"Ca ...."
"Sudahlah ... hentikan. Percuma."
Aku memilih kembali ke ruang perawatan Eyang. Tak kupedulikan Awan yang memanggilku. Bagiku semua sudah jelas.
*****
Hari ketiga Eyang dirawat, Eyang siuman. Saat itu ada aku, Hasan dan Lik Marwan. Entah sesuatu firasat atau apa hatiku tak tenang. Walau kondisi Eyang terlihat bugar dan wajahnya tampak cerah sekali. Bahkan senyum tak pernah lepas dari bibirnya, tapi jujur aku merasa takut. Takut akan kehilangan lagi untuk kesekian kalinya.
"Marwan."
"Iya Mbok."
"Aku mau pulang, aku harus kamu anter ke Kebumen ya?" ucap Eyang Putri.
"Mbok masih sakit. Sudah disini saja," sahut Lik Marwan.
"Enggak. Pokoknya Simbok harus pulang ke Kebumen. Gak masalah rumahnya reot tapi itu rumahnya Simbok. Inget ya Wan, aku pokoknya harus balik ke Kebumen," tegas Eyang putri.
"Iya Mbok," akhirnya Lik Marwan menyerah.
"Putuku9. Caca sama Hasan. Kalian putuku yang paling baik, paling sayang sama Eyang. Kalau Eyang sudah balik ke Kebumen, maka kalian berdua terbanglah. Kepakkan sayap kalian yang sudah lama terikat. Jadilah seperti merpati yang bisa terbang tapi tahu kapan, dimana serta pada siapa dia akan kembali," ucap Eyang Putri sambil tersenyum manis padaku dan Hasan.
Aku menangis, begitupun Hasan. Kami berdua sadar ini bukanlah sekedar ucapan tapi wasiat terakhir dari Eyang Putri untuk kami.
*****
Eyang Putri menghembuskan nafas terakhirnya pada malam keempat setelah dirawat. Kami sudah rembugan10. Eyang Putri langsung dimandikan oleh pihak rumah sakit dan malam harinya kami akan membawanya ke Kebumen.
Hanya aku, Hasan dan Lik Marwan yang ikut. Kami ikut mobil ambulance dengan jasad Eyang Putri juga. Lik Mirna dan kedua anaknya tak mau ikut dengan alasan jauh dan menghemat biaya. Tak masalah bagiku dan Hasan karena tanpa mereka jauh lebih baik.
Surat
Hari ini malam ketujuh setelah kematian Eyang Putri. Kami masih di Kebumen. Meski rumah sudah tampak reot tapi kami bersyukur masih bisa ditinggali untuk sekedar berlindung dari panas dan hujan.
Dan untuk selamatan Eyang Putri, kami benar-benar tak mengeluarkan biaya sedikitpun. Semua dilakukan atas kebaikan warga sekitar dan keluarga kami. Bahkan teman Bapak selama hidup benar-benar ringan tangan dan mau membantu kami.
Setelah acara tahlilan selesai, aku masuk ke kamar yang dahulu ditempati kedua orang tuaku. Aku sengaja membuka lemari, laci, foto-foto serta segala sesuatu yang berhubungan dengan kedua orang tuaku. Hingga kutemukan tumpukan surat yang setelah dilihat adalah surat antara ibuku dengan sahabatnya.
Rupanya sahabat Ibu bernama Aisyah dan mereka sempat mondok bersama dulu. Dulu ibuku pernah mondok. Bahkan dulu memintaku untuk mondok saat aku akan masuk ke SMP namun sayang beliau meninggal jadi keinginannya belum kesampaian.
Hampir satu jam aku berada di kamar ini. k****a lembar demi lembar surat mereka berdua. Entah mengapa sedikit mengobati kerinduanku pada Ibu. Hingga ada sebuah surat yang membuatku termenung cukup lama.
Fatimah, aku sudah menerima suratmu. Kalau kamu memang mau mondokin anakmu, sini aja ketempatku. Biar persahabatan kita tetap langgeng dan terjaga dan sering bisa ketemu. Jadi kita bisa cerita-cerita dan mengenang masa mondok kita dulu. Aku akan selalu menunggu kamu dan putrimu.
Salam sayang Aisyah.
Kulihat foto dua orang remaja usia SMA yang sama-sama cantik. Salah satunya adalah ibuku. Aku seperti melihat diriku sendiri. Ya, aku sangat mirip ibuku semasa mudanya.
*****
"Kamu kenapa? kok murung? Masih inget sama Eyang Putri?"
"Aku masih sedih Ca, tapi sebenarnya lebih ke arah lega. Setidaknya Eyang sudah tak akan merasakan sakit lagi. Dan melihat wajah bahagianya sebelum meninggal, aku tahu memang sudah waktunya Eyang meninggalkan kita. Jadi ya sudah kita harus ikhlas kan?"
"Iya."
Hening
"Ca."
"Hem."
"Aku diterima."
Mataku membulat, "Benarkah? Yeee ... Selamat ya adikku, sahabatku, temen gelutku. Akhirnya kamu bisa S2 juga."
Kulihat Hasan tersenyum tipis dan lalu tampak sedih. Aku menepuk bahunya, "Kamu gak usah mikirin aku. Kamu pikir aku siapa? Bawang Putih? Sorry ya. Jadi kamu gak usah khawatir sama aku. Aku sekarang mau mondok. Mau mewujudkan keinginan Ibu sebelum beliau meninggal."
"Kamu itu Nenek Lampir."
"Kalau aku Nenek Lampir, kamu itu Gerandong."
Hahaha. Kami tergelak bersama.
"Oh iya minggu depan kita jadi wisuda. Aku sudah mendaftar dan kamu juga sudah aku daftarkan. Kita bakalan ikutan. Oke."
"Sip."
Kami berdua lulus 3,5 tahun dengan IPK cumlaude. Aslinya aku juga bisa ikut beasiswa S2 hanya saja aku memutuskan menjalankan amanah ibuku untuk mondok.
Akhirnya, kami akan ikut wisuda bareng teman seangkatan kami. Aku dan Hasan memang sudah berjanji dengan teman kami masing-masing bahwa walaupun kami lulus gasik11 tapi kami akan ikut wisuda bareng dengan teman seangkatan.
Sayap yang Terentang
Aku dan Hasan menemui Lik Marwan. Kami memutuskan berbicara serius dengan beliau demi masa depan kami. Lilik menyetujui dan memberikan restunya. Saat wisuda, kami sengaja mengajak Lik Marwan tanpa istri dan kedua anaknya yang lain. Lik Marwan nampak bahagia, tangis haru tak bisa berhenti dari kedua matanya.
"Maafin Bapak ya Le, maafin Lilik Nduk. Bapak lemah. Lilik khilaf. Maaf," ucapnya saat memeluk kami yang memakai toga dan menggenggam piala penghargaan sebagai wisudawan terbaik untuk prodinya.
Lik Marwan kembali ke Jepara seminggu kemudian. Ia berulang kali masih meminta maaf pada kami. Mungkin kejadian saat Bu Laras menghina putranya dan diriku ini begitu membekas di hatinya. Sehingga ia mengijinkan kami untuk berjuang menjadi orang. Orang yang tidak akan dianggap hina lagi.
*****
Aku membantu Hasan menyiapkan keperluan untuk S2-nya. Seminggu lagi dia berangkat. Untungnya kami orang yang hemat. Uang beasiswa kami, benar-benar kami gunakan sehemat mungkin sehingga kami masih punya sedikit simpanan untuk menunjang hidup beberapa bulan kedepan. Apalagi selama kuliah, aku dan Hasan juga bekerja di resto milik sahabat kami, Jamal. Ditambah lagi sedikit 'warisan' dari Eyang Putri yang masih bisa beliau selamatkan terutama dari tangan Lik Mirna. Bahkan Lik Marwan saja tidak tahu.
"Ingat ya, selalu hubungi aku. Misal aku ganti nomer tapi email, instragam, dan f*******: aku gak pernah ganti," ucapnya saat kami berada di bandara Adi Sucipto Jogja.
"Tenang. Akun somedku juga gak pernah ganti kok. Paling gak tahu kapan bukanya hehehe." Hasan mengusap ujung kerudungku dan kami berpelukan.
"Aku bakalan kangen sama cerewetmu. Kangen debat dan gelut12 sama kamu."
"Sama. Aku juga bakalan kangen sama kekonyolan kamu. Hati-hati ya. Kalau kepincut perawan Malaysia jangan lupa aku di beliin tiket buat kesana."
"Oke."
Akhirnya kami berpisah. Selamat tinggal saudaraku. Mari kita songsong masa depan kita. Mari kita rentangkan sayap kita yang sudah lama terikat.
Ketika pesawat yang ditumpangi Hasan sudah lepas landas, aku memilih menuju ke area foodcourt dan memesan fried chicken karena satu jam lagi aku juga harus naik kereta menuju Purwokerto.
Aku memutuskan akan merentangkan sayapku dan terbang kesana. Ke tempat sahabat ibuku. Di pondok Al-Hikam.
Gerbang Hati
Aku sampai di gerbang pesantren Al-Hikam pukul tujuh malam dengan menumpang taksi. Setelah membayar dan menurunkan barangku yang hanya berupa tas punggung dan tas jinjing tanggung, aku mengamati gerbang pondok dengan penuh kekaguman. Entah kenapa ada desir dihatiku ketika menatap gerbang pondok yang sangat megah dengan bentuk gapura yang simpel namun indah dan artistik. Belum lagi tulisan arabnya yang tersusun rapi dan indah dipandang. Jadi penasaran siapa yang merancang gerbangnya.
Aku bingung harus lewat mana. Aku dengar kalau pondok pesantren kan dipisah antara area putra dan putri. Lalu aku harus kemana ini? Kebetulan suasana juga begitu sepi. Apa mungkin karena musim liburan sekolah sehingga para santri pun liburan.
Saat aku masih termenung menatap gerbang pondok, suara klakson mobil mengagetkanku. Sontak aku terlonjak dan menjauh kepinggir kanan. Tampak seorang pemuda berusia sekitar antara 25 sampai 30-an melihatku dari jendela mobil.
"Njenengan ngapain diem disitu? Ada keperluan disini?"
Satu kata untuk si cowok. Ganteng. Meskipun rambutnya gondrong dan sedikit berjambang tapi justru menjadikannya sangat tampan dan mempesona. Tapi sayang wajah dingin, galak dan tegasnya kelihatan sekali.
"Mohon maaf, saya berniat mondok disini. Saya harus bertemu siapa ya?"
"Kamu?" dia melirikku sepintas lalu segera membuang pandangannya lagi. Ckkckck. Sombong pake gak mau melihat mukaku juga. Mentang-mentang ganteng. Eh ....
"Berapa usia kamu?" dia tanya tapi sama sekali tak menatapku.
"Bulan kemarin tepat 22 tahun."
Kulihat dia tersenyum tipis namun kesannya mengejekku.
"Masuk," lalu dia melajukan mobilnya. Astaga aku gak ditawarin buat ikut masuk mobilnya gitu.
Sambil jalan aku menggerutu dalam hati. Dasar manusia dingin, angkuh, sombong, demi apa coba ternyata jarak antara gerbang dengan rumah pengurus pondok jauh sekali. Harusnya kan dia memberikan tumpangan.
*****
Aku duduk di sofa ruang tamu. Ada dua mbak-mbak yang datang ke ruang tamu membawakan minuman dan camilan dengan cara ngesot. Hah .... Beneran ngesot. Aku melongo menatap tak percaya.
"Assalamu’alaikum," ucap seorang wanita ke arahku.
"Wa’alaikumsalam," jawabku.
Kulihat wanita paruh baya itu seperti kaget melihatku. Kemudian ia tersenyum lebar.
"Fatimah ... Kamu anak Fatimah."
"Iya Tante. Nama saya Cahaya Mustika biasa dipanggil Caca, Tante."
"Masya Allah, kamu cantik sekali seperti ibumu," beliau memeluk tubuhku.
"Ayo duduk Nduk. Kamu kemana saja? Saya itu nyari kabar kamu setelah ibumu meninggal tapi gak ada kabar."
"Caca ikut sama Lilik Caca, Tante, ke Jepara. Sekeluarga pindah kesana. Dua bulan yang lalu Eyang Putri meninggal jadi saya balik ke Kebumen terus saya tak sengaja membaca surat dari Tante ya sudah saya memutuskan kesini. Soalnya Ibu minta supaya saya mondok. Kebetulan saya gak tahu mau mondok dimana ya sudah daripada bingung saya mondok disini saja."
"Hehehe. Iya kamu disini saja. Oh iya berapa usiamu sekarang Nduk?"
"22 tahun Tante."
"Panggil Umi saja."
"Baik Umi."
Kami banyak mengobrol bahkan seringkali tertawa. Ternyata Umi Aisyah ini kocak sekali, sebelas dua belas kayak Ibu, makanya mereka akrab.
"Kamu tinggal di kamar khadamah saja ya? Letaknya di samping. Biar gampang kamu lurus terus menuju ke dapur terus ada pintu keluar lalu kamu lewati koridor penghubung nah, itu tempatnya. Ada empat kamar disana. Nanti kamu sendiri saja kamarnya. Soalnya kebanyakan itu usia anak sekolah. Kalau yang sudah lulus mondok atau kuliah kebanyakan langsung ketemu jodoh makanya disini jarang ada khadamah yang usianya di atas 25 tahun hehehe."
"Oh ...." Kemudian aku ikut terkekeh.
"Mbak Syarifah?" panggil Umi pada salah satu khadamah.
"Anter Mbak Caca ke kamarnya. Yang paling pojok ya?"
"Nggih Umi," jawab gadis bernama Syarifah lalu dia berjalan ngesot lagi.
Aku melongo ... Aku harus ikut ngesot gak ya. Mungkin Umi Aisyah melihat kebingunganku.
"Udah kamu gak usah ngesot, kamu juga Syarifah. Bantu Caca bawa tasnya," printah Umi sambil tertawa.
"Nggih Umi."
"Caca pamit Umi."
"Iya ... Istirahat ya. Anggap rumah sendiri."
"Nggih Umi."
Aku pun mengikuti Syarifah menuju kamar Khadamah.
*****
Kulihat Syarifah nampak gelisah. Karena penasaran aku pun bertanya.
"Kenapa Mbak?"
"Ehmm ... Anu ... Ehmm ... Anu ...."
"Udah ngomong aja kenapa?"
"Mbak Caca kita keluar aja yuk," wajahnya terlihat ketakutan.
"Ayuk."
Saat ini kami ada di kamar yang di tempati Syarifah. Ternyata disini ada empat kamar. Masing-masing kamar berisi dua orang. Khusus kamar paling pojok tidak ada yang mau menempati karena katanya ada penunggunya. Kebanyakan yang tidur disana pasti diganggu makanya tak ada yang mau tinggal di kamar pojok. Oh iya, empat khadamah rata-rata masih sekolah tingkat SMA. Sedangkan Mbak Syarifah dan temannya Mbak Nurul berusia 21 dan 18 tahun. Mereka memilih mengabdikan diri menjadi khadamah sekaligus masih ingin ngaji untuk mendalami hafalan qur’annya.
Setelah cukup lama ngobrol dengan Mbak Syarifah dan Mbak Nurul aku memutuskan tidur. Kedua teman baruku ini khawatir dan menyuruhku tidur di salah satu kamar yang penghuninya sedang libur sekolah. Tapi aku memilih tidur di kamarku saja.
Aku merebahkan diri dan mencoba tidur. Aku bisa merasakan ada makhluk tak kasat mata berusaha menggodaku. Kamar ini memang ada penghuni alam lain, rupanya.
Sekedar informasi, baik aku dan Hasan memang memiliki kemampuan melihat sesuatu yang berbau ghaib. Kemampuan kami berasal dari Eyang Kakung dan bersifat menurun. Eyang Kakung kami dulunya seorang pandai besi. Kepandaian yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Walau begitu beliau seorang muslim yang taat. Beliau juga masih memegang adat kejawen yang tidak bertentangan dengan ajaran islam. Sayang keahliannya tak bisa diturunkan kepada kedua anaknya karena beliau meninggal saat kedua anaknya masih kecil.
"Gak usah ganggu aku ya? Aku capek. Lagian aku gak bakalan ganggu kamu. Kita hidup di alam berbeda. Oke. Selamat tidur. Bismillah."
Aku memejamkan mataku dan akhirnya terlelap ke dalam alam mimpi.
Efek Salah Ndusel
Aku terbangun saat mendengar suara orang mengaji. Setelah membereskan tempat tidur, aku segera keluar kamar untuk mandi. Saat membuka pintu kulihat kedua rekanku sudah berada di depan pintu kamar. Mereka melongo menatap horor kearahku.