Bab 5. Kejutan

1087 Kata
# Dua tahun berlalu setelah Wulan membuka matanya di Rumah Sakit dan mengetahui kalau dirinya adalah istri dokter Leo, pria yang dia lihat pertama kali saat membuka mata. Kini Wulan melangkah anggun memasuki lobi klinik Noveau Vision Clinic untuk pertama kalinya. Dari langkah pertamanya, semua orang di lobi seolah lupa bagaimana caranya bernapas. Gaunnya jatuh mengikuti lekuk tubuhnya dengan sederhana, namun justru kesederhanaan itu yang membuatnya mencolok. Setiap orang yang melihatnya seolah terpaksa menahan napas. Rambut hitam panjang tergerai lembut, dan setiap gerakan kecilnya terlihat terukur. Terlalu tenang. Terlalu lembut. Terlalu memukau hingga beberapa staf di meja resepsionis hanya bisa saling pandang, pura-pura tetap profesional meski jelas terpana. Bahkan langkahnya terdengar seperti denting halus yang tidak seharusnya mengganggu siapa pun, tetapi justru memikat semua yang mendengarnya. Sambil tersenyum sopan, Wulan mendekati meja resepsionis. “Selamat siang. Saya ingin bertemu dengan dokter Leo,” ucapnya. Suaranya tenang namun mengandung ketegasan lembut yang sulit ditolak. Resepsionis yang menyambutnya tersenyum ramah membalas salam itu, namun dalam kepalanya sejumlah pertanyaan menerjang. Untuk apa wanita sesempurna ini datang ke klinik kecantikan? Perawatan wajah? Rasanya tidak perlu. Operasi plastik? Jelas tidak masuk akal. Tidak ada satu pun bagian dari wajah Wulan yang tampak bisa diperbaiki. Wanita ini adalah versi sempurna yang bahkan bisa dijadikan sebagai referensi estetika oleh para pasien di klinik itu. “Kalau Nona ingin melakukan perawatan, kami bisa carikan dokter estetika lain yang sama bagusnya karena dibimbing oleh dokter Leo sendiri. Soalnya untuk bertemu dokter Leo secara langsung biasanya hanya untuk pasien operasi besar, dan harus melewati konsultan terlebih dahulu,” ujar resepsionis itu sopan. Wulan menggeleng pelan, senyumnya tetap lembut. “Saya tidak datang untuk perawatan apa pun. Saya hanya ingin bertemu dengan dokter Leo secara langsung. Saya butuh bertemu dengan beliau.” Nada suaranya tenang, namun sorot matanya sangat jelas. Salah seorang staf senior, yang sejak tadi memperhatikan dari jauh, akhirnya mendekat. Tatapannya lebih teliti, seolah dia menyadari bahwa wanita ini tidak sedang mencari pelayanan apa pun tapi memiliki tujuan yang lebih pribadi. “Nona, dokter Leo sedang menangani pasien. Kami tidak bisa memastikan beliau bisa menemui Anda sekarang, tapi Anda boleh menunggu sampai beliau selesai. Setelah itu baru kami bisa tanyakan.” Wulan mengangguk sopan. “Tidak apa-apa. Saya akan menunggu. Saya datang dari jauh dan menunggi sedikit lebih lama tidak masalah sama sekali.” Nada lirih itu membuat staf senior tersebut menatapnya sedikit lebih lama, seolah merasakan sesuatu yang lebih berat di balik kata-katanya. Tapi dia tidak bertanya. Hanya mengangguk, lalu mempersilakan Wulan duduk. # Beberapa jam berlalu. Para pasien datang dan pergi, namun Wulan tetap di kursinya dengan kesabaran yang membuat beberapa orang diam-diam mengaguminya. Pada akhirnya, kelelahan mulai merayap ke kelopak matanya, dan Wulan tertidur pelan di sofa ruang tunggu, kepalanya sedikit miring, napasnya teratur seperti anak kecil yang sedang bermimpi damai. Momen itu pecah ketika suara langkah cepat terdengar. Bukan langkah biasa melainkan lebih seperti seseorang yang berlari setengah panik. Dokter Leo muncul dari koridor ruang konsultasi, wajahnya tegang, seragam dokternya masih lengkap. Begitu melihat sosok Wulan yang tertidur, ekspresinya langsung tampak lega, lalu berubah menjadi kecemasan mendalam. Dokter Leo berjalan cepat, mencuri perhatian semua orang di lobi. Staf yang mengenalnya sampai terdiam, karena belum pernah melihat sang dokter sekhawatir itu. Selama ini dokter Leo dikenal sebagai orang yang dingin dan tenang dalam situasi apa pun. “Wulan!” serunya sambil bergegas mendekat. Dia langsung berlutut di samping sofa dan meraih kedua tangan Wulan dengan kedua tangan gemetar. Wulan terbangun kaget, matanya berkedip pelan sebelum akhirnya menyadari siapa yang menggenggam tangannya. “Leo?” bisiknya. Sang dokter tidak menjawab. Dia hanya memeriksa wajah dan tubuh istrinya dengan panik, seolah memastikan bahwa Wulan benar-benar baik-baik saja. “Kenapa kau keluar rumah sendirian? Kenapa kau tidak meneleponku? Kau tahu aku bisa mati kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi padamu.” Suaranya adalah gambaran perasaannya yang bercampur antara kesal, marah dan takut. Semua orang di lobi terpaku. Tidak ada yang pernah melihat dokter Leo seperti ini. Tidak ada pula yang menyangka bahwa wanita yang ada di hadapannya adalah istrinya. Wulan berdiri dan Leo memeluknya erat. "Jangan lakukan lagi. Aku kaget sekali. Demi Tuhan," pinta Leo. Wulan tersenyum kecil di dalam pelukan suaminya. “Maaf, apa aku membuat suamiku khawatir?” tanyanya lembut. Kalimat itu seperti bom kecil yang menyentak semua orang secara serentak. Staf lobi hampir serempak terbelalak. Beberapa pasien dan staf yang mendengarnya bahkan saling berbisik satu sama lain. “Astaga, itu istrinya?” “Dokter Leo menikah?! Aku pikir dia masih single!” “Gila istrinya secantik ini? Apa ada manusia sempurna seperti itu? Wajahnya asli kan? Dia nyaris tidak nyata!” Leo menghela napas berat “Tentu saja aku khawatir. Aku sangat kaget mendengarmu datang. Seharusnya kau memberitahuku dulu. Jangan pernah keluar sendirian," ujarny tanpa merasa terganggu dengan tatapan dan bisikan semua orang. Wulan membalas pelukan itu, matanya melembut meski ada sedikit gurat lelah yang tertinggal. “Tapi aku tidak sendirian. Aku datang ke sini bersama Derry. Kau yang mempekerjakannya Derry,” ujar Wulan lembut. Leo terdiam, lalu memejamkan matanya sebentar antara lega dan sedikit kesal karena orang kepercayaannya juga tidak mengatakan apa-apa kepadanya tentang kedatangan istrinya. Meski begitu tatapan Wulan membuatnya menyeah. “Tetap saja, lain kali kau harus bilang dulu padaku,” balasnya. Wulan mengusap pipi Leo dengan lembut, seperti sedang menenangkan anak kecil. “Aku bosan di rumah. Dan aku ingin bertemu suamiku yang akhir-akhir ini terlalu sibuk di Jakarta. Aku tidak ingin tinggal sendirian di Surabaya terus.” Leo jelas terkejut mendengarnya, namun sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Wulan melanjutkan dengan senyum kecil. “Selain itu, aku datang untuk memberikanmu kejutan ulang tahun.” Dia melanjutkan dengan senyum ceria. Saat itulah pintu lobi kembali terbuka. Derry masuk sambil membawa sebuah kue ulang tahun dengan lilin menyala, wajahnya tampak salah tingkah karena semua mata langsung tertuju padanya. Leo menatap kue itu, lalu menatap Wulan, terkejut sekaligus tersentuh. Senyum perlahan muncul di wajahnya. Staf dan pasien yang menyaksikan momen itu saling bertatapan lalu mulai ikut mengucapkan selamat ulang tahun, menciptakan suasana hangat yang tidak biasa di klinik elit seperti itu. Wulan mendekatkan bibirnya ke telinga suaminya dan berbisik. “Hadiah ulang tahunmu… adalah aku.” Leo terdiam beberapa detik, seolah tidak yakin ia mendengar dengan benar. Dia menatap Wulan dalam-dalam, mata mereka bertemu dalam keheningan. Tanpa mempedulikan tatapan puluhan orang, Leo menangkup wajah Wulan dan mengecup bibirnya lembut. Untuk sesaat, dunia di sekitar mereka berhenti bergerak. Dan semua orang di lobi menyadari satu hal. Wulan adalah wanita yang dicintai seorang dokter yang selama ini tampak dingin, profesional, dan mustahil tersentuh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN