Chapter 1
Yatim piatu
???? Cahaya Mustiaka????
Cahaya mustika namaku. Usiaku kini 22 tahun. Gadis yatim piatu sejak berumur 12 tahun. Kedua orangtuaku tewas karena kecelakaan mobil saat akan mengunjungi nenek kami di Jepara. Bus yang kami tumpangi tertabrak truk kontainer yang membawa semen.
Hingga akhirnya aku diasuh oleh adik ayahku. Aku memanggilnya Lik Marwan. Lik Marwan mempunyai 3 anak. Si sulung seumuran denganku, Hasan. Dia anak dari mendiang istri pertamanya. Sedang anak keduanya berumur 20 tahun. Namanya Ningrum, sedangkan anak ketiganya berumur 17 tahun bernama Naufal.
Aku dan Hasan seperti anak terbuang dalam lingkungan keluarga ini. Maklum karena saat ini kami tinggal bersama keluarga besar istri kedua Lik Marwan yaitu Mirna. Meski Eyang Sosro, Ibu dari Bapak dan Lik Marwan ikut tinggal bersama tapi beliau sama seperti kami hanya penumpang saja dan tak dihargai.
Untuk urusan sekolah saja, aku dan Hasan bisa sekolah dengan mengandalkan beasiswa. Untung otak kami agak encer. Tapi selalu, aku yang juara. Hasan selalu sebal dan tak mau mengakui kalau aku lebih unggul dari pada dia. Hahaha.
Kami sudah lulus S1, aku mengambil pendidikan Biologi sedangkan dia pendidikan Matematika. Kami sekolah di Universitas Negeri Surakarta (UNS) bermodal beasiswa bidik misi.
Jangan tanyakan Ningrum dan Naufal, secara tampak mata jelas mereka tak seperti kami. Mereka adalah dua anak manja penuh kasih sayang. Sekolah dan kuliah hanya untuk mencari ijazah.
"Orang itu harusnya punya rikuh pekewuh1, sudah tahu numpang tapi ngelunjak. Dasar. Sana cari kerja biar gak selalu nunut2 lilikmu," nyanyian merdu Lik Mirna mulai membahana seperti biasa.
"Hasan juga, gak bisa nyari duit sok-sokan mau kuliah lagi. Sok pinter dia."
Aku yang sedang mencucikan baju milik keluarga ini hanya diam tak mau menjawab. Pokoknya tutup mulut sama kuping.
******
"Caca," panggil seseorang saat aku tengah berbelanja ke pasar. Awan mengulas senyum lebar ke arahku. Aku tersenyum balik ke arahnya.
"Mau pulang?"
"Iya."
"Aku antar."
"Gak usah."
"Gak papa. Aku bawa motor kok."
"Aku naik angkot aja. Makasih."
Awan tidak peduli akan penolakanku, dia langsung membawa belanjaanku menuju motornya. Terpaksa aku ikut motornya. Aku yakin nanti pasti akan jadi masalah.
*****
"Eh Mas Awan," sapa Ningrum manja.
"Eh Ningrum, kamu gak kuliah sih?"
"Ini mau berangkat Mas."
"Oh."
"Anterin yuk Mas."
"Waduh maaf, nanti aku harus ke Kecamatan. Ada rapat sama Pak Camat."
"Au ah. Mas Awan nyebelin." Ningrum pergi dengan memasang muka kesal.
"Loh Nak Awan, kok kesini?" tanya Lik Mirna.
"Oh ini Bu, ngantar Caca. Kasihan bawa belanjaan banyak."
"Ckckck, Ca ... Ca ... Udah Lilik bilang supaya kamu bawa motor, tuh jadi ngerepotin Nak Awan kan?"
"Gak ngerepotin kok Bu, saya malah suka."
Aku memilih diam dan langsung membawa belanjaanku ke dalam rumah. Sengaja berlama-lama di dalam rumah hingga kudengar suara motor Awan.
"Kamu itu jadi orang sadar diri, ndeleng awakmu3. Kamu itu sopo4? Bukan siapa-siapa. Awan itu anak orang terpandang disini. Bapaknya mantan lurah, ibunya guru SD, kamu itu siapa?"
Aku hanya diam menunduk.
"Udah numpang, gak tahu diri ...." Lik Mirna masih ngomel-ngomel seperti biasa.
Andai aku mau, aku dan Hasan tak mungkin diam diperlakukan semena-mena olehnya. Selama ini kami diam karena menenggang perasaan Lik Marwan dan terutama Eyang Sosro.
Aku menuju kamar belakang, disana ditempat tidur yang mulai reot tergeletak Eyangku, usianya sudah 70 tahun. Sudah sangat sepuh. Hanya beliau yang masih hidup. Eyang kakung meninggal sejak Bapak dan Lik Marwan masih kecil-kecil.
Kupandangi wajah tuanya, kemudian mengelus pelan pipinya. Eyang terbangun dan tersenyum.
"Nduk ...."
"Dalem, Eyang."
"Sing sabar ya."
"Eyang mbe pengin balik Kebumen. Neng kene Eyang ora betah. Angger neng Kebumen ketemu dulur karo tangga p***k mesti pada eman karo Eyang." 5
"Sing sabar nggih Yang, wonten kulo kalih Hasan." 6
*****
"Gimana? ada perkembangan bagus gak untuk beasiswanya?"
"Hahaha. Kamu tahu gak, aku daftar di Malaysia. Kayaknya gak bakalan keterima lah wong7 saingannya jos-jos," jawab Hasan.
Kami sedang ngobrol didekat kandang ayam. Hanya ini tempat dimana tak ada yang bakalan mengomeli kami. Lah wong yang ada cuma ayam, paling berkokok ... Petok ... Petok ... Cukup dikasih makan anteng ayamnya.
"Kok Malaysia? Bukannya mau di UNS juga?"
"Aku mangkel8 sama Bapak. Waktu itu udah setuju aku ambil S2 tapi gara-gara Ibu Mirna ngomong, Bapak jadi ngelarang aku."
"Hahaha ... Terus kalau gak keterima kamu mau gimana?"
"Angon sapi."
Aku terkekeh mendengar celetuknya. Iya, Lik Mirna itu tidak suka kalau kami lebih sukses dari kedua anaknya. Makanya walau gelar kami sudah sarjana tapi sengaja aku dijadikan sebagai ART dan Hasan tukang angon sapi peliharaan keluarganya. Sedangkan kedua anaknya dilimpahi kasih sayang tak terkira. Masa bodoh besok mau jadi apa mereka nantinya. Jadi pengangguran gak masalah yang penting aku sama Hasan juga gak jadi orang.
*****
Aku habis menjemur pakaian. Tiba-tiba Lik Mirna memintaku mengirim SMS kepada kakaknya sesuai dengan catatan kecil yang sudah dia buat. Mau tak mau aku melakukan hal yang disuruhnya sambil duduk di kursi dekat pohon mangga.
Saat aku mulai mengetik, aku merasa aneh dengan tingkahnya pun Ningrum si gadis manja. Aku tak terlalu peduli dan mulai mengetik SMS.
"Eh Bu Laras, mau kemana Bu?"
"Eh Bu Mirna sama Ningrum juga. Duh Ningrum rajin ya, pagi-pagi udah sapu-sapu."
"Iyalah Bu, anak saya kan tak didik jadi calon istri yang baik gak kaya tuh yang cuma bisa numpang hidup saja."
Aku menoleh ke arah mereka. Ckckck ... Rupanya mereka lagi drama. Aku tak peduli mereka ngomong apa saja tentangku. Bahkan tanggapan Bu Laras pun tak akan kupedulikan karena bagiku mereka sama saja. Bu Laras walau katanya guru SD dan PNS tapi aku tak pernah menaruh hormat padanya. Sedikitpun. Catet itu.
Perilakunya tak mencerminkan pada titel dan status yang dimilikinya. Dia termasuk guru sombong dan arogan. Untung aku tidak sekolah di SD tempat beliau mengajar.
Husna sahabatku sekolah di SD tempat beliau mengajar. Saat itu ada iuran kurban hanya sebesar tiga puluh lima ribu rupiah. Dia yang anak kurang mampu membayar dengan uang receh logam dan dibungkus plastik bening. Dengan sombongnya beliau tak mau menerima uang tersebut. Beliau tak tahu bahwa uang recehan itu Husna kumpulkan dengan mengurangi jatah jajannya yang tak seberapa. Husna menangis tersedu bercerita padaku dan Hasan.
Hasan yang saat itu punya uang dua puluh ribu dan aku sepuluh ribu ditambah dalam plastik Husna ada uang lima ribu akhirnya digunakan untuk membayar iuran kurban.
Sejak saat itu aku tak menaruh respek pada keluarga mantan lurah itu. Walaupun orang bilang Awan itu tidak seperti kedua orang tuanya. Tapi aku tak peduli.
Aku tahu Awan menaruh hati padaku. Tapi aku tak pernah menanggapi. Karena selain aku tak suka padanya, aku tak mau mati muda dengan bermertuakan orang seperti Bu Laras. No ... No... No. Walau aku yatim piatu tapi aku cukup tahu diri dan tahu seperti apa kriteria calon suamiku kelak. Dan sayangnya itu tak ada pada diri Awan.
Lamaran dan Penolakan
"Ca...."
"Hem," sahutku sambil menyetrika baju sedangkan Hasan tengah melipat baju yang tidak disetrika.
Inilah aku dan Hasan, yang satu mantan ketua BEM MIPA sedangkan yang satu aktivis Pramuka sejati. Tapi sekarang kami hanyalah babu cuci. Ngenes.
"Awan kayaknya beneran suka sama kamu. Dia sepertinya serius pengen ngelamar kamu. Kamu gimana?"
"Gimana apanya?"
"Terima apa enggak?"
"Menurut kamu, aku harus gimana?"
"Kamu suka gak?"
"Enggak."
"Cakep. Aku juga enggak."
"Kayaknya kalian akrab. Kok gak suka sama dia, kenapa?"
"Bukan aku yang mengakrabkan diri. Dia aja yang sok akrab. Cih ... Gayaknya sok politikus banget. Emangnya dia aja yang bisa orasi."
"Hahaha ... Kan dia gak tahu kalau yang dia ajak ngobrol mantan politikus walau kelas fakultas. Hahaha."
Satu lagi, tak ada seorangpun di desa kami bahkan keluarga besar Lik Mirna yang tahu bahwa kami adalah sarjana. Karena Lik Mirna sengaja menyembunyikannya.
Orang tahunya kami ini lama mondok dan pengangguran. Pokoknya kalau biasa nonton drama di TV, karakter Lik Mirna sama kedua anaknya tuh kebagian peran antagonis. Aku dan Hasan jadi protagonis.
"Hahaha. Bener kata kamu, kita kan cuma babu dan ...."
"Tukang angon sapi," cetusku.
Kami tertawa tergelak sedikit mengurangi penat hati.
*****
"Nak Awan tumben main kesini," tanya Lik Marwan saat Awan datang berkunjung pada malam Minggu.
"Saya ada perlu sama Pak Marwan."
"Ada apa ya?"
"Ehm ... Begini ... Ehm ... Saya suka sama Caca, Pak. Saya mau ngelamar dia."
"Apa?" teriak Ningrum dan Lik Mirna berbarengan.
"Iya begitu Bu. Saya suka sama Caca. Jadi saya mau melamar dia."
Lik Marwan nampak diam sibuk berpikir, kemudian berkata, "Kamu yakin? Apa kedua orang tuamu setuju?"
"Saya akan bilang pada mereka, Pak. Dan meyakinkan mereka. Tapi sebelumnya saya mau tahu bagaimana tanggapan Caca atas lamaran saya. Gimana Ca?"
Aku terdiam kemudian menarik nafas pelan, "Kamu tanyakan dulu kepada orang tuamu baru aku akan memberikan jawaban."
Setelah pembicaraan malam itu, Awan tak ada kabar. Aku sih cuek karena aku pun tak ada rasa sama dia. Aku cuma penasaran sama tanggapan kedua orangnya terhadapku si gadis yatim piatu.
Sikap Ningrum dan Lik Mirna mirip Bawang Merah serta ibunya. Aku laksana Bawang Putih yang menderita. Weee ... Tapi bohong. Walau aku selalu menuruti setiap perintah mereka tapi dibelakang mereka aku dan Hasan kompak mencaci. Hihihi.
*****
Aku sedang memijat Eyang Putri di teras belakang. Hari ini Eyang Putri nampak sehat, wajahnya cerah dan senyumnya nampak sumringah.
"Ca ... Caca ... Keluar kamu!" teriak seseorang membahana.
Aku meminta Eyang menunggu dulu, aku akan mencari tahu siapa yang berteriak mencariku. Sebelum aku masuk ke dalam rumah. Bu Laras datang dan langsung berkacak pinggang.
"Heh ... Kamu. Gadis yatim piatu tukang nunut dan gak punya urat malu. Kamu pikir Awan siapa? Dia itu kerja jadi kaur keuangan desa, lulusan S1. Kamu sih apa? Jauhi Awan! Awan itu pantesnya dapat sarjana dan anak orang kaya bukan orang kayak kamu. Pengangguran lagi. Sudah nunut, pemalas, inget ya, jauhi Awan!"
"Kamu sama Hasan bener-bener gak tahu malu. Pake pelet apa kalian hah? Kinan keponakanku saja sampe kesengsem, keblinger sama dia. Cuma tukang angon sapi. Cih ... Gak mutu. Awas kalian!" Bu Laras segera masuk kembali kedalam rumah. Walau aku tahu kalau reaksi keluarga Awan akan seperti ini. Tapi, tetap saja ada rasa sakit di dadaku. Mataku yang jarang menangis tampak berkaca-kaca. Aku segera mengusapnya dan berbalik untuk menemani Eyang lagi.
Deg.
Aku melihat lilikku. Dengan tangan gemetar dia memegang cangkul ditangannya. Bisa kulihat wajah terluka dari sorot matanya. Wajah yang sangat mirip dengan almarhum Bapak. Sayangnya hanya wajah yang mirip tapi sikap ketegasan dan mengayomi sama sekali tak dimiliki oleh adik bapakku ini.
Aku tahu dia mendengar semua omongan Bu Laras yang menghinaku dan ... Putranya.
Gedebuk ....
Kami tersentak kaget.
"Eyang!"
"Mbok!"
Duka Kematian
Eyang Putri dibawa ke rumah sakit, kondisinya drop. Bersyukur aku dan Hasan dulu berinisiatif membuatkan BPJS walau hanya bisa kelas tiga. Aku dan Hasan menunggu dengan was-was. Lik Marwan tampak diam. Tak banyak bicara.
"Bagaimana keadaan Nenek saya, Dok?" tanya Hasan.
"Kondisi tubuhnya drop. Untuk saat ini kita hanya bisa pasrah. Kita serahkan pada Sang Pemberi Hidup."
Kami segera masuk ke ruang HCU. Disana kami melihat tubuh rentanya. Ya Allah, aku tahu aku harus ikhlas dengan segala kemungkinan hanya saja rasanya kami tak sanggup.
"Bapak pulang saja, lagi pula Bapak juga punya hipertensi. Gak boleh capek. Biar aku sama Caca yang nunggu Eyang," tutur Hasan.
"Iya."
Semalaman, aku dan Hasan menjaga Eyang Putri secara bergantian. Saat aku terbangun, Hasan tidur dan sebaliknya.
*****
"Sepi ya Ca." Hasan memulai obrolan.
Aku sendiri tengah menyandarkan kepalaku di bahu Hasan. Sudah dua hari dua malam Eyang dirawat. Kami selalu setia menunggu. Jangan tanyakan Lik Mirna dan kedua anaknya mereka sama sekali tak peduli.
"Iya. Mungkin karena masih pagi," kulirik jam di tanganku masih pukul enam pagi.
"Semalam aku mimpi ketemu Ibu. Ibuku cantik ya Ca. Aku biasanya cuma lihat di foto. Tapi tadi malam aku bener-bener lihat. Ibu tersenyum Ca."
"Kok sama. Aku semalem juga mimpi ketemu Bapak Ibuku. Mereka juga tersenyum ke arahku. Bapak malah membelai kepalaku."
"Ca ... Hasan." Sebuah suara memanggil nama kami. Awan.
*****
"Maafin Ibuku ya Ca, aku udah denger dari Husna katanya Ibu melabrak kamu. Gara-gara Ibu juga Eyang kamu sampai masuk rumah sakit."
"Gak papa memang sudah takdirnya Eyang masuk rumah sakit."
"Tapi aku merasa bersalah Ca, gara-gara Ibuku ...."
"Sudahlah Wan. Jangan dibahas."
Hening.
"Ca ... Aku akan berusaha meyakinkan kedua orangtuaku. Aku akan ...."
"Wan ... Bukankah aku pernah bilang bahwa jawabanku akan lamaranmu setelah aku tahu tanggapan Ibumu. Dan sekarang aku akan menjawabnya. Maaf mungkin lebih baik kamu cari wanita yang lain."
"Ca ...."
"Sudahlah Awan. Percuma. Kedua orangtuamu tidak akan pernah menerimaku."
"Tapi aku yakin, kalau kita berusaha mereka akan merestui kita."
"Hehehe. Yakin kamu? Bahkan Ibumu saja tanpa melihat adab kesopanan memakiku. Untung hanya di rumah lilikku. Kalau ditempat umum bagaimana?" aku menyerangnya telak, sengaja.
"Kita kawin lari."
Aku terkekeh, " Tapi sayangnya akalku ada pada kepalaku bukan dengkulku. Seperti apapun Ibumu dia surgamu berbeda denganku. Kalau kamu lakukan itu kamu akan menjerumuskan dirimu sendiri dan aku ke neraka. Maaf aku tak mau. Aku mungkin bukan siapa-siapa. Tapi aku punya perasaan, sakit jika dilukai, patah jika dipatahkan."