#
Wulan yang baru selesai mandi dan bersiap kini keluar dari kamar dna menatap Leo.
Leo juga sudah mengganti pakaiannya dengan kemeja putih bersih, jaket hitam tipis dan celana jeans.
"Mendadak aku merasa salah kostum. Harusnya aku memakai kaos atau kemeja saja," ujar Wulan. Dia mengenakan midi dress berwarna biru langit saat ini dengan kardigan brokat yang terlihat cantik.
Leo menggeleng cepat.
"Tidak, biarkan seperti ini. Kau cantik," balas Leo. Dia menahan lengan Wulan yang hampir berbalik masuk lagi ke dalam kamar.
Wulan tersenyum
“Jadi, mau ke mana kita sepagi ini?” tanya Wulan sambil menarik cardigan tipisnya. “Dan apakah Anda tidak perlu bekerja hari ini, Dokter?” candanya.
Leo menoleh, tersenyum kecil. Ada sesuatu di balik senyumnya, rasa bahagia, haru dan khawatir. Setiap harinya bersama Wulan terasa seperti mimpi indah bagi Leo. Dia bahagia tapi juga takut kalau suatu saat semuanya bisa saja berakhir.
“Aku libur hari ini, khusus untuk menemani istriku tersayang,” jawabnya santai.
Wulan memicingkan mata, bersikap seakan dia curiga.
"Hem, dokter yang sibuk ini sepertinya memanfaatkan posisinya sebagai pemilik klinik," kata Wulan.
“Ya. Selalu ada dokter lain yang bisa menangani beberapa operasi minor yang tidak bisa ditunda. Mereka cukup kompeten karena aku merekrut mereka dengan bayaran mahal,” jawab Leo tanpa merasa bersalah.
Wulan mendengus.
“Kau benar-benar memanfaatkan posisimu sebagai pemilik klinik, ya?”
Leo tertawa, mencondongkan tubuhnya dan meraih dagu Wulan dan menatapnya penuh rasa sayang.
“Aku adalah milikmu sepenuhnya. Silakan manfaatkan sepuasnya.”
Wulan memutar bola mata, tetapi ujung bibirnya terangkat.
Adegan kecil semacam ini sudah mulai terasa terlalu manis baginya tapi ini tidak akan membuat hatinya goyah dengan mudah.
Wulan kemudian bergelayut manja di lengan Leo. Dia melirik suaminya itu dengan hati-hati.
"Apa aku boleh tinggal di Jakarta mulai sekarang?" Pintanya.
Leo terdiam. Dia Ragu.
Ada ketakutan yang menahannya untuk bisa berterus terang pada Wulan.
Wulan melihat dengan jelas keraguan yang tersirat dari cara Leo bersikap sekarang ini dan dia penasaran apakah mungkin Leo memiliki wanita lain yang dia sembunyikan? Meski begitu, dia menahan rasa ingin tahunya tersebut.
“Kenapa kau diam?” tanyanya, lebih lembut.
Leo menundukkan kepala sejenak, lalu menghela napas.
“Bukan aku tidak mau. Aku hanya belum yakin ini aman untukmu.” Dia ingin jujur tapi dia tidak bisa menjelaskannya.
“Tidak aman?” Wulan mengulang.
“Leo, kita ini tinggal di Jakarta, bukan hutan belantara.”
Leo tersenyum hambar.
“Maksudku bukan seperti itu.” Leo menghentikan dirinya sebelum apa pun keluar dari bibirnya. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan Wulan.
“Aku hanya ingin tinggal dekat suamiku. Apa itu salah?” Wulan berbicara dengan suara pelan dan lirih.
Leo menatap Wulan lama, seolah-olah kalimat itu membongkar pertahanan terakhir yang berusaha dia jaga. Akhirnya dia menghela napas panjang, pasrah.
“Aku cuma takut hal-hal yang buruk terjadi padamu. Ibukota itu kejam. Kau tahu kan,” elak Leo.
“Hal-hal buruk seperti apa?” Wulan tergoda untuk terus mendesak.
“Wulan, aku hanya trauma dengan kecelakaan yang menimpamu. Maafkan aku,” Leo mengusap wajahnya, tampak serba salah.
Jawaban itu tidak memuaskan, tetapi Wulan menahan diri. Dia memiliki rencananya sendiri dan bahaya akan tetap berjalan disekitarnya meski Leo tidak tahu.
Wulan tahu kalau dia tidak bisa menekan Leo lebih jauh tanpa membuka kartunya sendiri.
Akhirnya Leo berdiri dan mengambil kunci mobil.
“Sebenarnya aku tadinya ingin mengajakmu mencari hotel terbaik di Jakarta. Aku pikir apartemenku terlalu kecil.” Leo kini berkata jujur.
Wulan berkedip.
“Hotel?”
“Ya, tapi kalau kau ingin tinggal di Jakarta untuk waktu lama, berarti aku harus membeli rumah.” Leo menatap Wulan sambil tersenyum kecil.
Wulan memijit pelipisnya.
“Leo, tidak perlu sejauh itu. Aku bisa tinggal di apartemen yang ini.”
Leo menggeleng tegas.
“Aku tinggal di sini karena aku hanya sendirian. Kalau aku tinggal dengan istriku, aku ingin tempat yang nyaman dan menyenangkan,” pungkasnya.
“Kau tidak harus berlebihan seperti itu.” Wulan mendesah pelan.
“Aku tidak berlebihan.” Leo meraih tangan Wulan.
“Aku hanya ingin kamu hidup nyaman. Itu saja,” lanjutnya.
Wulan tidak bisa membalas argumen itu. Leo memang keras kepala.
Tapi kemudian Wulan mengingat sesuatu. “Kalau begitu, jual saja rumah di Malang atau Surabaya. Kita perlu punya banyak rumah.”
Leo mengerjapkan mata, lalu tertawa kecil. “Wulan, kedua rumah itu sudah atas namamu, kau bebas melakukan apa saja dengan semua rumah itu,” ujar Leo.
“Apa?” Kali ini Wulan benar-benar terkejut. Dia bahkan tertegun.
“Kau pemiliknya,” konfirmasi Leo, seolah-olah itu hal kecil.
Wulan menarik napas panjang. Ada sesuatu yang tidak beres.
“Leo.” Tatapannya menajam.
“Berapa sebenarnya jumlah uang di rekeningmu sampai kau bisa memberiku semua ini?”
Leo terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab.
“Aku menghasilkan banyak dari pasien-pasien kaya yang ingin mengubah wajah mereka,” katanya.
“Operasi elektif, perawatan estetika, rekonstruksi. Banyak orang rela membayar mahal untuk itu.” Leo melanjutkan.
Dia tersenyum, tetapi kemudian ekspresinya berubah.
“Tapi meski semua itu menghasilkan banyak uang, itu tidak akan berarti kalau bukan untukmu. Aku bekerja sekeras ini untukmu. Kau tahu itu kan?"
Kali ini Wulan mengerutkan dahi.
Ada yang terasa ganjil untuknya. Ada sesuatu yang terlalu berlebihan. Pertama Leo seakan menghindarinya setelah dia pulih hingga lewat dua tahun dan sekarang Leo bersikap seperti orang yang aneh untuknya.
Terlalu memanjakan. Terlalu ingin mengontrol seakan Leo sendiri tengah menutupi sesuatu yang jauh lebih gelap.
Wulan mencoba menggali ingatannya. Apakah dulu di kehidupan pertamanya sewaktu mereka masih menjadi kekasih, apakah Leo memang seperti ini?
Leo yang dia ingat, tidak begini.
“Leo, kau aneh,” bisiknya.
“Aneh dari manaya?” Leo menaikkan alis.
“Semua.” Wulan mundur setengah langkah dan memandanginya dari ujung rambut ke ujung kaki.
Sebaliknya Leo juga memandangi Wulan lama, seakan sedang mempertimbangkan apakah dia harus mengatakan sesuatu yang besar.
Meski akhirnya dia hanya tersenyum tipis.
"Itu mungkin karena ingatanmu yang hilang," ujar Leo.
Wulan terdiam.
Leo yang ada di kehidupan ini terlalu aneh.
Terasa terlalu tahu.
Terlalu takut kehilangan.
Terlalu bukan dirinya.
Dan itu membuat Wulan merinding.