Aliana Niakansavy, Gadis itu mendadak terkenal sejak insiden malam berdarah saat ia kehilangan keperawanan lehernya. Menjadi mahasiswi yang paling dicari di fakultas, tentu saja bukanlah keinginannya. Aliana bahkan beberapa kali bersembunyi di punggung Stella saat beberapa kakak tingkat berpapasan dengannya.
“Biasa aja kali, Lana!” tegur Stella yang mulai gemas dengan tingkah sahabatnya itu. Bukannya apa - apa, ia hanya lelah diseret ke sana kemari hanya untuk menghindari kakak tingkat yang bahkan kecoak pun tahu kalau mereka ada di mana - mana.
“Gimana bisa biasa sih, Stell?! Mereka semua ngomongin gue!” Aliana merengek seraya terus berusaha menutup wajahnya dengan tubuh Stella yang lebih tinggi darinya. Gadis itu sangat bersyukur karena memiliki teman yang pertumbuhannya baik seperti Stella.
Stella mendengus lalu berjalan lebih dulu untuk memasuki kelasnya pagi ini. “Cuekin ajalah. Gak bakalan mereka berani ngelabrak lo. Kita kan bukan anak sekolahan lagi, Lan.”
Aliana mempercepat langkah sambil menggerutu saat sahabatnya itu dengan tega meninggalkannya. “Bisa aja kali. Gue denger - denger, tuh cowok kurang ajar kan anak organisasi, siapa tau dia bawa rombongannya buat balas dendam ke gue?”
Stella berhenti tepat di depan pintu, berbalik menghadap Aliana yang kini mencebikkan bibir. Pantas saja kakak tingkat itu begitu nafsu pada sahabatnya. Aliana memang menawan. Cuma sayang, otaknya agak gesrek. “Ya ampun Lana, mana mungkin dia setega itu.”
“Dia tega kok, Stell! Buktinya dia ngambil keper—eemmmbb!” Ucapan Aliana terputus saat Stella dengan cepat membekap mulut ceriwisnya.
Stella mendelik tajam ke Aliana. Ia tahu betul apa yang akan sahabatnya itu katakan. Dan mengingat suara Aliana yang seperti toa, sudah pasti semua orang akan mendengarnya dan segera mulai memunculkan berbagai gosip baru akibat ulah Aliana sendiri.
“Lana sayang, kan udah gue bilang, kalau mau ngomong itu dipikir dulu,” desis Stella tajam namun penuh pengertian.
Akhirnya, Stella melepaskan bekapan di mulut Aliana setelah sahabatnya itu mengangguk patuh. Kemudian, ia melemparkan tatapan mengingatkan untuk terakhir kalinya kepada Aliana.
“Pokoknya, lo santai aja. Seminggu lagi juga gosip tentang lo bakalan reda. Jangan bersikap kayak maling gitu!”
“Stell, siapin kursi di sebelah lo, ya!” balas Aliana yang membuat dahi Stella mengerut dan menghentikan langkahnya masuk ke dalam kelas.
“Mau ke mana?”
“Pinjam topi ke Bima!”
Setelah mengatakan itu, Aliana langsung pergi ke gedung sebelah tempat Bima berada. Sambil berlari, Aliana masih bisa - bisanya memikirkan kakak tingkatnya yang rese itu. Benar kata Stella, gosip itu pasti tidak akan bertahan lama. Ia hanya perlu bersikap baik dan menjauhi si penjahat kelamin.
“Bim!” Aliana berteriak saat melihat teman SMP - nya itu berdiri beberapa meter darinya sedang berbincang dengan seseorang. Benar sekali dugaannya, Bima memang akan selalu memakai topi. “Pinjem topi, dong!” ucapnya saat berada di samping Bima.
“Buat apaan? Tumben banget?” balas Bima yang kini menatap Aliana dengan pandangan penuh tanya.
“Udah ah jangan tanya - tanya, nanti juga gue balikin.”
Aliana malas jika harus menceritakan perihal bersembunyi dari kakak tingkat yang kurang ajar itu. Bisa berbusa mulutnya jika harus menceritakan kronologi kejadian dari awal sampai akhir. Lagian, dirinya juga yang akan malu sendiri jika harus menceritakan kesialannya pada orang lain.
“Kasih tahu alasannya dulu!” sahut Bima dengan manik mata yang berbinar penasaran.
“Aduh Bim, ceritanya nanti aja deh pas pulang. Sekarang udah mau masuk, nih,” desak Aliana dengan alasan yang cukup meyakinkan. Ia hendak memohon lagi kepada Bima yang kini menampilkan ekspresi curiganya, namun terhenti saat merasakan sesuatu melingkupi kepalanya. Sebuah topi biru dongker.
Aliana lantas menoleh, mencari tahu siapa sosok yang menaruh benda itu di kepalanya. Dan seketika saja Gadis itu merasakan udara di saluran pernafasannya mendadak tersumbat. Jantungnya berdebar - debar bukan main.
“Kita ketemu lagi!” Lelaki itu tersenyum puas saat melihat ekspresi terkejut yang sangat menggemaskan dari Aliana.
Jika boleh, ingin sekali ia mengambil karung dan langsung memasukkan Gadis itu ke dalamnya. Membawa pulang ke kontrakannya dan melakukan hal - hal yang menyenangkan. Mungkin seperti memeluk, mencium, memberikan tanda kepemilikan. Sayangnya, Adam harus menahan pikirannya yang mulai memasuki area delapan belas ke atas karena interupsi sebuah suara.
“Ngapain lo ngumpet di belakang gue?” tanya Bima pada Aliana.
Aliana tidak langsung menjawab pertanyaan Bima itu. Ia justru mengangkat jari telunjuknya lalu mengarahkannya tepat ke wajah Adam yang sedang menatapnya dengan pandangan geli.
“Liat tuh! Lo liat kan wajahnya?!”
Bima kini mau tak mau memperhatikan wajah Adam dengan saksama. Namun, ia tidak bisa menemukan keanehan di wajah kakak tingkatnya itu, selain ketampanan. Meski sedikit berkurang karena luka lebam yang sedikit membiru di pipinya.
“Kenapa wajahnya?”
“Wajahnya m***m banget, Bim. Gue yakin dia pasti lagi mikir enggak - enggak.” bisik Aliana pelan pada Bima. Namun, jika dilihat dari wajah Adam yang tengah menahan senyum, agaknya lelaki itu mendengar tuduhan Aliana yang memang benar adanya.
Bima mengangkat alisnya kaget. Setahunya, Aliana selalu tampak welcome dan sopan kepada setiap orang. Baik cewek maupun cowok. Tapi sekarang justru sebaliknya.
“Jangan gitu, Lan. Gak baik,” tegurnya pelan.
Aliana langsung cemberut dibuatnya. Bima tidak tahu saja apa yang cowok kurang ajar itu lakukan padanya. Kalau sampai Bima tahu, pasti memarnya tidak hanya ada satu.
“Gue balik dulu, deh!”
Aliana sudah hampir mengangkat kakinya untuk kabur, tapi tertahan karena Adam justru membuka percakapan. “Buru - buru amat, Sayang?”
“Sayang gundulmu!” amuk Aliana tidak terima.
Adam berdecak. Bukan karena kesal, justru karena mengagumi cewek yang saat ini berdiri tepat di hadapannya. “Duh, gue suka banget nih sama yang garang - garang manis kayak gini.”
Sontak saja pernyataan Adam barusan membuat Aliana gelagapan. Ini cowok otaknya udah gesrek kali, ya? Udah kena tonjok, masih aja berani godain gue. Langsung saja Aliana menoleh ke Bima dan memberinya tatapan yang seolah berkata, “tuh kan!”
Bima nampak linglung karena tidak memahami situasi yang terjadi antara Adam dan Aliana. “Kalian kenal di mana?”
Adam menyeringai senang. “Oh, gue kenal si manis ini di…”
“Bim!” panggil Aliana cepat sembari menatap takut - takut ke arah Adam. “Gue balik dulu, ya. Udah mau masuk dosennya.”
Aliana segera beranjak dari sana tanpa mencemaskan Adam yang mungkin akan bercerita tentang insiden berdarah kepada Bima. Kalau sampai itu terjadi, biar saja Adam merasakan hangatnya sebuah tonjokan. Bukan dari Aliana, tapi pasti dari Bima. Jadi, Aliana lebih memilih kabur dari sana dari pada harus ikut campur dalam masalah perkelahian para lelaki itu.
Walaupun sudah sepuluh langkah menjauh, tapi telinga Aliana masih bisa menangkap teriakan si penjahat kelamin itu. “Hati - hati, Sayang!”
Mendengar itu, Aliana langsung membenarkan pernyataan bahwa hari Senin adalah hari s**l sedunia. Ya, itu benar sekali! Apalagi, kalau bertemu dengan cowok super m***m macam Adam. Sepenuhnya, hari Senin akan menjadi hari s**l! Tanpa basa - basi lagi, Aliana langsung mempercepat langkah menuju gedung tempat kelasnya berada.
“Tumben Bima mau minjemin topi,” ujar Stella saat Aliana memasuki kelas dan langsung duduk di sampingnya.
“Apaan, dia gak minjemin kok.”
“Lah itu topi punya siapa?”
Dengan cepat, Aliana langsung memegang kepalanya. Mampus!
“Stell, apa gue pindah kampus aja, ya?”
Aliana segera menyambar topi yang tadi diberikan Adam dari kepalanya dan melemparnya asal ke atas meja. Kali ini, Aliana benar - benar terlihat frustrasi. Ia terdiam sesaat. Selain karena menunggu jawaban dari Stella, Gadis itu juga sedang menatap topi biru dongker dengan motif jaring di bagian belakangnya.
“Segitu frustrasinya, ya?” Stella menatap sahabatnya iba. Well, siapa yang akan tahan saat mendapatkan masalah sosial di awal perkuliahan.
“Gue pernah buat dosa apa, sih, Stell? Perasaan, kalau nakal juga gak pernah nakal - nakal amat. Dosa terbesar gue paling ngerjain Kak Alan doang.” Gadis itu bahkan sempat berpikir bahwa mungkin saja kesialannya ini karena sebuah kesalahan di kehidupannya yang sebelumnya. Sepertinya memang benar, Aliana sangat frustrasi!
Stella memang tahu betul bagaimana sepak terjang Aliana yang masih awam perihal cowok. “Terus itu topi siapa?” tanyanya lagi, membuat Aliana justru semakin menekuk wajah.
“Topi kakak tingkat kurang ajar itu!”
“Hah? Lo ketemu sama dia?”
“Iya! Tadi dia lagi ngobrol sama Bima. Sumpah deh, gue beneran gak nyadar. Lo tau kan, di mata gue, wajah tuh cowok semacam kena sensor gitu!” ceplos Aliana.
“Terus dia kasih topi itu?”
“Dia malah langsung masangin! Begonya, gue justru lupa balikin dan make nih topi sampe ke kelas.”
Di luar dugaan, Stella justru membuka mulutnya agak lama dengan sorot mata berbinar. “Ya ampun, Lana! Itu tuh so sweet bangeettt!” Stella menggoyangkan lengan Aliana dengan gemas.
“So sweet pala lo!!!” pekik Aliana kesal. “Ini juga dosennya kok gak dateng - dateng, sih?” tanyanya mencoba mengalihkan perhatian.
“Dia ngomong apa, Lan?” tanya Stella antusias.
“Ini dosennya lagi kena macet kali, ya?” imbuh Aliana pura - pura tidak mendengar pertanyaan Stella.
“Aliana ihhh… gue kepo, nih!”
“Ya ampun, Stell! Udah deh, perut gue mules nih kalau ngomongin dia.” Aliana berhenti sejenak sambil memijat kepalanya yang tiba - tiba saja terasa pusing.
“Masa lo mules sama Kak Adam sih? Dengerin ya Lan, kakak tingkat itu namanya Adam Saputra. Dia tuh terkenal banget, loh, Lan!” gebu Stella yang terlihat ingin menjodohkan Aliana dengan Adam.
“Terkenal m***m iya kali, Stell!”
“Duh, jarang - jarang ada cowok yang serius ngedeketin cewek secara blak - blakan kaya gitu, Lan! Gentle banget!!!”
“Dia tuh udah seenaknya nyupang cewek yang baru dikenal, Stell. Apanya yang gentle! Lagian, lo sendiri yang bilang dia mabok kan kemarin? Itu berarti dia cowok gak bener. Dan kayaknya harus gue tegasin lagi, gue itu ngejaga jiwa raga gue cuma buat Denis!” curhat Aliana yang merasa dirinya tidak sesuci dulu. Ditambah lagi, Stella sepertinya sangat tidak mengerti dengan kekesalannya terhadap penjahat kelamin itu.
Stella berdecak sembari menggeleng - gelengkan kepala. “Lan, sadar dong! Sekarang tuh lo udah masuk kuliah. Udah saatnya move on dari cinta monyet kayak gitu! Lo mau terus - terusan jomblo?”
“Gue kan lagi memantaskan diri, Stella…” ucap Aliana dengan yakinnya.
“Coba lo pikir, gimana kalau di luar sana Denis udah ngehamilin anak orang?”
“Stell! Denis gak gitu! Yang lebih pantes hamilin anak orang itu ya si Adam!” jawabnya tidak terima.
“Ya, dan yang dihamilin Adam itu lo!”
Aliana membuat gesture ingin muntah, lalu mengetuk dahi dua kali, kemudian mengetukkannya ke meja. “Amit - amit jabang bayi!” rapalnya beberapa kali. “Lo temen apa bukan, sih? Nyumpahin temen segitu jeleknya!”
“Ya… siapa tau jodoh?” Stella memasang wajah polos.
Aliana langsung pura - pura muntah untuk menyalurkan ketidaksetujuannya yang langsung disambut tawa Stella. “Lo masih inget pepatah ‘benci dan cinta itu tipis’, kan?”
Belum sempat Aliana menanggapi, panggilan sebuah suara di pintu kelas membuat dua Gadis itu menoleh.
“Aliana ada?” tanya sebuah suara yang mulai terdengar familiar di telinga Aliana.
Tidak butuh waktu lama sampai mata Adam dapat menemukan sosok Aliana yang sepertinya betulan ingin muntah karena cengiran miliknya. Gadis itu sampai memegang perut dengan satu tangan dan membengkap mulutnya dengan tangannya yang lain.
Adam langsung membelalakkan mata. Raut wajahnya terlihat begitu khawatir saat melihat Aliana ingin muntah.
“Lo hamil, sayang?”
Dan, pertanyaan lelaki itu seketika mengganti keheningan kelas Aliana dengan tawa riuh yang membuat Aliana semakin geram.