Lynelle menatap mentari pagi dengan mata berbinar. Pagi adalah salah satu hal yang ia cinta, dari semua kebobrokan kehidupannya yang terlalu banyak. Sinar mentari merupakan sesuatu yang tersebar secara adil. Apa pun yang ada di bawahnya, selama tak terhalang, akan tetap mendapat cahayanya. Sama rata. Sama besar. Tak ada perbedaan.
Balkon yang kini menjadi tempat Lynelle berdiri menghadap ke arah pemandangan danau. Mansion Edgar terletak di deretan paling ujung kompleks perumahan elite. Berbatasan langsung dengan danau yang kini menyajikan pemandangan sempurna. Permukaan airnya tampak berkilau terkena cahaya pagi, airnya terlihat berwarna biru dengan beberapa pasang angsa yang tengah berenang ke sana ke mari.
Di sekitar danau, ada rumput lembut berwarna hijau yang terhampar luas. Kursi-kursi kecil dari besi tersebar melingkar. Beberapa pasangan manula terlihat berjalan-jalan pagi dan menyebarkan biji-biji jagung untuk makanan merpati liar yang dibiarkan hidup di sekitar danau.
Melihat pemandangan ini membuat hati Lynelle menghangat. Mansion ini menyajikan pemandangan yang indah. Pemandangan yang tampak alami dan tidak terkontaminasi oleh polusi. Pasti developernya menghabiskan banyak anggaran untuk merancang area penghijauan di sekitar sini. Usaha yang patut dikagumi dan diapresiasi.
"Apa yang sedang kau lakukan?" Suara Edgar menyapa Lynelle. Langkahnya terdengar hati-hati mendekat ke arah Lynelle.
Edgar tak memakai alat bantu jalan apa pun selama di mansion. Tidak ada tongkat atau alat semacamnya. Dia sepenuhnya mengandalkan insting. Mungkin karena mansion ini sudah lama ia tinggali sehingga Edgar menghafal tata letak secara otomatis. Cara berjalannya meskipun tidak cepat, tapi cukup percaya diri. Langkahnya teratur.
"Menatap pemandangan pagi!"
"Danau di pagi hari memang indah!" Edgar sampai di sisi Lynelle dengan jarak dua meter lebih. Dia kemudian meraba besi pembatas balkon, mendekat perlahan ke arah Lynelle berdiri. Insting lelaki ini sangat hebat. Dia bisa memperkirakan keberadaan Lynelle dari sumber suara.
"Kau tahu ada danau di sisi mansion ini?" Lynelle mengerjap heran. Mungkinkah kebutaan Edgar baru-baru ini terjadi? Sehingga dulu entah bagaimana dia pernah melihat danau dengan kedua mata kepalanya sendiri.
"Tidak. Tetapi Eduardo menjelaskan semuanya padaku. Bagaimana bentuk mansion yang kutempati, desainnya, lingkungannya, termasuk danau dan jalan besar di sekitar sini. Aku menghafalkan semua detail itu dari Eduardo. Otakku memiliki ingatan yang kuat pada banyak hal!" Edgar menjelaskan. Dia merengkuh Lynelle yang masih berdiri dan mengusap lembut lengan wanita ini.
"Bagaimana bisa kau selalu tepat sasaran setiap kali menyentuhku? Bukankah seharusnya …." Lynelle menutup mulutnya seketika. Dia jadi enggan meneruskan pertanyaan tersebut. Mungkin, pertanyaan ini terlalu pribadi. Ada batas yang pastinya Edgar tarik mengenai semua ini.
"Sudah kukatakan sebelumnya aku memiliki insting yang tinggi!" Edgar meyakinkan.
Bagi beberapa orang, Edgar nyaris tak dianggap buta sama sekali. Responnya, tindakannya, caranya bergerak, semuanya tepat.
"Aku tak menyangka ada orang yang instingnya setinggi dirimu!" Lynelle jadi teringat tentang percintaan mereka semalam. Seluruh indera lelaki ini hidup, penuh hasrat, dan mampu melambungkan respon Lynelle di batas tertinggi. Seolah-olah, Leynelle menjalin percintaan dengan lelaki normal. Dalam arti yang sesungguhnya.
"Lynelle, setiap orang itu sebenarnya memiliki kepekaan yang sangat sensitif pada semua hal. Kau pernah dengar ada orang buta yang bisa meciptakan musik? Kau pernah dengar ada orang buta yang bisa merasakan getaran di sekitarnya? Kau pernah dengar ada orang buta yang bisa tahu keberadaan benda-benda? Secara sains, hal-hal seperti itu bisa saja terjadi. Otak seseorang memiliki kapasitas yang berbeda. Tergantung bagaimana orang tersebut mengasah kepekaannya sendiri. Dulu, di jaman kstaria-ksatria Jepang di mana bela diri dianggap seni utama, bergerak dan melawan musuh dengan mata tertutup itu sesuatu yang wajar terjadi."
Edgar menjelaskan panjag lebar. Dia tersenyum puas, mensyukuri keadaan dirinya sendiri yang memiliki insting tinggi dalam menangkap suara dan ingatan akan tata letak. Memang, Edgar tak sehebat mereka yang bisa melakukan segalanya dengan mata tertutup. Tetapi setidaknya ia bisa melakukan banyak hal, lebih baik dari orang buta pada umumnya.
"Apakah kau juga sering menikmati pemandangan pagi?" tanya Lynelle kemudian. Wanita ini bersandar pada d**a bidang Edgar, membiarkan rambut merahnya tergerai dan tertiup angin.
"Kadang-kadang. Aku tak mampu melihat sinar dan mengagumi keindahan. Tetapi imajinasiku berjalan sangat baik sehingga khayalanku akan keindahan mungkin melampaui dirimu!"
Lynelle tersenyum kecil. Mungkin, inilah salah satu kelebihan orang buta. Mereka memiliki daya imajinasi yang lebih sempurna dari pada mata kita. Jadi, apa pun terlihat lebih baik bagi si buta dalam dimensinya sendiri. Suatu kebohongan yang bisa mereka ciptakan tetapi tak bisa dilakukan oleh orang normal.
"Kenapa kau memilih profesi sebagai p*****r?" tanya Edgar tiba-tiba. Dia memeluk pinggang Lynelle, menyurukkan kepalanya ke leher wanita itu dan mencium lembut kulit wanitanya.
"Memilih? Aku tak pernah memilih!" Ada luka yang tampak di wajah Lynelle. Luka dalam yang selama ini enggan ia tampakkan pada yang lain.
"Kau tak pernah memilih?" tanya Egar, tak habis pikir.
Lynelle terkekeh sinis. "Entahlah. Mungkin ini takdir. Aku memang diciptakan sebagai jalang!"
"Mustahil orang menggenggam takdir seburuk itu. Selalu ada campur tangan dari kita sendiri saat kita menentukan takdir mana yang kita pilih!" Edgar memberi pendapat.
Berapa saja orang di dunia ini yang mengatasnamakan takdir sebagai jawaban final. Mereka yang gagal, berkata takdir. Mereka yang jatuh berukang kali, berkata takdir. Mereka yang tersesat, juga berkata takdir. Takdir telah menjadi suatu alibi yang terus saja dipakai, melindungi seseorang dari tanggung jawab yang sesungguhnya.
"Untuk kasusku, hidupku ini sudah terkontrak menjadi lacur. Tak ada jalan keluar lagi!" Lynelle menjawab pedih.
Saat Lynelle berusia sembilan tahun, kedua orang tuanya terbunuh oleh insiden paling mengerikan. Saat itu, takdir mempertemukannya dengan Marta. Wanita yang mengangkatnya anak, mememfasilitasi, dan membesarkannya.
Hanya saja, Marta memiliki latar belakang buruk. Lynelle dituntut untuk menjadi aset dalam bisnisnya dan tak diijinkan untuk keluar. Lynelle telah terikat budi dengan wanita itu. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sebagai transaksi pembayaran atas budi Marta selama ini adalah menjadi bonekanya. Patuh dan tunduk. Hingga hati Lynelle tak terasa mulai mati dan membeku. Moral Lynele tak lagi ada dan lenyap tanpa sisa.
"Apakah kau pernah terbebani moralitas?" Edgar menyuruk semakin dalam ke leher Lynelle, mengagumi kulitnya yang amat lembut dan mudah sensitif dengan setiap sentuhan.
"Moralitas? Awal-awal mungkin terbebani. Tetapi seiring waktu berlalu, aku seperti porselen yang hanya punya keindahan fisik tapi tak memiliki jiwa. Kata hati, nurani, moral, semuanya, lama-lama hanya menjadi bayang-bayang samar saja. Aku robot yang memiliki tombol on-off sendiri. Mesin yang bergerak tanpa emosi!"
Tiga tahun lamanya Lynelle menjadi aset Marta. Tiga tahun itu pula ia menjadikan tubuhnya sebagai barang yang diperjualbelikan. Hingga ia tak lagi memiliki jiwa yang tersisa.
"Apakah kau lelah?"
"Lelah menjadi p*****r?"
"Ya."
"Meskipun aku lelah, itu juga percuma. Aku sudah dirantai kuat untuk tetap menjadi jalang!"
"Bagaimana jika aku bisa menolongmu?"
Lynelle mengerjap bingung, berbalik menatap Edgar yang tampak sempurna. Apa yang baru saja lelaki itu tawarkan barusan?
…