Sasha menghela napas panjang melihat isi kabinetnya di dapur. Kosong mlompong seperti isi perutnya saat ini. Lalu dia memegangi perutnya dengan lemas, sebelum terduduk di kursi ruang tengah. Tampak Jarlen sedang menatap Sasha lekat-lekat yang kembali membuang napas lebih panjang. Gadis itu kelihatan lelah dan tak bersemangat hari ini.
"Aku lapar. Tapi aku malas pergi mencari makanan. Hanya ada uang di kantongku---" Kemudian menolehkan kepala pada Jarlen yang berbaring di lantai. Wajahnya mendadak cerah seolah baru mendapat ide cemerlang. Perasaan Jarlen sudah tidak enak sekarang. Jarlen menegang tanpa mengalihkan pandangan ketika gadis itu beranjak mendekat.
Jangan-jangan Sasha ingin ....
Pluk!
Jarlen mengerjap-kerjap. Sebuah kantong kecil sudah mengarungi lehernya yang diikat dengan tali. Sementara Sasha berkacak pinggang di hadapannya sambil tersenyum lebar. "Tolong pergilah ke penjual buah dan beli sesuai dengan uang di dalam kantong itu, mengerti?" perintah Sasha. Bukan kali pertama.
Jarlen tampak sedikit lebih lega. Keterangannya yang dia pikir Sasha akan membuat olahan daging serigala pun hanya bayangan seram belaka. Huft! Apa yang kau pikirkan, Jarlen? Lantas tanpa banyak protes -karena dia tidak bisa bicara bahasa manusia dengan wujud serigala- Jarlen bangun dan berjalan ke arah pintu yang dibukakan Sasha di sampingnya.
Serigala itu menuruni anak tangga dari lantai lima. Keluar dari bangunan dan menyusuri jalanan. Terkadang orang-orang yang berpapasan menyapa Jarlen, menghampirinya hanya untuk mengelus bulu lebat serigalanya, semua orang begitu ramah dan mereka tahu siapa pemiliknya. Dia terus berjalan dengan gagah bak singa jantan yang menguasai jalanan.
Namun dia tidak mengikuti jalanan utama, melainkan berbelok ke arah lain yang sepi dari jangkauan manusia. Sebuah g**g dan jalan buntu di belakang tembok rumah. Memastikan tidak ada mata manusia yang dapat melihat ke sisi ini, kemudian dengan ajaib dia mengubah wujud serigalanya menjadi manusia.
Sedetik berikutnya dia tertegun terdiam tiba-tiba kala teringat satu hal penting. Jarlen menunduk, dan melihat bahwa dia tidak mengenakan baju! Tampak kalung dengan buntalan kain berisi koin tergantung di dadanya. Oh siapa pun yang melihatnya seperti ini, mungkin agak sulit membedakan mana bocah dan mana pria maskulin yang dewasa. Jarlen kelihatan menggemaskan sekali mirip dengan muka polosnya.
Jarlen sadar dia tidak berpakaian atas selain hanya celana panjang di pinggang. Jarlen juga tahu dan belajar etika kehidupan manusia, dengan penampilan setengah tel4njang ini pasti akan menarik perhatian mereka, maka matanya yang kelabu bergerak menyapu dengan bibir tipis lelaki itu sedikit terbuka.
Hingga dia temukan saat itu juga sebuah kain panjang di atas jemuran. Jarlen langsung ambil dan melingkarinya bahunya dengan asal seperti memakai syal. Sebelum kemudian dia melangkah mantap menuju keramaian pasar. Berada di tengah-tengah manusia dalam wujud manusia merupakan kali pertama bagi Jarlen sejak mereka pindah ke ibu kota.
Wajah putihnya terlihat begitu bersemringah melihat pemandangan damai orang-orang di sekeliling. Angin yang berembus pun membelai kulit mulusnya dengan manja. Sedikit menerbangkan anak rambut kelabunya yang lebat. Jarlen terlalu menikmati suasana hidup di sebuah pasar. Sehingga dia tidak menyadari tatapan sejumlah wanita teralihkan sepenuhnya kepadanya. Perwujudan Jarlen bagaikan dewa melintas di mata mereka yang berbinar penuh minat. Semua mulut terbuka karena kaget, dan mata mereka terbelalak tanpa membiarkan berkedip -takut jika pria itu ilusi di siang bolong.
Jarlen berhenti di lapak pedagang buah langganan Sasha. Dia mengeluarkan kantong koin dari lehernya. Lalu memberikannya pada laki-laki paruh baya tersebut seraya mengatakan. "Aku ingin beli buah seharga semua koin di sini."
Pedagang itu memicingkan mata, mengamati seluruh penampilan calon pembelinya. "Aku baru melihatmu di kota ini. Apa kau pengelana? Atau penduduk baru?" kata pedagang sembari menghitung koin.
"Yah bisa dibilang begitu." Matanya melirik, Jarlen menjawab seadanya. Padahal mereka sering bertemu sebelumnya saat dia dalam wujud binatang.
Tentu saja enggan dia jawab jujur kalau dirinya peliharaan seorang gadis pemberani di kota ini. Bisa-bisa menimbulkan tanda tanya di benak orang sampai merusak citra Sasha mungkin. Tidak, tidak, Jarlen selalu menjaga kehormatan Sasha sebagai manusia yang dianggap tuannya.
***
Sasha bosan menunggu Jarlen kembali. Jadi dia pergi ke tetangganya, rumah Nellas. Namun yang dia temukan hanya ada seorang wanita sedang memanggang kue. "Apa kau membuat kue untuk Nellas?" tanya Sasha. Setelah dibukakan pintu oleh Rose dan membiarkannya masuk.
"Ya. Tidak ada makanan lagi untuk camilan ringan." Rose menyahut ketika Sasha berkeliling ke dapur dan menemukan setoples camilan kering untuk dicomotnya.
Sasha menggigitnya dalam sekali kunyahan. Seketika dia tergugah merasakan manis dan gurih kue kering berbentuk mungil ini. "Siapa yang membuat kue ini?" Sasha perlu tahu.
"Itu aku. Apakah enak?" kata Rose sambil mempersiapkan alat dapur lain.
Sasha mengangguk riang. "Ya! Bisakah kau ajari aku membuat kue paling sederhana?" pinta Sasha. "Aku tak memiliki camilan kering di rumah, dan setiap kali memiliki banyak bahan mentah, aku tidak tahu bagaimana mengolah mereka menjadi kue kering. Kau tahu, aku tak pernah belajar memasak kecuali mengolah daging buruan. Hahaha!"
"Benarkah!" kaget Rose melongo.
"Dan juga Nellas punya hutang padaku untuk mengajariku membuat roti elf!"
"Roti elf? Aku bahkan belum mengetahui cara memnbuatnya. Nellas harus memberitahuku."
"Memangnya sekarang Nellas sedang pergi ke mana?" Sasha celingukan. Dari tadi tidak melihat tanda-tanda Nellas di sekeliling rumahnya.
"Masih di kamarnya sedang mengganti pakaian untuk menemui Mayor." Rose menjawab seraya memunggungi Sasha yang masih aktif mengunyah dan mencomot kue kering.
Beberapa detik kemudian perhatian Sasha teralih pada anak tangga kecil di pojok dengan langkah seseorang yang menuruninya. Nellas muncul dengan penampilan semi formal berupa kemeja dirangkap rompi dan celana hitam panjang dengan boots tinggi, tanpa terlihat membawa s*****a di tubuhnya. Rambut putih panjang lelaki itu tetap digerai seperti biasa. Sebetulnya tidak ada yang spesial dari penampilan Nellas yang demikian. Akan tetapi entah sihir apa yang menghipnotis pandangan Sasha sehingga dia berkali-kali harus menekan dirinya untuk mengenyahkan pikiran tentang Nellas sebagai lawan jenis. Alih-alih terbuai karena terpesona, Sasha memilih mendengus seolah sedang bosan.
Detik itu Nellas kelihatan sedikit terkejut melihat keberadaan Sasha di sini. "Pantas saja dari atas terdengar samar-samar suara orang berbicara. Kupikir Rose berbicara dengan siapa," ujar Nellas.
"Yah kau tahu? Aku ke sini menagih janjimu." Sasha menyeringai sambil bersidekap dengan pinggang bersandar di kayu meja dapur.
Nellas terhenyak baru ingat kata-katanya sendiri yang pernah dia katakan sewaktu misi penyelidikan di desa Emir satu bulan lalu. Yah dia telah pulih cepat hanya dalam tiga hari usai terbangun sejak terluka parah saat itu. Benar-benar regenerasi yang ajaib. Membuat manusia jadi iri pada makhluk berumur panjang seperti mereka.
"Ah maafkan aku. Kita bisa membuatnya bersama di lain hari. Sekarang aku harus menemui mereka di kantor," sesal Nellas tampak buru-buru.
"Kau juga berhutang padaku Nellas," kata Rose menyambung. "Kau harus membuat agenda untuk mengajari kami berdua membuat roti elf." Dia tampak menekuk wajahnya untuk menunjukan ekspresi pura-pura cemberut.
Sedangkan Sasha mengangguk-angguk santai mendukung ucapan Rose.
"Oh sayang, maafkan aku. Selama ini aku terlalu sibuk." Nellas melewati Sasha menuju Rose yang sedang menguleni adonan. Memeluk pinggang Rose dengan manja. "Nanti akan kusisihkan waktu untuk kalian berdua membuat roti elf." Nellas membujuk.
"Janji?"
Nellas mengangguk mantap. "Ya." Jawaban positif pun mengundang senyum lebar Rose yang terbit. Wajah bersemu Rose kelihatan menggemaskan. Membuat Nellas yang merasa gemas melihatnya pun tidak dapat menahan diri untuk membungkam bibir pink Rose. Rose juga tampak menyambut c1uman lelaki itu dengan menahan pipinya.
Sebuah adegan yang tidak sekali-dua kali Sasha lihat langsung tepat di depan mata dalam jarak sedekat ini. Dan, setiap melihat itu pun hati Sasha semakin kering. Tiba-tiba saja kue manis di mulutnya terasa hambar sekarang.
Hubungan mereka berdua, pasangan kekasih manusia dan elf itu, Sasha ketahui telah membaik semenjak Nellas pulang dalam kondisi kritis sebulan lalu. Sasha tahu kalau mereka tidak akan terpisahkan berdasarkan sifat kedua orang itu. Jika Rose adalah tipe wanita dewasa lembut dan feminin, sedangkan Nellas adalah seorang pria yang suka memanjakan dan bermanja-manja ria pada wanita tercinta. Bagaimana mereka tidak cocok satu sama lain?
Berbeda halnya dengan kepribadian Sasha. Ah, untuk hal ini agak berat dikatakan. Sasha hanya dapat menghela napas mengetahui dirinya bukan tipe ideal Nellas. Ya jelaslah. Dirinya bukan wanita feminin. Sasha tidak pernah bertingkah layaknya seorang lady bergaun panjang. Dia berambut pendek, selalu mengenakan celana, sepatu boots dan baju seadanya sambil membawa-bawa pedang di pinggang. Penampilan yang sangat bertentangan di mana mayoritas wanita mengenakan gaun dalam keseharian mereka dan menjauhi s*****a tajam apalagi belajar beladiri tangan kosong.
***
Jarlen bersembunyi di g**g seberang bangunan rumah susun Sasha. Masih dalam wujud manusia, Jarlen meletakan kantong kertas berisi buah ke bawah kakinya dan kemudian dirinya mengubah wujud menjadi serigala lagi. Lalu dia menggigit kantong kertas itu dengan kuat sebelum melenggang ke rumah Sasha.
Setelah menaiki anak tangga ke lantai lima, membuka kenop pintu rumahnya untuk dapat masuk ke dalam, Jarlen segera mendapati sang tuan tengah duduk di kursi kayu dekat jendela, sebuah meja bundar yang kosong di depannya. Jarlen terdiam. Mata kelabunya menatap penuh makna pada gadis di kursi itu. Entah sudah ke berapa kali dia menemukan Sasha dalam kondisi---sungguh Jarlen benci melihatnya.
Udara dingin menyeruak masuk dari jendela terbuka di samping gadis itu tidak membuatnya menggigil dengan suhu rendah kecuali hanya mematung sembari berpaling ke luar jendela. Tapi Jarlen percaya dan tahu kalau Sasha tidak sedang melihat apapun di luar jendela. Jarlen tahu penyebab tatapan Sasha yang berubah hampa, kelopak matanya yang turun begitu sayu, dan seraut sendu yang tak pernah perlihatkan pada orang terdekat sekalipun, adalah karena satu orang. Nellas.
Jarlen sudah tahu lama sekali bahwa Sasha mencintai Nellas bertahun-tahun silam. Cinta bertepuk sebelah tangan memang sangat menyakitkan. Semakin melukai hatinya lagi ketika lidah tak sanggup mengungkapkan rasa. Begitulah yang dialami Sasha meskipun tidak takut terluka saat bertarung bahkan berani mengikuti perang membela umat manusia. Jika menyangkut perasaan dan hati, itu sudah berbeda dunia. Sesungguhnya luka hati amat lama untuk pulih. Sasha belum bisa terlepas dari perasaan cinta yang menjerat hatinya.
Bila menemukan wajah sendu seperti ini lagi, Jarlen tidak tahan untuk mendekatinya dan menghibur Sasha agar senyuman riangnya terbit lagi. Maka dia meletakan kantong kertas ke lantai kayu kemudian menghampiri gadis itu dengan menyenggol sikunya supaya tersadar kalau dia ada di sini. Dan, Sasha segera berkedip merasakan sentuhan. Gadis itu menoleh hanya untuk mendapat sebuah pelukan hangat dari Jarlen yang setengah berdiri.
"Ouh! Jarlen .... Kau memelukku karena aku terlihat menyedihkan, huh?" Sasha membalas pelukan hewan buas itu. Sembari mengelus-elus punggung berbulu lebat Jarlen dengan penuh haru.
Kemudian Jarlen mengurai pelukan dan kembali berdiri dengan keempat kalinya secara normal. Jarlen mendongak dan dia melihat ke dalam mata Sasha yang berair. Terlihat sudut bibir Sasha tertarik ke atas. Membentuk senyuman rapuh saat membelai kepalanya dengan lembut. "Kau sudah kembali, huh? Sekarang kita lihat buah apa yang kau beli?" Kemudian doa beranjak dari kursi dan mengangkat kantong kertas dari lantai ke meja dapur.
Dapat Sasha temukan beberapa buah apel, dan sisanya buah random, termasuk dua potong roti besar? Sasha menaikan sebelah alisnya. Seingatnya dia tidak meminta Jarlen untuk membeli roti, juga buah-buahan lain. Padahal dia hanya mengharapkan buah apel saja. Tapi yang didapat lebih dari itu. Sangat bertentangan dengan jumlah koin yang setara sekilo buah apel saja.
Sasha menggeser tatapan, menatap curiga pada Jarlen yang duduk tenang di lantai sambil menatapnya juga. Sayangnya Sasha tidak bisa membayangkan apapun mengenai kelebihan ini. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apakah Jarlen mencuri? Tidak menemukan titik terang, Sasha menggeleng acuh. Dia mensugestikan diri bahwa ada orang baik yang memberi Jarlen makanan selain apel ini.
***
Sasha terjaga secara tiba-tiba pada dini hari setelah rungunya menangkap suara aneh. Matanya yang sebelumnya mengantuk, sekarang melek dengan lebar. Terkadang dia menutupi telinganya dengan bantal dan berbaring gelisah agar tidak mendengar suara samar-samar yang tidak asing lagi baginya.
Tetapi upayanya tidak membuahkan hasil ketika suara itu malah terdengar jelas di tengah malam yang hening ini. Sasha sontak duduk sambil menggeram kesal. Sayangnya dia tidak bisa memarahi siapa sumber suara pengganggu tidurnya sekarang.
Keresahan Sasha rupanya menyetrum naluri serigala yang sedang tidur nyaman di tempatnya beralaskan kain hangat di lantai. Jarlen terbangun ketika melihat Sasha terduduk bingung di pinggir kasur. Sebagai serigala, Jarlen tidak hanya memiliki penciuman tajam, tetapi juga pendengaran lebih tajam dari manusia. Maka alasan yang membangunkan tidur Sasha malam ini sudah pasti Jarlen mengetahuinya tanpa perlu dijelaskan.
Karena, suara itu berasal dari sebelah. Tetangga sebelah mereka adalah rumah Nellas. Sasha mengumpati suara aneh bernada er0tis dari sana. Bagaikan ada anak panah menghujani Sasha saat ini.
Sasha menggigit bibir bawah dengan keras sampai berdarah. Jarlen menghampirinya dengan tatapan khawatir. Membuat Sasha memaksakan senyumnya. "Aku hanya terbangun terlalu cepat dari biasanya. Ayo kita ke suatu tempat." Sasha beranjak. Memakai jubah dan mengambil pedangnya sebelum keluar kamar diikuti Jarlen.
Dengan wajah datarnya, Sasha melewati pintu rumah Nellas dan menjauhi suara aneh mereka. Udara hangat memeluk lorong batu bangunan ini, hingga kemudian suhu dingin seketika menyambut Sasha saat tiba di luar. Langit masih terlihat gelap. Sasha mendekap dirinya yang sedikit menggigil. Lalu menarik langkah maju.
Hanya dengan berjalan kaki, melewati perumahan yang hening dan gelap, Sasha berhenti di atas perbukitan. "Jarlen, lanjutkan saja tidurmu di sini." Sasha melepaskan jubah yang jatuh ke rumput di bawah kaki, lalu mengeluarkan pedang dari sarungnya dan menggenggam gagangnya dengan kuat ke arah udara kosong.
Sasha menarik napas dalam-dalam, kemudian diembuskannya perlahan-lahan. Terus dia ulangi sampai tiga kali. Dalam sekejap ekspresi Sasha berubah drastis. Tidak ada lagi tatapan galau dari sepasang permata oranye yang berubah dengan sorot mata setajam elang dan kebulatan tekad yang mantap. Tiap gurat di fitur wajahnya menampakan keseriusan yang tak main-main.
Pedang mulai diayunkan perlahan-lahan. Awalnya Sasha hanya melakukan gerakan ayunan lengan yang lembut dan lambat. Sasha berpikir bahwa dia harus terus bertambah kuat untuk memenuhi dendam di hati yang sudah lama dipupuknya. Setiap kali dia galau seperti hari ini, Sasha berusaha keras untuk menyingkirkan perasaan terpuruknya dengan latihan berjam-jam seperti sekarang, dan kembali memfokuskan tujuan dirinya bergabung menjadi prajurit militer.
Semakin lama gerakannya semakin bertambah tajam dan penuh saat melancarkan tebasan udara berikut Sasha memutar tubuh cepat yang membuat helai rambut merahnya melambai indah sebelum menusuk tajam ke depan dengan kekuatan penuh lengan dominannya. Tampak Sasha terengah-engah membuat bahunya naik-turun.
Kemudian dia menarik punggungnya, berdiri tegap. Dan menyadari langit mulai berbahaya. Entah sudah berapa lama dia latihan pedang sendirian tadi. Sasha ingin istirahat sebentar dan dia memasukan pedangnya lagi ke dalam sarungnya di pinggang.
Lalu dia menoleh ke arah Jarlen. Serigala itu masih terjaga. Sasha menghembuskan napas panjang. Dia pikir telah membuat Jarlen duduk menunggu bosan jadi dia punya ide. "Jarlen, coba kau serang aku." Sasha ingin menguji ketahanan dirinya tanpa s*****a.
Jarlen bangun. Berhadapan dengan Sasha. Tentu saja Jarlen tidak serius akan melukai Sasha dengan kuku tajamnya yang tak pernah dipotong ketika dia melompat tiba-tiba dan membuat Sasha tak sempat menjaga keseimbangan sehingga terjungkal dengan Jarlen berada di atasnya.
"Oh! Hahaha!!!" Sasha tertawa renyah menyadari dirinya mudah dijatuhkan oleh seekor serigala kesayangan. Beruntungnya punggungnya membentur permukaan rerumputan yang tebal sehingga tidak terlalu sakit terasa saat jatuh tadi.
Sasha yang gemas pada wajah lucu Jarlen, dia mengusal dan memeluk Jarlen begitu erat. Membuat Jarlen menjilati wajah Sasha sebagai bentuk kasih sayangnya pada majikan persis seperti sifat anjing pada umumnya.
"Jarlen, duduklah di sini," pinta Sasha. Jarlen menurut. Hewan besar itu membaringkan tubuhnya untuk kemudian Sasha bersandar pada perutnya yang hangat. Mereka bernaung di bawah pohon, sedangkan di hadapan mereka merupakan tanah terbuka yang di bawahnya menghadirkan pemandangan kota gelap gulita. Sasha meringkuk di perut Jarlen, mencari kenyaman sebelum terlelap damai.
Beberapa lama kemudian sosok serigala itu berubah wujud dalam sekejap menjadi seorang manusia tampan. Jarlen duduk dan membuat pahanya sebagai bantal kepala Sasha. Tatapan abu-abunya memandang Sasha dengan lembut. Bersama seutas senyuman di bibir tipisnya begitu tulus. Sasha tidur seperti bayi besar bagi Jarlen. Menatapi wajah tertidur Sasha sudah menjadi kebiasaan Jarlen di setiap kesempatan.
Jarlen mencoba membelai rambut merah Sasha. Mengusapnya dengan gerakan berulang. Betapa dia sangat menyayangi Sasha selama ini. Sasha adalah manusia pertama yang membuat Jarlen menyerahkan diri dengan sukarela sebagai anjing setianya. Hanya bersama Sasha, Jarlen merasakan kebahagiaan sejati yang tak pernah dia dapatkan sewaktu belum bertemu gadis ini.
"Sasha .... My lady." Jarlen berbisik lalu meraih tangan Sasha dan mencium punggung tangannya dengan segenap hati.
***