Bab 4. Wulan Ayu 2

1056 Kata
# Suara langkah cepat menggema di lorong rumah sakit yang sepi ketika Dokter Gio mengejar Leo. Dia memanggil, namun Leo terus berjalan hingga akhirnya Gio menarik lengannya dengan paksa. Wajahnya tegang, matanya tajam dan penuh kekhawatiran. “Leo! Kita harus bicara. Sekarang,” katanya dengan nada rendah namun menekan. Leo melepaskan lengannya, tapi tidak menghindari tatapan koleganya itu. “Jangan mengguruiku Gio. Kita teman tapi aku tidak punya waktu untuk omong kosong, Gio.” “Harus ada waktu. Apa yang akan kamu lakukan dengan Nayaka sekarang? Dia tidak ingat apa-apa, Leo. Sama sekali.” Gio menahan tangan Leo lagi, kali ini lebih kuat. Leo terdiam sejenak, tatapannya menegang namun tetap tenang. “Lalu kenapa memangnya?” Gio memandangnya dengan heran. “Maksudmu?” “Aku akan mengganti namanya,” jawab Leo datar. “Identitasnya, semuanya akan kuberikan yang baru. Dia tidak bisa kembali menjadi Nayaka karena Nayaka sudah mati. Kau tidak lihat mereka menggelar upacara kematiannya di TV dalam waktu singkat sementara malamnya suaminya sudah membuat skandal dengan artis muda pendatang baru? Aku tidak akan menginjinkannya kembali pada suaminya yang—” Rahangnya mengetat, menahan amarah. “Yang pernah mencoba membunuhnya.” Gio menggeleng keras. “Leo. Ini melanggar hukum. Menghapus identitas seseorang? Mengganti nama tanpa persetujuan? Kau tahu konsekuensinya.” “Aku tidak peduli.” Leo melangkah, tapi Gio kembali menghalangi. “Sadarlah! Kau dokter, Leo. Kau bukan Tuhan! Kau memberinya wajah yang baru bukan berarti kau mengubah siapa dia sebenarnya!” Leo menatapnya, dan dalam tatapan itu ada sesuatu yang dingin. Sesuatu yang membuat Gio merinding. “Aku yang menyelamatkannya, Gio. Aku yang membangun wajahnya dari awal. Aku satu-satunya orang yang tahu siapa dia tentunya denganmu juga karena kau sahabatku tapi sekarang aku satu-satunya yang bisa menjaganya.” “Dengan menghancurkan identitas lamanya?” sinis dokter Gio. “Dengan memberinya kesempatan hidup baru,” tandas Leo “Dan bagaimana dengan kebenaran?” Gio mendekat. “Akan kau beri tahu siapa dia sebenarnya?” tanyanya dengan tatapan menyelidik dan hati-hati. Leo membeku sejenak, lalu menjawab pelan namun tegas. “Tidak. Dia tidak perlu tahu apa pun,” putusnya. “Leo!” “Ini kesempatan,” suara Leo menurun, hampir seperti bisikan. “Kesempatan dari langit untuk kami. Dia tidak ingat semua yang menyakitinya. Dia tidak ingat pria yang memukulnya, keluarga yang memperjualbelikan kebahagiaannya. Bahkan dia tidak ingat bahwa dia pernah meninggalkan dan mencampakkanku.” Gio terdiam. Ada sesuatu yang sangat dalam dari cara Leo berbicara. Leo tidak lagi bersikap profesional. Padangannya bergeser. “Dia belum bercerai dari suaminya. Secara hukum, apa pun kondisinya sekarang, dia masih istri orang lain.” kata Gio akhirnya, dengan nada jauh lebih serius. Leo mendecakkan lidah, ekspresinya mengeras. “Justru karena itu dia membutuhkan identitas baru. Agar dia tidak terikat lagi. Agar dia bebas.” “Atau agar kamu yang memilikinya?” Gio menatapnya tajam. “Kau ingin menyelamatkannya atau kau ingin menghapus Nayaka untuk menciptakan seseorang yang hanya bergantung padamu?” tekan dokter Gio. Leo tidak menjawab. Tatapannya dingin. “Leo, jawab aku. Untuk itukah kau menyelamatkannya?” Gio hampir berbisik. Leo menatapnya datar, dingin, seperti pintu baja yang tertutup rapat. “Aku tidak perlu menjawab dan itu bukan urusanmu. Aku menghargai bantuanmu dan semua yang kau lakukan untukku tapi jangan mencampuri yang satu ini teman,” Kemudian Leo berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Gio berdiri membeku di tengah koridor yang terasa semakin sunyi dan panjang. # Di dalam ruangan pasien, di depan cermin besar. Cahaya lembut menyinari wajah yang terasa asing namun cantik. Kulit yang halus, garis rahang yang lembut, mata yang terlihat besar dan jernih. Nayaka mengangkat tangannya, menyentuh pipi yang terasa hampir terlalu sempurna bahkan dalam pandangannya sendiri. “Apa benar ini aku?” bisiknya pelan. Dia mencondongkan kepala, mengagumi refleksi itu seperti melihat orang lain. Ada rasa kagum, tapi juga gelombang kebingungan yang membuat dadanya sesak. Saat itulah pintu terbuka pelan. Dokter Leo melangkah masuk dengan senyum hangat yang tampak begitu lembut. Tatapan yang hanya dia berikan pada satu orang. “Kau sudah bangun dari ranjang. Bagaimana perasaanmu?” tanya Leo sambil melangkah mendekat. Nayaka berbalik, dan pipinya langsung memerah ketika Leo tersenyum. Dia menghindari tatapan itu sesaat, lalu kembali mencoba menatap Leo. Di mata Nayaka, dokter Leo adalah lelaki tinggi, tampan, dengan sorot mata yang tajam namun anehnya menenangkan. “Dokter Leo, Anda baik sekali padaku.” Nayaka terlihat malu-malu. Leo tersenyum lebih lembut, seolah setiap kata Nayaka adalah sesuatu yang dia nantikan. “Tentu saja. Aku akan selalu baik padamu.” Nayaka menatapnya lama. Ada pertanyaan yang selama ini membebani pikirannya, tetapi setiap kali bertanya pada perawat, tidak ada yang mau menjawab. “Aku ingin bertanya…” Nayaka menggigit bibirnya yang tampak lembut. “Siapa aku? Tidak ada yang mau memberitahuku dan aku tidak ingat apa pun," ucapnya terus terang. Leo perlahan meraih jemari Nayaka, menggenggam dengan kehangatan yang membuat tubuh Nayaka tersentak kecil. Dia menunduk sedikit, menatap mata Nayaka seakan itu satu-satunya hal yang berarti di dunia ini. “Kau adalah Wulan Ayu Jie,” suaranya lembut, nyaris seperti alunan yang menenangkan. Nayaka mengerjap. “Wulan Ayu Jie?” Leo mengangguk, senyum menenangkan tidak pernah lepas dari bibirnya. “Kau adalah istriku. Wulan Ayu Jie.” Leo mengulang lagi dengan lebih tegas. Nafas Nayaka tersangkut di tenggorokannya. “istri…mu?” Leo mendekat selangkah. “Kita mengalami kecelakaan saat berbulan madu. Kau koma lama hingga membuatku takut kehilanganmu.” Wajah Nayaka memerah sepenuhnya, matanya membesar penuh keterkejutan. “Aku benar-benar istrimu?” Leo tersenyum hangat. Senyum yang begitu sempurna hingga sulit dipercaya seseorang bisa berbohong sambil tersenyum seperti itu. “Ya, itu benar. Kita suami istri yang belum lama menikah dan hampir berpisah karena sebuah kecelakaan," katanya lirih, hampir tidak terdengar. Jari-jari Leo mengusap punggung tangan Nayaka yang kini bernama Wulan pelan, seolah menegaskan hubungan yang bahkan tidak mampu dibantah oleh wanita itu sendiri karena dia tidak ingat apa pun. Tidak ingat masa lalu dan tidak ingat siapa dirinya. Hanya suara Leo yang terdengar jelas. Hanya senyuman Leo yang terasa nyata. Dan hanya kata-katanya yang kini menjadi satu-satunya kebenaran yang Wulan miliki. Sementara Leo menatapnya, mata pria itu menyimpan sesuatu yang berbeda dan misterius, bukan sekadar cinta atau rindu. Ada rasa memiliki. Ada rasa takut. Ada obsesi yang Leo sembunyikan dengan begitu rapuh di balik semua kelembutannya. Obsesi yang kini memiliki nama baru. "Wulan Ayu. Kau istriku," ucap Leo perlahan dan penuh keyakinan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN