Chapter 3

1913 Kata
"Kenapa?" tanyaku. "Mbak Caca bisa tidur nyenyak?" tanya Mbak Syarifah. "Nyenyak banget. Kenapa emangnya?" "Gak ada yang gangguin?" sekarang Mbak Nurul yang bertanya. "Hahaha. Gak ada tuh." Aku langsung berlalu menuju kamar mandi. Sedangkan kedua rekanku masih nampak tak percaya. ***** Aku tengah membantu Nurul dan Ipeh alias Syarifah memasak di dapur ndalem. Mereka menolak dipanggil Mbak karena usia mereka dibawahku. Karena usia kami boleh dikatakan sebaya makanya kami cepat sekali akrab. Kata Ipeh, dapur ndalem dan dapur khusus santri terpisah. Dapur santri khusus digunakan oleh para santri. Di sini modelnya ada jadwal masak tiap kamar. Kamar mana yang dapat jatah piket masak, maka tugas penghuni kamar yang berjumlah sepuluh orang itu untuk menyiapkan makanan selama satu hari ini. Sedangkan dapur ndalem dikhususkan untuk keluarga kyai. Selain bercerita tentang pondok dan para santri, Ipeh dan Nurul juga menceritakan keadaan keluarga Abah Ilyas dan Umi Aisyah. Kata mereka, Abah dan Umi mempunyai dua orang Putra. Si sulung berusia 24 tahun sedangkan si bungsu 12 tahun. Aku segera menghidangkan makanan di atas meja makan ketika semua makanan telah matang. Sop jamur, tumis kangkung, tempe goreng, ayam goreng dan sambal terasi. Perfect. Oh jangan lupa lalapan sama petenya. Sementara Ipeh dan Nurul sedang mandi. Mereka harus segera ke pondok karena mereka juga memiliki tugas di sana. "Wah ... Ini malah ngerepotin Caca." Umi Aisyah datang masih mengenakan mukena. "Gak kok Umi. Caca malah seneng bisa bantu-bantu." "Ya sudah, sini makan bareng sama Umi, Abah dan Azzam sekalian." "Mboten usah Umi. Saya gak enak. Saya makan sama Nurul dan Ipeh saja." "Gak papa sini duduk! Umi masih kangen sama kamu." Tak lama kemudian datanglah sosok lelaki paruh baya yang penuh kharisma. Duh, kalau masih muda pasti tampan mempesona ini. Udah tua aja aku klepek-klepek. Hehehe. "Abah ... Baru pulang Bah?" Umi menyambut tangan suaminya dan si Abah mengecup kening Umi Aisyah. Uwuwu ... Aku kok iri ya melihat pasangan tua tapi berjiwa muda ini. "Ini Caca, anaknya Fatimah sama Ridwan ya?" tanya Abah Ilyas. "Nggih Abah," jawabku. "Sini duduk sama Abah dan Umi. Kita makan bareng-bareng. Umi ... Azzam kok belum kelihatan?" "Masih tidur kayaknya Bah? Tadi malam lembur kayaknya. Umi itu udah senewen udah gregetan pengin bongkar tuh kamarnya. Kamar kok kayak kapal pecah," curhat Umi. "Mungkin dia masih ada kerjaan Umi. Lagian kan juga ngurusi tesisnya. Mungkin lagi ada job juga, mau bikin rumah, mushola, jembatan, hotel atau apalah," terang Abah. "Hahaha. Padahal Umi ngarepnya Azzam segera bikin bayi biar kita bisa cepet punya cucu," kelakar umi. "Hahaha. Kamu yakin mau ngarepin Azzam cepet nikah? Kayaknya daripada Umi ngarepin Azzam mending kita bikin sendiri aja Um?" sahut Abah sambil menarik turunkan alisnya. Sontak Umi memukul lengan Abah, "Abah m***m ih. Gak malu ada Caca apa?" pipi Umi memerah karena malu. "Gak papa kok Umi, kan Caca serasa lagi nonton Drakor pas adegan suami istri yang bahagia. Hehehe." "Hahaha ... Kamu memang anaknya Fatimah. Pantes uminya Azzam langsung lengket sama kamu," celetuk Abah. Fokus kami teralihkan karena kedatangan seseorang. Seorang lelaki memakai kaos oblong hitam dan bersarung hitam datang ke meja makan. Rambutnya yang panjang nampak awut-awutan tapi tetap tampan haish. Sepertinya dia masih mengantuk dan tak menyadari sekelilingnya. Cara jalannya seperti seseorang yang mengalami tidur sambil berjalan. Kami bertiga terdiam dan sibuk mengamati tingkah lakunya. Dia duduk didekatku dan ... What? mataku melotot. Aku syok. Dia ndusel13 ke ketekku? Serius ini? Aduh jantungku malah jadi disco. Dua orang tua itu pun tak kalah syoknya denganku. "Zam ..." "Dalem Umi." "Lepas!" "Pewe Umi, Azzam kan udah biasa kayak gini," rajuknya manja dan masih ndusel ke ketekku. Aku mematung dan bingung. Sisi otakku ingin menyudahi sedangkan sisi hatiku menikmati. Halah. "Zam," kali ini Abah yang bersuara tegas. "Nopo Bah?" "Buka matamu, lihat kamu itu lagi ngapain? Bukan mahram!" bentaknya. "Mahram Abah? Kan ndusel sama Umi." "Azzam!" "Ckckck ... Ya kalau bukan Umi berarti calon istri Azzam." Pria itu berkata sambil mengangkat tubuhnya dariku kemudian matanya melebar saat menyadari keberadaanku. "Kamu? Kamu siapa?" bentaknya. "Caca." Aku menjawab sambil meringis. "Ngapain kamu disini!" bentaknya. Ya Allah suaranya menggelegar sekali kayak singa. "Mau makan," ucapku lirih dengan muka memerah. Dia memandangku kemudian menoleh kesekelilingnya dan mendapati kedua orangtuanya berada di seberang meja. Umi nampak tersenyum geli sedangkan raut muka Abah memerah campuran antara kesal, marah dan menahan tawa. Aku? Oh jangan tanyakan bagaimana denganku. Lelaki paling dekat denganku hanya Hasan dan dia tak pernah ndusel-ndusel manja kepadaku. Karena terlalu malu aku memilih berpamitan kepada Abah dan Umi. Berjalan pelan, dan ketika sampai dapur aku langsung melesat menuju kamarku. Aish ... Kok aku jadi keki setengah mati sih. Mana itu cowok walau belum mandi tapi wangi lagi. Oh tidakkkkk .... EGP Gus "Hai kamu!" Aku yang tengah sibuk mengiris wortel mendongak menatap si cowok angkuh. Seminggu semenjak kejadian salah ndusel praktis kami saling menghindar. Malu iya, marah iya tapi seneng juga iya. Aku sih yang seneng. Halah .... "Apa!" jawabku jutek. "Kamu itu niat kesini mau ngapain sih?" "Mbabu," jawabku ngasal. "Ckckck ... Katanya mau ngaji." "Gus. Ini kan masih jam 7 pagi, gak ada jadwal ngaji. Kalau ada jadwal ngaji aku ya ngaji." Dia bersidekap. "Memangnya kamu mau fokus ngaji kitab apa?" "Kitab apa saja yang penting ngaji. Kenapa Gus Azzam repot sih?" "Aku gak repot cuma jengah sama tingkah kamu, santri lain itu gak kayak kamu tahu." Aku memandangnya tajam. "Memangnya aku kenapa Gus?" "Caper." "Sama siapa?" "Umi." "Oh ... Gus cemburu?" "Siapa yang cemburu? Jangan ngarang kamu?" "Alah ... Bilang saja njenengan cemburu sama saya karena Umi lebih perhatian sama saya, ya kan?" Aku tahu Gus Azzam beberapa kali nampak cemberut ketika aku sedang bersama Umi. Apalagi sekarang kemana-mana Umi lebih sering denganku bahkan aku tak segan-segan bermanja dengan beliau. Hubungan kami sudah seperti Ibu dengan putrinya. Mau belanja, naik motor, masak atau yang lainnya Umi selalu denganku. Aku ini multi talent tau, jadi anak bisa, jadi tukang sapu bisa, ngepel bisa, ngupas kelapa bisa, ngangkat galon juga bisa. Pokoknya udah dijamin kehebatanku berkat 10 tahun mbabu di tempat Lik Mirna. "Kalau niat kamu mondok mau ngaji ya fokus. Baca qur'an aja masih belum fasih ya dilancarin." "Njenengan mau bantu saya? Ayuk sekarang kita ngaji bareng?" tantangku. "Sama Syarifah atau Nurul sana. Yang muhrim kamu. Gak boleh berkhalwat tahu." "Mereka lagi sibuk nemeni Umi sowan ke rumah Bu Nyai Marfuah." "Ck." Dia melengos pergi. Dih dasar Gus aneh, heran aku. Sudah dewasa padahal, tapi manjanya gak ketulungan. Dari pada rebutan Umi sama aku bukannya lebih baik dia cari pacar ... eh istri. Lupa aku, santri itu gak ada istilah pacaran adanya ta’arufan, lamaran terus nikahan. ***** Semua masakan yang aku siapkan sudah terhidang semua. Perintah Umi jam sembilan sudah harus siap. Katanya anak bungsunya mau pulang. Habis liburan di rumah simbahnya di Bumiayu. Iya, Umi Aisyah asli Bumiayu. Umi Aisyah bukan Ning, orang tuanya hanya petani biasa. "Asalamu’alaikum," teriakan dari luar. "Wa’alaikumsalam," jawabku. Kulihat seorang anak lelaki berusia 12 tahunan berjalan masuk bareng cowok. Usia si cowok kayaknya sepantaran Gus Azzam. Orangnya tinggi sedang, kulitnya hitam manis, rambut ikal, wajah kelihatan sangar mirip preman tapi satu kata buat dia jantan. Yiha ... Hahaha. Aku tersenyum kepada mereka. Si Gus muda tersenyum padaku, manis. "Mbak siapa?" "Saya Caca, Gus. Njenengan Gus Azmi kan?" "Betul sekali, salam kenal Mbak Caca." Dia memamerkan deretan giginya yang putih. Ckckck Gus kecil beda banget sama masnya. Kalau masnya angkuh dan sombong plus nyebelin kalau yang ini duh ngangenin. "Kang Bim kenalin nih Mbak khadamah baru kayaknya." Orang yang dipanggil Kang Bim menoleh kearahku. Sejenak kami saling memandang dan tersenyum. Hingga ... tunggu, kok kayaknya aku kenal. Dan diapun sepertinya kaget. "Cahaya." "Mas Bimantara." "Ya Allah, Ca. Kamu Caca. Cahaya Mustika. Cewek tomboy hobby panjat pohon," pekiknya. "Dan kamu Bimantara Adi Nugraha si preman kampung tukang bikin huru hara." Aku tak kalah memekik. "Caca." "Mas Bima." "Aaaaaa," teriak kami berdua heboh. Kami saling mendekat hendak saling memeluk hingga .... "Ekhem," suara deheman menghentikan aktivitas kami. "Eh Guse. Maaf Gus. Kang Bim hampir khilaf. Peace and love deh Gus," ucap Bimantara. "Udah dibilangin kalau bukan mahramnya jangan pegang-pegang Kang Bimo. Masih juga gak ngerti," ucapnya sambil menarik kursi. Halah. Alasan. Seminggu yang lalu aja dia ndusel-ndusel manjah ke aku. Dih... jarkoni... Ngajar tapi ora bisa nglakoni. "Mas Azzam, Azmi kangen deh sama Mas Azzam." Gus Azmi mendekat kearah kakaknya dan bermanja-manja kepadanya. "Gimana? Betah ditempatnya Simbah." "Betah Mas, Simbah panen singkong sama ubi banyak. Tuh kita bawa masing-masing sekarung." "Simbah kangen sama Mas Azzam, kata Simbah sudah terlalu lama Mas Azzam gak nengok. Simbah kangen," lanjut Gus Azmi. "Nanti pas ke Bandung, Mas Azzam mampir dulu ke tempat Simbah," jawab Gus Azzam. Kedua kakak beradik itu makan sambil sesekali mengobrol. Bimantara atau disini dikenal sebagai Kang Bimo ikut makan bersama mereka. Aku meladeni mereka makan dengan senang hati soalnya Gus Azmi menyenangkan. Kalau dengan Kang Bimo kami dulu sangat akrab semenjak kecil. Jadi, saat ikut makan bareng, kami bertiga begitu antusias bercerita. Masa bodo sama raut muka Gus Azzam yang menyebalkan. EGP lah Gus .... Ceritaku ???? Azzam Daffa Al Kaivan ???? Gadis itu benar-benar berisik sekali, suka cari muka dan menggangu. Aku tahu dia anak sahabat Umi yang bernama Fatimah. Dan saat ini dia yatim piatu. Tapi sungguh kehadirannya membuatku terganggu. Aku dikenal sebagai sosok Gus yang dingin, cuek, galak dan mungkin angkuh. Tapi jangan salah, sikapku akan berbeda jika bersama Umi, aku justru sangat manja padanya. Maklum saja 12 tahun aku baru dikasih adik. Jadi, jangan salahkan kalau aku menjadi anak manja hanya ketika bersama Umi. Aku pertama jumpa dengannya di pintu gerbang pesantren, kuakui dia sangat cantik. Tapi bagiku biasa saja, karena aku sudah terbiasa lihat cewek cantik. Bahkan mantan calon Ning yang gagal ta'aruf denganku juga cantik. Tapi cantikan Caca sih. Astaghfirullah. Walau begitu bukan berarti aku suka sama Caca ya. Aku nyari istri itu harus seperti Umi. Kalem, lembut, perhatian dan penurut. Dan semua itu tidak ada di Caca. Aku sulung dari dua bersaudara. Jarak kelahiranku dan adikku 12 tahun. Abahku seorang tentara yang sering bertugas dalam misi perdamaian. Beliau mempunyai kakak bernama Irham. Aslinya pondok Mbah Harun dan Mbah Maftuhah diserahkan kepada Pak Dhe Irham karena dia anak tertua. Lagi pula Abah seorang tentara jadi tak mungkin mengurusi pondok. Hingga Pak Dhe Irham meninggal karena sakit dan meminta Abah untuk mengasuh pondok serta menjaga istrinya, Bu Dhe Laila dan kedua putranya yaitu Mas Fatur yang berusia 3 tahun dan Mas Fadil yang berusia 2 bulan. Abah menyanggupi menjaga mereka. Akhirnya Abah berhenti dari satuan dinasnya demi menjalankan wasiat sang kakak. Keluarga Bu Dhe Laila yang termasuk keluarga pesantren daerah Cilongok meminta Abah untuk menikahi Bu Dhe Laila tapi Abah kekeuh tidak mau. Karena wasiat kakaknya hanya meminta menjaga bukan menikahi janda kakaknya. Sempat terjadi perdebatan sengit, tapi Abah adalah seorang perwira. Seorang prajurit, pantang baginya menjilat ludah dan menyerah dengan keyakinannya jika apa yang ia yakini itu benar. Sungguh ia tak keberatan menjadi Ayah bagi kedua putra mendiang kakaknya hanya saja ia benar-benar tak ada rasa untuk kakak iparnya. Abah tak mau hidup dengan seseorang yang sama sekali tidak dia cinta. Sebenarnya bisa saja dia menikahi Bu Dhe Laila toh cinta bisa datang karena terbiasa. Hanya saja Abah tak begitu menyukai karakter Bu Dhe Laila yang sombong dan mudah iri. Abah saja sampai heran kok maunya sang kakak menikah dengan Bu Dhe Laila. Kenapa dulu kakaknya tidak memilih calon pilihan kedua orangtuanya yang jelas-jelas berbobot. Mungkin kakaknya sudah dibutakan cinta. Hingga akhirnya ia tak sengaja bertemu dengan umiku, Umi Aisyah. Abah jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Umi ternyata adalah santri Simbah. Abah akhirnya menikahi Umi Aisyah. Umi Aisyah sangat dibenci oleh seluruh keluarga Bu Dhe Laila. Beruntung Simbah Kakung dan Simbah Putri mendukungnya. Dan lebih beruntung, Umi adalah wanita yang tabah, lembut, keibuan namun bisa menjadi sosok yang tegas. Sangat cocok mendampingi Abah yang begitu keras dan kaku. Berbagai cacian, cibiran dilontarkan kepada Umi Aisyah apalagi karena dalam usia pernikahan yang menginjak tiga tahun Umi belum hamil. Berbagai serangan dilancarkan oleh Bu Dhe Laila dan keluarganya termasuk meminta dirinya dijadikan istri kedua. Tapi sekali lagi Abah menolak bahkan dia menskakmat setiap orang yang nyinyir akan keadaan Umi Aisyah. Beliau mengibaratkan Umi Aisyah seperti Aisyah R.A istri Rasululloh. Walaupun tak memiliki anak tapi beliau tetap memiliki kemuliaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN