#
Nayura menatap cermin besar di depannya sambil meremas ujung jubah sutra yang membungkus tubuhnya.
Cahaya lampu kamar yang lembut tetap tak mampu menyembunyikan ketidaksukaannya pada pantulan dirinya sendiri.
“Dia datang hari ini atau tidak?” tanyanya dengan nada yang jelas-jelas menahan emosi.
Pembantu pribadi yang berdiri di belakangnya, Sari segera menunduk dalam-dalam.
“Maaf, Nona… saya belum mendapat konfirmasi dari Dokter Leo. Tidak ada pesan masuk, tidak ada telepon...”
“Tidak mungkin!” Nayura menoleh cepat.
“Aku sudah menunggu tiga hari. Tiga hari! Apa dia tidak tahu aku butuh dia?”
Sari mengecap bibir dengan ekspresi ragu, sebelum akhirnya menjawab.
“Nona, saya mendapat informasi kalau orang tua Nona memutuskan untuk mengganti dokter.”
Hening sejenak.
Kemudian Nayura meledak.
“Apa?!”
Para pembantu lain yang sedang merapikan kamar menegang serentak.
Suara Nayura terdengar seperti letupan api yang mengenai minyak.
Sebelum semua orang menyadarinya, Nayura mengangkat vas bunga kristal di meja samping tempat tidur. Dengan satu gerakan penuh amarah, dia melemparkan vas itu ke arah dinding.
Suara vas yang pecah terdengar.
Serpihan kaca berserakan.
Para pembantu menjerit kecil dan mundur.
Nayura memegang pelipisnya.
“Kenapa mereka seenaknya mengganti dokterku?! Siapa yang menyuruh?! Sial!” Dia mengumpat pelan.
Sari menelan ludah.
“Tuan dan Nyonya bilang kalau Dokter Leo mengatakan bahwa beliau tidak sanggup menangani operasi wajah selanjutnya,” ujar Sari.
“Konyol!” Nayura memotong dengan keras. “Tidak sanggup? Atau memang dia tidak mau menemuiku lagi?” Prasangka memenuhi hati dan pikirannya.
Sari mencoba mendekat dengan hati-hati. “Nona, mungkin bukan seperti itu maksudnya. Operasi lanjutan ini lebih rumit. Dokter yang ditunjuk orang tua Nona adalah dokter bedah terbaik di luar negeri. Mereka hanya ingin yang terbaik,” hiburnya.
“Aku tidak peduli!” Nayura kembali menaikkan nada suaranya.
“Aku ingin dia. Hanya dia yang mengerti wajahku! Hanya dok...”
Nayura terdiam tiba-tiba.
Para pembantu saling pandang.
Sari menunduk sebelum berbisik lembut, “Nona, jangan marah dulu. Setelah operasi besar di luar negeri nanti, Nona masih bisa menemui Dokter Leo. Mungkin, Nona bisa mendekatinya perlahan. Beliau pasti akan terkesan kalau melihat perkembangan Nona.”
Nayura mengepalkan jemari, tetapi sorot matanya mulai melunak sedikit.
“Kau pikir begitu?”
“Ya, Nona. Sekarang bukan waktunya membuat masalah. Nona harus fokus pada proses pemulihan dan prosedur lanjutan nanti. Setelah itu, Nona bisa bertemu Dokter Leo lagi dengan kondisi yang lebih baik.” Sari tersenyum tipis.
Nayura menghela napas panjang, meski tetap terlihat tidak rela.
“Baik. Tapi aku tetap ingin tahu kenapa dia tidak menghubungiku selama ini.”
“Dokter sedang sangat sibuk, Nona. Banyak pasien yang harus ditangani. Dan beliau tinggal di Jakarta sekarang,”ujar Sari.
Tatapan Nayura menggelap.
“Jakarta? Kenapa dia ke Jakarta?”
Sari menggigit bibir, tidak berani menjawab.
Saat itulah suara langkah terdengar dari luar.
Pintu kamar terbuka. Nyonya Prawitasari masuk dengan raut wajah lelah.
“Apa yang terjadi di sini?” tanyanya sambil memandang serpihan kaca di lantai.
Para pembantu langsung menunduk dan memberi jalan.
Nayura membuang muka.
“Tidak ada.”
“Tidak ada?” Nyonya Prawitasari mengangkat alis.
“Kau melempar vas bunga kristalku ke dinding dan kau bilang ‘tidak ada’?” Dia jelas terlihat marah.
Nayura tidak menjawab. Dia hanya meraih sisir dan berpura-pura merapikan rambut panjangnya.
Ibunya berjalan mendekat, suaranya dingin tapi tidak meninggi.
“Nayura, apa alasanmu bertindak seperti ini?”
Nayura mengerutkan bibir kesal.
“Aku hanya frustasi. Dan aku tidak mau memakai dokter lain. Kenapa Papa dan Mama mengganti Dokter Leo tanpa persetujuanku?”
"Karena dia tidak mau menangani wajahmu yang seperti itu."
Jawaban itu nyaris lolos dari bibir Nyonya Prawitasari, tapi dia menahan diri.
Sebaliknya dia menjawab berbeda.
“Dokter Leo bilang prosedur lanjutan ini terlalu kompleks dan butuh tim khusus. Kita hanya mengikuti saran profesional.”
Nayura mencibir.
“Itu tidak terdengar seperti dokter Leo yang memutuskan. Aku tahu dia setidaknya menyukai kepribadianku.”
“Nayura. Jangan mulai berkhayal lagi.” Nada Nyonya Prawitasari mengeras sedikit.
“Aku tidak berkhayal,” Nayura menatap ibunya tajam.
Nyonya Prawitasari memperhatikan putrinya yang menunduk, tidak mau melanjutkan pembicaraan.
Ada banyak hal yang ingin dia katakan, tapi dia tahu itu tidak akan masuk ke kepala Nayura yang keras.
“Kau membuat kekacauan lagi,” ujar ibunya kecewa.
“Aku sudah bilang, aku hanya sedang marah. Itu saja.” Nayura berdiri dan berjalan melewati ibunya tanpa menatapnya lagi.
“Nayura, kita belum selesai bic...”
“Aku ingin sendiri.” Nayura memotong ucapan ibunya sambil terus berjalan keluar kamar.
Ibunya menghela napas panjang, memijat batang hidungnya.
“Anak itu benar-benar keras kepala.”
Para pembantu segera berjongkok. lanjut membersihkan serpihan kaca.
Sari menatap Nyonya Prawitasari itu dengan cemas. “
Maafkan saya, Nyonya. Nona Nayura hanya sedang stres.”
Nyonya Prawitasari menghela napas pelan. “Aku tahu. Tapi ini berlebihan. Dia tidak boleh membiarkan emosinya menguasai dirinya hanya karena seorang dokter.”
Sari menunduk tanpa berani menjawab.
#
Saat Nayura turun ke lantai bawah, dia melihat dirinya di pantulan kaca jendela besar ruang tamu.
Rambut hitamnya jatuh membingkai wajah. Wajah yang kini jauh lebih halus dibanding beberapa bulan sebelumnya. Tapi itu belum sempurna. Rahangnya sedikit bengkok.
Belum cukup cantik.
Belum cukup layak.
“Dokter Leo harus melihatku setelah aku pulih,” gumam Nayura pelan pada dirinya sendiri.
Nayura tersenyum tipis.
“Baiklah. Kalau aku harus pergi ke luar negeri demi menjadi sempurna aku akan melakukannya.” Dia meraba pipinya yang masih terasa kaku.
“Aku akan menjadi lebih cantik dari siapa pun. Bahkan lebih cantik dari wanita mana pun yang pernah dokter Leo lihat,” gumamnya.
Dia berhenti sejenak.
Matanya menyipit.
“Dan setelah itu dia tidak akan bisa mengabaikanku lagi atau bahkan menolakku apa pun alasannya. Semua milik Nayaka harus menjadi milikku. Semuanya adalah milikku kalau bukan karena Nayaka sial itu!” Nayura terlihat kesal.
Sari yang berdiri beberapa meter di belakangnya Nayura, melihat perubahan ekspresi itu.
Sebuah senyum kecil yang mencurigakan. Ada ambisi dalam tatapan Nayura. Ada obsesi.
Sari menelan ludah pelan.
Dia sudah lama bekerja di keluarga ini tapi dia tidak pernah melihat almarhum Nayaka bersikap mengerikan seperti Nayura.