Bab 01. Dipaksa Menikah
"Ayun."
"Hallo, Ayah. Maaf Ayun baru istirahat, ini juga lagi di pantry bikin kopi. Ada apa Ayah telepon Ayun siang-siang begini," sahut Sofi Ayundira yang kerap disapa dengan nama Ayun. Wanita berusia 28 tahun yang masih betah melajang, seorang resepsionis di hotel Ganeswara.
"Ayah?" panggil Ayun ketika suara ayahnya tidak terdengar, hanya embusan napas panjang yang terdengar begitu berat. Ada apa? Apakah terjadi sesuatu dengan ayahnya saat ini?
"Yah—"
"Nak, bisakah kamu pulang sekarang," pinta sang ayah memotong ucapan Ayun.
Sepintas melirik pergelangan tangan kirinya sebelum memberikan jawaban kepada sosok cinta pertamanya. "Ini masih siang, Ayun pulangnya sekitar jam tiga sore. Memangnya ada apa, Yah?" Bukan tidak enak saja, dia didapuk sebagai resepsionis senior kalau izin pulang lebih awal akan mengurangi nilai plusnya.
"Ayah jemput ke lobby, ya, Nak."
Ayun benar-benar tidak tahu lagi dengan perintah ayahnya yang terdengar aneh. Namun, daripada bertanya lebih jelas Ayun memilih mengakhiri teleponnya dan mengatakan akan meminta izin pulang lebih awal.
Dalam sejarah bekerja sebagai resepsionis baru kali ini meminta izin, bahkan disaat sakit pun Ayun memaksakan diri untuk berangkat. Yang tidak wanita itu duga, ketika memasuki mobil ayahnya tidak menyetir sendiri melainkan dengan sopir yang biasanya ditugaskan mengantar jemput Ayun.
"Ayah," sapa Ayun menarik tangan ayahnya lantas mengecup punggung tangan keriput itu dengan takzim. "Barusan Ayun izin. Memangnya ada apa, sih, Yah?"
"Kita ke rumah sakit sekarang, Nar!" ujar pria itu kepada sang supir mengabaikan pertanyaan anak perempuannya.
Perjalanan menuju ke rumah sakit diisi dengan keheningan. Baik Ayun dan Bagaskara Saputra—selaku ayah yang menjemputnya secara tiba-tiba—sibuk dengan isi kepalanya masing-masing. Sampai mobil berhenti di pelataran Rumah Sakit Putra Ayundira pun keduanya masih saja diam. Belum ada yang membuka suara dan belum ada yang memilih turun. Masih bertahan dengan posisi yang sama.
"Pak Bagas, saya tinggal atau tunggu di rumah sakit?" tanya Narji—supir yang ikutan bingung. Mobil parkir sembarangan.
"Pulang saja, Nar. Saya berencana menginap di sini dengan Ayun," jawab pria paruh baya itu tiba-tiba yang membuat Ayun membelalakkan matanya tidak percaya. Okay! Ayahnya memang memiliki ruangan pribadi di rumah sakit ini, tetapi bukan berarti sampai bermalam di sini, 'kan?!
"Ayo turun, Nak. Kehadiran kamu sudah ditunggu," ucap Bagas sebelum terjadi aksi protes dari anaknya. Ayun pun tak memiliki alasan lain untuk menolak perintah ayahnya. Wanita itu ikutan turun, menyambangi langkah kaki ayahnya yang berjalan berwibawa di koridor rumah sakit. Beberapa tenaga medis yang tak sengaja berpapasan dengan mereka menunduk dan memberikan sapaan sopan juga ... segan.
Ayun tidak peduli akan hal itu. Sudah biasa terjadi, hanya saja kenapa langkah keduanya memasuki ruang rawat president suite? Bahkan tanpa mengetuk pintu ayahnya langsung membukanya. Seperti tiada beban dan ... deg!
Ada apa ini?!
Kenapa tetangganya berada di sini?!
Oh pertanyaan yang salah, seharusnya Ayun tidak heran. Sebab tetangga rumahnya memang menjadi penghuni tetap selama dua bulan ini. Namun, yang menjadi masalah mengapa ruangan yang Ayun masuki terasa begitu dingin. Bukan dingin AC, melainkan suasana di dalamnya.
Bagas memang sudah sering mengajaknya berkunjung ke rumah sakit untuk menjenguk tetangga rumahnya akan tetapi, berbagai alasan Ayun kemukakan. Dia tidak menyangka kalau sekarang berhadapan langsung dengan tetangganya yang tidak berdaya. Terbaring di brankar rumah sakit.
"Nak Ayun, syukurlah Tante pikir Nak Ayun tidak berkenan datang," ujar seorang wanita paruh baya yang langsung menghampiri Ayun. Bahkan menghamburkan diri memeluk tubuh Ayun yang langsung membeku di tempat. "Ayah sudah bilang, Nak?"
Ayun menggeleng.
Bagas memang tidak bilang apa-apa. Tanpa sengaja tatapan mata Ayun bertabrakan dengan sosok pria lain yang berdiri di dekat nakas brankar. Agha Pratap Ganeswara. Ditengah situasi genting wajahnya nampak tenang dan ... datar. Sama sekali tidak ada ekspresi yang terpancar penuh khawatir, bukankah seharusnya seperti itu, apalagi ayahnya yang sedang terbaring sakit dengan mata terpejam.
"Wina, anakku belum tahu apa pun," sela Bagas sebelum wanita yang dipanggil Wina mengatakan macam-macam. Bagas sendiri pun masih kesulitan mengutarakan amanah dari sahabat dekatnya—Rivaldi Ganeswara.
"Begitu, ya? Nggak pa-pa, Mas Bagas. Sebentar lagi penghulunya datang."
"Penghulu? Ayah mau menikah lagi?" Pusat perhatian Ayun terfokuskan kepada Bagas yang langsung membuat raut datar. "Ayah udah punya calon dan nggak bilang-bilang sama Ayun."
"Loh, kok ayahmu, Nak. Yang menikah kamu dan anak Tante. Agha."
Penjelasan Wina membuat bola mata Ayun terbuka lebar. Barusan wanita itu tidak salah ngomong, 'kan? Kenapa terdengar seperti lelucon belaka. Sewaktu kecil Ayun dan Agha memang seringkali bermain suami-istri, tetapi bukan berarti ketika dewasa juga demikian. Ayun menggeleng dengan tegas, tatapan penuh peringatkan dilayangkan kepada ayahnya. Dia menolak ketika ayahnya mengangguk disertai helaan napas.
"Ayah? Tante? Maksudnya apa? Ayun sama sekali tidak paham."
"Kita akan menikah sekarang," kata Agha mengagetkan wanita itu.
"Siapa yang mau nikah sama lo!" Suara Ayun naik. Yang Ayun mau seharusnya Agha turut serta membantu untuk menolak rencana pernikahan bukan justru mengiyakan.
"Ayun, bahasa kamu kasar sekali," tegur ayahnya tegas. Matanya penuh dengan peringatan.
"Ayah, Ayun menolak menikah sama Agha. Nggak mau! Masa nikah sama tetangga, sih. Ayun belum siap nikah, Yah," rengek wanita itu. Menoleh ke arah Wina, memegang tangan Wina dan menggoyangkan beberapa kali. "Ayun nggak mau nikah sama Agha, Tante. Jangan sama Ayun, ya. Ayun nggak mau nikah sama kulkas."
"Kulkas?!" pekik Wina tidak percaya dengan sebutan Ayun. Lain halnya dengan Agha yang memutar kedua bola matanya dengan jengah.
Pria itu melangkah, menarik pergelangan tangan Ayun tanpa permisi, bahkan tidak peduli dengan pemberontakan wanita itu.
"Apaan, sih! Nggak sopan banget asal nyeret orang," ketus Ayun menghempaskan tangan Agha dengan kasar. Tidak berlaku walau di hadapannya adalah sosok general manager tempatnya bekerja. Kalau pun Ayun harus kehilangan pekerjaan karena ketidaksopanan wanita itu dia nggak peduli.
"Tolongin saya kali ini, Ayun," pinta Agha dengan wajah datar yang khas sekali membuat Ayun sukses terbahak. Kedua tangannya terlipat di depan d**a dengan gaya arogan dan dagu terangkat tinggi.
Mereka baru kali ini berinteraksi setelah sekian lama, tapi Agha sudah berani meminta tolong. Hebat sekali bukan? Lima tahun seperti orang asing sekarang memohon.
"Kenapa harus gue, Gha? Ke mana cewek lo yang supermodel itu. Seharusnya lo seret dia bukan malah gue!" ujar Ayun menggebu-gebu.
"Papa maunya kamu, Yun. Ini syarat papa supaya mau dioperasi."
Tangan kiri Ayun langsung lemas, jatuh. Lalu wajahnya berubah sendu. "M-maksudnya?"
"Kita dijodohkan sejak kecil, bahkan sejak saya menjalin hubungan dengan Maudi. Sudah jelas yang saya nikahi itu kamu, Ayun. Papa minta saya menikahi kamu hari ini juga. Apa kamu tidak ingat?"
Ayun terpaku. Dia tidak ingat kalau hari ini tepat usianya bertambah satu tahun. Kenapa dia sampai lupa?
"Penghulu sudah datang, masuklah!" Beritahu Bagas tanpa mau menatap wajah putri kesayangannya.
"Kita menikah, ya?" Sekali lagi Agha memohon. Sorot matanya menyiratkan sebuah permohonan yang begitu mendalam. Membuat Ayun merasa semakin bingung, bagaimana mungkin ia menikah dengan pria yang begitu dibencinya karena telah menolak cintanya di masa kecil, terlebih pria itu sekarang adalah bos di tempatnya bekerja.