.
Gian menoleh Andre aneh. "Liatlah, dia 'kan gede badannya, mana mungkin gue gak liat," jawab Gian sekenanya.
Mendengar jawaban Gian, Andre berdecak sebal. "Ish lo tuh ya, maksud gue lo liat kagak tingkah aneh si Ikfan setibanya dari jalan-jalan pagi tadi?" tanya Andre bernada gemas.
"Ohhh itu.. kagak," jawab Gian kalem.
"Masa sih lo gak liat?" heran Andre.
"Lah, emang kenapa si Ikfan?" tanya Gian balik.
"Dia itu jadi sering senyam-senyum sendiri bro.. gue khawatir dia itu ke sambet," jawab Andre ngawur.
"Aelah lo.. mana ada si Ikfan kayak gitu. Dia itu 'kan suka sholat, mana mungkin dia ke sambet," kata Gian sebari terkekeh.
"Gue serius, 'kan bisa aja."
"Lagi ngomongin gue ya?" tanya Ikfan sinis yang tiba-tiba hadir di meja makan.
Mendengar suara itu sontak Gian dan Andre sedikit terkejut melihat kedatangan Ikfan yang tiba-tiba.
"Tau tuh, si Andre. Dia ngira lo ke sambet Fan setelah jalan-jalan pagi tadi," celetuk Gian comel.
Mendengar ucapan Gian, Andre mengelak. "Enak aja, ko jadi ke gue," timpa Andre tak mengaku. "Yang ada itu lo," sambungnya menuduh Gian.
"Heh, jadi lo nyalahin gue? Udah jelas-jelas lo yang gitu?" timpa Gian tak terima.
"Bukan Fan.. bukan gue," Andre masih tak mengaku.
"s**t! Lo bohong!" timpa Gian.
"Lo.."
"Elo.."
"Elo curut," balas Andre ke kanak-kanakkan.
"Bisa gak sih dewasa sedikit!!" ucap Ikfan terdengar tak bersahabat dan menengahi peraduan mulut antara Gian dan Andre.
Mendengar itu, lantas Gian dan Andre pun diam.
"Dre, lo pikir gue gak denger apa yang sejak awal lo bicarain. Dari ruang tamu juga gue bisa denger kali," kata Ikfan.
"Kalau denger, terus ngapain tadi lo nanya?" tanya Andre yang merasa tak bersalah.
"Nguji." Jawab Ikfan simple.
"Nguji apaan, Fan? Udah kayak dosen aja lo," sambung Gian.
"Dre, gua ingetin ya ke lo, jangan bicarain orang di belakang. Berani? Maju ke depan, bukan di belakang. Pengecut tau gak lo!" kata Ikfan.
"Lagian siapa yang ngomongin lo, ini fakta, sikap lo tuh aneh sejak pergi tadi pagi," Andre berkilah.
"Mau fakta atau bukan, jangan pernah lo ngomongin orang lain di belakang, itu ghibah," nasihat Ikfan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala aalihi wa sallam bersabda:
"Tahukah kalian apa itu ghibah?", Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Beliau bersabda, "Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka." Lalu ditanyakan kepada beliau, "Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya ungkapkan?" Maka beliau bersabda, "Apabila cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibahinya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya (berbuat buhtan)." (HR. Muslim. 4/2001. Dinukil dari Nashihatii lin Nisaa', hal. 26).
Keharaman Ghibah,
Ummu Abdillah Al-Wadi'iyah berkata: Ghibah itu diharamkan, sedikit maupun banyak.
Di dalam Sunan Tirmidzi terdapat riwayat yang menceritakan hadits dari jalan Ibnu 'Umar, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam naik mimbar dan menyeru dengan suara yang lantang: "Wahai segenap manusia yang masih beriman dengan lisannya namun iman itu belum meresap ke dalam hatinya janganlah kalian menyakiti kaum muslimin. Dan janganlah melecehkan mereka. Dan janganlah mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka. Karena sesungguhnya barang siapa yang sengaja mencari-cari kejelekan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengorek-ngorek kesalahan-kesalahannya. Dan barang siapa yang dikorek-korek kesalahannya oleh Allah maka pasti dihinakan, meskipun dia berada di dalam bilik rumahnya."(Hadits ini tercantum dalam Shahihul Musnad, 1/508).
"Hah.. Ya lah ya lah, maafin gue." Andre mengalah.
Mendengar itu, Gian mengelengkan kepalanya. "Dasar lo Dre, Dre.."
"Jangan diulangi lagi," peringat Ikfan dengan raut wajah datarnya.
"Okeee.." Kali ini Andre mengakui kesalahannya. "Eh btw, lo tuh kenapa sih Fan habis dari jalan pagi tadi, ko lo jadi sering senyam-senyum sendiri? Masih waras 'kan lo?" sambungnya bertanya.
"Lo pikir gue gila?" tanya Ikfan balik.
"Ya kali aja," jawab Andre santai.
"Parah lo," ucap Ikfan tak terima seraya pergi dari hadapan Andre dan Gian yang masih berada di meja makan.
Andre pun hanya bisa terkekeh melihat sikap Ikfan. Namun setelah sampai di kamarnya, Ikfan nampak menyunggingkan senyumannya lagi karena mengingat kejadian tadi pagi di depan toko buku.
Ya Allaah, apa ini hanya kebetulan atau karena memang Kau ingin aku dan Alysa berjodoh?
▪▪▪▪▪▪
"Inget ya, daftar absennya," kata Nesha saat sedang mengurusi berkas tahsin bersama dengan Caca dan Tia. Hari ini mereka tengah berkumpul di ruang tamu wisma.
"Yang ini juga teh?" tanya Caca sambil menyodorkan sebuah kertas.
"Iya," jawab Nesha.
"Jadi, sore ini tahsin libur ya teh?" tanya Tia.
"Iya Tia," jawab Nesha sambil tersenyum.
"WHAT IS THIS?" suara lantang Hanifah terdengar dari arah dapur.
Mendengar itu Nesha, Caca, dan Tia saling menatap satu sama lain.
"Ada apa tuh sama teh Hanifah?" tanya Tia.
Nesha dan Caca menggelengkan kepala mereka pelan.
"Biarin aja, paling dia mau berceloteh ria," jawab Nesha asal.
"Tapi teh—"
"Biarin aja, udah.. mending kita rekap lagi absen tahsinnya," sela Nesha.
Akhirnya Caca dan Tia menuruti perkataan Nesha dan mengabaikan Hanifah yang tengah berada di dapur.
▪▪▪▪▪▪
"Ya Allaah, cucian siapa ini ko numpuk di sini sih?" decak Hanifah kesal saat mendapati baju cucian numpuk di ember—tepatnya di samping mesin cuci.
"Ada apa teh?" tanya Resa yang memasuki dapur karena mendengar suara lantang Hanifah tadi.
"Ini nih Res, cucian siapa ini? Ko numpuk di sini sih," jawab Hanifah bernada protes.
Resa melihat ember cucian yang di maksud Hanifah. "Punya teh Rida sama teh Rani mungkin." Resa ragu.
"Iya tapi kenapa gak langsung dicuci?" tanya Hanifah gemas.
Disaat sedang ada obrolan antara Hanifah dan Resa di dapur—tepatnya di depan kamar mandi—kemudian datanglah Alysa memasuki dapur. Namun dengan ekspresi yang dingin dan datar, Alysa seolah tak menghiraukan kehadiran Hanifah dan Resa di sana. Ia datang ke dapur hanya untuk mengambil air minum. Melihat tingkah aneh Alysa, lantas Hanifah memanggilnya.
"Dek," panggil Hanifah memberhentikan langkah Alysa yang berjalan menuju rak piring.
Alysa menolehnya dengan wajah yang datar. "Ya?"
"Adek gak papa?" tanya Hanifah khawatir dengan sikap Alysa yang akhir-akhir ini lebih banyak diam, terutama sejak dari toko buku tadi pagi.
"Alhamdulillah, aku baik teh," jawab Alysa seadanya.
"Yakin?" Hanifah ragu.
Alysa mengangguk.
Melihat gelagat Hanifah, Resa merasa bingung sendiri. "Emang Alysa kenapa teh?" tanya Resa pada Hanifah.
Hanifah melirik Alysa sesaat yang dilihat tengah menyicikan air minum ke dalam gelasnya—tanpa menghiraukan kehadirannya dan Resa.
"Ngga," jawab Hanifah.
Setelah berhasil meminum seteguk air putih, Alysa pun kembali lagi ke kamarnya dan meninggalkan dapur begitu saja. Sementara melihat itu Hanifah semakin dibuat aneh dengan sikap Alysa.
Aku harus introgasi dia, gak biasanya dia kayak gini. Batin Hanifah.