Dua Belas

1093 Kata
Ceklek... Hanifah membuka pintu kamar Alysa perlahan seraya mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum dek," Melihat seseorang membuka pintu kamarnya seraya mengucap salam, lantas Alysa yang tadinya tengah terduduk di atas kasur kini berjalan mendekati Hanifah yang berdiri di ambang pintu kamarnya. "Wa'alaikumussalam, iya teh," jawab Alysa sambil tersenyum. "Masuk teh." Alysa mempersilahkan Hanifah masuk setelah pintu kamarnya ia buka dengan lebar. Hanifah memasuki kamar Alysa seraya mengambil alih handle pintu untuk menutup pintu kamar tersebut. Sedangkan melihat gelagat Hanifah seperti itu, kening Alysa mengercit heran. Tidak seperti biasanya. "Ada apa teh?" tanya Alysa. Kini Hanifah terduduk di kursi belajar Alysa. Sedangkan Alysa berdiri di depannya. "Harusnya teteh yang tanyain itu dek, adek kenapa?" tanya Hanifah balik. Alysa semakin dibuat bingung. "Emang adek kenapa teh?" Terdengar Hanifah membuang nafasnya berat. "Dek, jangan dipikir teteh teh gak tau soal perubahan sikap kamu." Alysa terdiam. "Sejak pulang dari mall waktu sama Nesha, dan dari toko buku juga tadi pagi. Kamu itu jadi berubah sikapnya, lebih banyak diem dan gak segirang dulu," jelas Hanifah. Mendengar itu, Alysa pun mulai paham dengan apa yang dimaksud oleh kakak tingkatnya itu. "Aku baik-baik aja ko teh," ujar Alysa lembut. "Bohong!" bantah Hanifah. Alysa terdiam, namun pikirannya mulai bergelut kemana-mana. Ya Allaah, haruskah aku ceritakan soal Ikfan pada teh Hanifah? Alysa memang menjadi lebih banyak diam setelah bertemu dengan Ikfan akhir-akhir ini. "Dek," ucap Hanifah membuyarkan lamunan Alysa. "Aku gak papa teh, aku tuh cuma lagi bingung aja sama tugas dari kampus. Pusing," jawab Alysa menutup diri. Untuk sesaat Hanifah terdiam, ia tengah menyelidiki raut wajah redup Alysa. Apa benar sikapnya yang berubah itu hanya karena beban tugas kuliah atau ada alasan yang lainnya? "Adek lagi gak bohongin teteh, 'kan?" selidik Hanifah. Alysa mengangguk seraya menjawab, "aku bingung teh, besok udah mulai uprak, belum lagi tugas. Aku tuh..." lirih Alysa menggantung ucapannya. "Laa ba'sa dek.. keep hamaasah. Setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Teteh yakin kamu pasti bisa, bukankah Allaah memberikan kita ujian sesuai dengan kemampuan kita?" "Iya, teh," jawab Alysa lirih. "Iya apa?" "Iya Alysa tau, pasti Alysa bisa." Mendengar itu Hanifah tersenyum. "Denger ya dek, apapun yang terjadi teteh yakin kamu pasti bisa selama kamu selalu berdo'a dan meminta tolong sama Allaah. Tapi perlu diinget, jangan sampai berubah juga ya sikap ceria kamu jadi murung seperti ini hanya karena beban tugas," pesan Hanifah lembut. "Inget, tersenyum terhadap sesama muslim itu bisa menjadi sedekah," sambungnya. Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ “Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu“ Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan tersenyum dan menampakkan muka manis di hadapan seorang muslim, yang hadits ini semakna dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang lain, “Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu perbuatan baik, meskipun (perbuatan baik itu) dengan engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria“ "Iya teh, 'afwan," sesal Alysa. Jujur, ia menyesal karena telah bersikap demikian—lebih banyak diam dan murung—sejak bertemu Ikfan dan juga tugas kuliah yang memang terus membebaninya. Hanifah pun tersenyum walaupun dalam diamnya ia masih merasa ganjal dengan sikap Alysa. Semoga kamu emang lagi gak nutupin apapun dari teteh, dek. ▪▪▪▪▪▪ Pada malam hari terlihat Ikfan tengah terduduk santai di atas kasur. Sebari memainkan ponselnya, ia terlihat begitu serius. "Tuh 'kan bener dugaan gue, jalan Natuna itu deket mall," gumam Ikfan tanpa berpaling dari ponselnya. Saat itu Ikfan sedang mencari tahu soal jalan Natuna lebih detail yang menjadi tempat tinggal gadis impiannya—Alysa. "Telpon bunda jangan ya?" Saat itu pikiran Ikfan juga mulai bergelut kemana-mana. Ingin rasanya ia memberi tahu Rita—bundanya—soal pertemuannya dengan Alysa tadi. Tapi.... "Ah.. jangan dulu Fan. Terlalu kecepetan," lirihnya kemudian. Brak! Andre membuka pintu kamar Ikfan dengan kasar, lantas Ikfan langsung melihat ke arahnya yang kini berdiri di ambang pintu kamarnya dengan tatapan geram penuh kekesalan. "Dasar! Pelan-pelan kali kalau mau buka pintu kamar orang, salam kek, apa kek.. sopan dikit napa!!" semprot Ikfan kesal. Mendengar itu Andre malah cengengesan seraya berjalan mendekati Ikfan untuk duduk di sebelahnya—di atas kasur. "Sorry Fan, kelepasan." Andre berkilah. Ikfan menghela nafasnya, "serah lo!" "Eh besok hari terakhir kita nih di Bandung, bikin jadwal yuk!" Ajak Andre tiba-tiba. "Jadwal apaan?" tanya Ikfan yang masih bernada kesal. "Sans ae Fan kalau ngomong, kesel amat lo kayaknya sama gue," kata Andre yang tak merasa bersalah sedikit pun. "Gimana kagak kesel, orang lo dateng-dateng langsung dobrak pintu kamar gue," gerutu Ikfan. Andre terkekeh pelan. "'Kan udah gue bilang, kelepasan Fan.. kelepasan." Andre berkilah lagi sebari terkekeh kecil. Melihat itu Ikfan semakin berwajah kesal. "Serah lo!" ketusnya. "Ck, udahlah! Cuma gitu doang lo marah, banci lo. Dikit-dikit marah, kek cewe aja.. PMS," celetuk Andre asal. Ikfan tak bergeming, ia benar-benar malas jika harus meladeni Andre yang aneh itu. "Yuk bikin jadwal!!" Ajak Andre lagi. "Besok gue mau pergi," jawab Ikfan datar. Mata Andre membulat sempurna menatap Ikfan. "Mau kemana lo?" "Jalan-jalan," jawab Ikfan kalem tanpa berpaling dari ponselnya. "Jalan kemana curut?" tanya Andre gemas. "Kepo lo," bukan menjawab Ikfan malah menyemprot Andre dengan kata-kata ketusnya lagi. Karena merasa mulai tidak tahan dengan sikap ketus Ikfan, akhirnya Andre pun bersungut kesal. "Rese lo," ucapnya seraya pergi keluar dari kamar Ikfan. Melihat Andre pergi, Ikfan tersenyum menang. "Makannya jangan ngeselin jadi orang," gumamnya yang tidak terdengar oleh Andre. ▪▪▪▪▪▪ Seperti rencananya kemarin, Ikfan berniat untuk pergi—tanpa ditemani oleh teman BEM-nya—ia berniat pergi ke sebuah jalan, dimana terdapat tempat tinggal seorang gadis yang dulu pernah ia sukai semasa SMA. Dengan menggunakan ojek online, Ikfan sangat niat pergi menuju ke jalan Natuna—Bandung. Ia tak memakai mobil seperti kemarin karena mobilnya itu akan digunakan untuk jalan-jalan oleh Andre, Gian, dan teman BEM lainnya. "Lo yakin Fan gak mau ikut sama kita jalan-jalan?" tanya Andre ketika melihat Ikfan sudah siap untuk memesan ojek online. "Hm," gumam Ikfan terkesan dingin tanpa berpaling ponselnya. "Emang lo mau pergi kemana sih Fan? tumben-tumbenan lo gak mau ikut pergi sama kita," heran Aris. "Gue mau jalan-jalan sendiri," ucap Ikfan kalem. "Lo masih marah Fan sama gue? Gara-gara malem gue dobrak pintu kamar lo?" tebak Andre. Mendengar itu Gian dan Aris menatap Andre aneh. "Lo berantem sama si Ikfan, Dre?" tanya Gian penuh selidik. "Ngga, gue sama dia gak berantem. Udah ah! Ojol gue udah di depan, gue cabut ya. Maaf gue gak bisa ikut jalan-jalan sama kalian. Assalamu'alaikum," sela Ikfan yang langsung berpamitan dan pergi. Sedangkan melihat kepergian Ikfan, lantas Gian, Andre, dan Aris saling menatap satu sama lain dengan tatapan bingung. "Tuh anak kenapa sih?" aneh Gian. "Dia punya kerabat di Bandung?" tanya Aris pada Andre yang masih diam melongo. "Gue gak tau," jawab Andre seadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN